9.Buktikan

1056 Words
“Monggo minumannya.” Jum datang membawa nampan, menjeda percakapan Wahda dan Kenrich. Wahda langsung menegakkan tubuh. “Kopi untuk Den Ken, teh hangat untuk Nyonya Wahda.” Jum menata minuman di hadapan masing-masing. Wanita itu juga menata buah potong dan beberapa camilan di meja. Wajah Kenrich biasa saja, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang dikatakan Wahda. Atau mungkin pria itu menganggap hal itu lumrah. “Nyebelin nih lakik. Minimal terkejut kek. Lah dia kok biasa aja?” Niat hati agar Kenrih ilfeel, rupanya tidak berhasil. Mungkinkah pria itu menyembunyikan keterkejutannya? Yang ada malah Wahda yang kesal sendiri. “Jaka nggak pulang, Mak?” tanya Kenrich. “Ndak, Den. Nunggu liburan sekalian mungkin.” Kenrich mengangguk-angguk. Ia lalu mengambil minumannya dari meja, menyesapnya pelan dan hati-hati. “Jaka? Siapa lagi dia?” Wahda hanya bisa menyimpan rasa penasaran tanpa berani menanyakan. Takut-takut salah bicara malah bahaya. “Nyonya, monggo. Ndak usah sungkan.” Jum mempersilakan Wahda. Wahda hanya mengangguk. “Tadi sebelum ke sini sudah minum banyak, Mak. Takut pipis terus nanti.” Wahda sengaja berbohong. Wanita yang masih agak pucat itu belum percaya pada orang-orang ini. Ia takut ada sesuatu di minumannya yang mengakibatkan dirinya tidak sadar, lalu orang-orang ini melakukan hal buruk padanya misalnya. Ia harus waspada. “Kamar saya di sini bersih, kan?” tanya Kenrich lagi. “Selalu bersih, Den.” “Saya akan tidur di sini.” Kenrich menggerakkan kepala ke kanan dan kiri, merenggangkan otot leher. “Satu kamar sama Wahda, kan?” pancing pria tengil itu lagi. “No! Gue aja yang pergi dari sini!” Wahda mulai kesal. Jum malah tertawa. “Ndak kok, Nya. Aden punya kamar sendiri. Kalau sampai minta sekamar, malah saya marahi.” “Tolong siapkan kamar saya, Mak. Saya capek, mau istirahat.” “Baik, Den.” Sepeninggal Jum, Wahda mengambil paksa kopi milik Kenrich, menyesapnya sedikit karena kehausan. “Itu bekas saya.” “Biarin. Soalnya ini yang terbukti aman gue minum. Yang teh pasti ada racunnya.” “Bilang saja kalau kamu sebenarnya pengen minum di bekas bibir saya.” “Najis!” Wahda meletakkan kembali minuman itu. Kenrich hanya tersenyum tipis. Ia ganti mendekati Wahda. Sangat dekat. Sampai-sampai Wahda merasa diintimidasi. “Malam ini, saya ingin membuktikan perkataanmu tadi. Apa benar kamu sudah tidak perawan? Saya ingin mencobanya.” Wahda siap memukvl, tetapi Kenrich sigap menghindar. Tangan justru Wahda dicekal kuat. “Saya akan bersikap baik kalau kamu menurut. Sebaliknya, saya tidak segan-segan bersikap kasar kalau kamu terus berontak dan berani sama saya. Begitu juga dengan Mak Jum. Dia akan bersikap seperti ibu peri kalau kamu nurut. Dan bisa bersikap seperti monster kalau kamu tidak nurut. Jadi, jadilah anak baik-baik.” Kalimat penuh penekanan dan tegas itu membuat Wahda mati kutu. ** Jum ternyata melayani Wahda dengan baik. Wahda yang masih kesulitan berjalan, merasa sangat terbantu dengan adanya wanita paruh baya itu. Apalagi jika kesulitan di kamar mandi, Jum selalu siaga membantu. Meskipun merasa Jum itu baik, ia harus tetap waspada. Sebuah koper besar berisi baju plus hijab dan perlengkapan wanita entah dari mana datangnya juga tersedia di kamar yang ditempati Wahda. Entah siapa pemilik aslinya, Wahda diminta memakainya. Kenrich dan Jum sebenarnya baik, tetapi sekali lagi Wahda tidak boleh terkecoh. Malam harinya, Jum mendatangi Wahda di kamar. “Nyonya, makan malam sudah siap. Mari saya bantu keluar.” “Saya belum lapar, Mak. Nanti saja, ya.” “Tapi Den Ken sudah menunggu di meja makan.” “Dia biar makan dulu.” Jum ikut duduk di ranjang, menggenggam telapak tangan Wahda. “Nanti Aden marah. Makan sedikit nggak apa-apa, asal Aden lega kalau Nyonya mau makan.” “Mak, saya pengen pergi. Di sini bukan tempat saya. Saya nggak tahu apa tujuan pria itu membawa saya ke sini. Kami nggak saling kenal akrab sebelumnya. Saya takut. Dia pasti punya niat buruk sama saya.” Wahda menunduk. Air matanya mulai menitik. “Nyonya ndak perlu takut. Aden itu ndak seperti yang Nyonya bayangkan. Dia baik, kok. Nyonya makan dulu, nanti saya ceritakan yang saya tahu tentang Aden.” Wahda mendongak, menatap Jum. Wanita paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum. “Beneran, Mak?” “Iya. Nanti tanyakan saja, apa pun itu. Akan Mak jawab setahu Mak. Sekarang ayo kita keluar. Aden sudah nunggu lama.” Wahda akhirnya mengangguk. Dengan kruk dan dibantu Jum, ia keluar menuju meja makan. Di sana, sudah ada Kenrich yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Wahda duduk dengan hati-hati. “Nyonya mau diambilkan?” “Nggak usah, Mak. Saya bisa sendiri.” “Ya sudah saya tinggal ke dapur sebentar.” “Mak nggak ikut makan?” “Nanti saja.” Wahda mengangguk. Meja makanan berbentuk bulat yang bisa diputar bagian tengah atau bagian menunya. Hingga memudahkan dalam mengambil nasi dan lauk tanpa harus berdiri. Nasi hangat, sambal, dan aneka lauk juga sayur daun singkong khas masakan Jawa tersedia di meja tersebut. Dengan pelan, Wahda mulai mengambil sedikit nasi dan sayur. Kenrich seperti tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Wahda memutar meja, hendak mengambil lauk. Saat bersamaan, Kenrich juga memutar karena ingin tambah nasi. Maka terjadilah adegan saling rebut memutar meja. Meja terus diputar. Kenrich melotot tanpa suara, sedangkan Wahda berekspresi biasa dan menahan meja agar tidak berputar. Karena merasa tidak berhak berbuat banyak di sana, Wahda akhirnya mengalah. Ia urung mengambil lauk dan hanya memakan nasi serta sayurnya saja. Kenrich merasa menang. Ia menambah nasi pada piringnya. Saat melihat Wahda makan tanpa lauk, ia berinisiatif mengambilkan ikan dan meletakkan di piring Wahda. Tanpa kata. Wahda menatap pria itu sekilas seraya masih mengunyah tanpa mengucapkan terima kasih. “Makan yang banyak, biar berisi. Saya suka barang yang besar daripada tepos seperti punyamu.” Wahda spontan melotot dan menyilangkan tangan di depan da*da. “Dasar psikop4t!” Kenrich hanya mengedikkan bahu. Dua manusia itu akhirnya makan tanpa bersuara. Selesai makan, Wahda berdiri sambil membawa piring bekasnya makan ke dapur. “Berhenti! Biar Mak Jum yang membereskan,” ujar Kenrich yang juga sudah selesai dari tadi. “Tapi–“ “Nurut sama saya.” Kenrich mendekat, mengambil piring dari tangan Wahda dan meletakkan di meja. Lantas sedikit menyeret agar mengikutinya. “Ikut saya!” “Hey! Lepas! Ke mana lo mau bawa gue?” Wahda mulai ketakutan. “Kamar. Kita buktikan apa yang harus dibuktikan. Karena saya juga tidak mau rugi jika ternyata menikahi wanita tidak perawan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD