bc

Cinta Pertama Ibu Tiri

book_age16+
11
FOLLOW
1K
READ
billionaire
family
HE
forced
confident
single mother
drama
sweet
bxg
campus
highschool
musclebear
like
intro-logo
Blurb

Althea Zevana, wanita pendiam yang jatuh cinta pada teman satu sekolahnya. Dia menguntai kata cintanya dalam bentuk sajak puisi yang dikirimkan pada Ankala Alvarendra, pria populer di sekolah. Dia tak menyangka buku puisi miliknya dibaca, diejek, dan diolok oleh teman-teman Ankala. Sejak itu dia menutup diri dan hadir seperti bayangan, mencintai Ankala dalam diam pun terasa salah oleh Semesta.

Empat tahun kemudian, dia yang mengalami kepahitan hidup, menanggung hutang besar orang tuanya, tak sengaja bertemu dengan Prabu Alvarenda, pemilik kebun sawit tempat dia tinggal. Demi menebus hutangnya dia pun setuju untuk menikah dengan Prabu.

Sayangnya saat itu dia tidak tahu bahw Prabu adalah ayah dari Ankala, cinta pertamanya.

Ankala yang selalu penasaran dengan pengirim puisi itu, kini bertemu dengan wanita misterius yang selalu dicarinya, yang ternyata adalah istri dari ayahnya sendiri. Membuatnya berpikir, terkadang Semesta sebercanda itu mempermainkan cinta!

Bagaimana kah Zevana menghadapi Ankala ke depannya? Apakah dia bisa memperlakukan Ankala sebagai anak sambungnya? Atau dia tetap menjadi pengagumnya yang menguntai namanya dalam setiap sajak yang kini diukir dalam hatinya?

Warning, mature content 21+ harap bijaksana dalam membaca.

chap-preview
Free preview
1. Puisi adalah Saksi
Ankala ... Jika asa adalah luka, Kurela berdarah selamanya, Untuk dapat melihat senyummu setiap saat. *** “Ini rumah saya, mulai hari ini kamu adalah nyonya Prabu, istri saya,” tutur pria tua berusia lebih dari lima puluh tahun itu, tubuhnya tinggi, tampak tegap dan masih gagah. Seorang wanita muda berwajah polos turun dari mobil mewah yang membawanya ke sana, menenteng tas punggung yang tampak lusuh. Beberapa pelayan menyambutnya dengan senyuman. “Bawa istri saya ke kamar kami dan berikan dia pakaian yang layak,” titahnya. “Baik Tuan,” ujar para pelayan berseragam hitam itu. Althea Zevana, hidupnya berubah dalam satu hari. Dia mengikuti para pelayan, berjalan di dalam rumah megah bak istana. Tanpa sadar, ada satu mata tajam mendelik dari balik gorden, menatapnya dengan pandangan membunuh! *** (4 tahun sebelumnya) Hujan sore itu meninggalkan aroma basah dari tanah yang berada di sekeliling rumah kayu yang lebih mirip seperti gubuk reyot, di dalamnya hanya ada dipan beralaskan kasur tipis. Dikelilingi perkebunan sawit milik pengusaha kaya raya. Zevana, gadis manis yang baru selesai belajar itu menatap buku biru di hadapannya. Menulis puisi adalah caranya melarikan diri dari perihnya kehidupan, keluarganya jatuh miskin sejak lima tahun lalu. Ayahnya terjerat penipuan yang membuat rumahnya disita oleh bank. Sejak itu Damis, sang ayah mengajaknya tinggal di tempatnya bekerja, membangun gubuk sederhana di tengah hutan. Dia mendapat pekerjaan sebagai penjaga kebun sawit, dari salah satu teman dekatnya yang masih mengingatnya. Zevana menerima tawaran itu karena ayahnya yang menderita penyakit diabetes tak bisa bekerja terlalu berat lagi, ayahnya hanya menjaga perkebunan itu yang bisa dilakukan bersama dirinya dan ibunya. Berpatroli dua sampai tiga jam sekali meskipun kebun itu sangat luas. Meskipun untuk ke sekolah Zevana harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki sampai satu jam lamanya. “Zev, ayo cepat mandi lalu kita keliling kebun,” tutur Damis, sementara ibunya memasak singkong rebus di dapur belakang. “Iya Pak,” ucap Zevana, menyelipkan buku bersampul biru itu di dalam tasnya, besok dia akan memberikan buku itu pada Ankala, pria yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama di sekolah SMA. Pria paling populer, selain tampan, pria itu terlihat baik. Zevana tak pernah lupa ketika hari pertama masuk sekolah, pria itu tersenyum padanya dengan ramah dan menawarinya satu payung dengannya karena hujan sangat deras. Hari itu untuk pertama dan terakhir Zevana berada di dekatnya, namun memori itu seperti baru kemarin, padahal sudah tiga tahun lamanya. Entah apakah Ankala masih mengingatnya? Atau tidak? Yang Zevana tahu, nama Ankala sudah merasuk ke dalam hati dan pikirannya. Setelah mandi, Zevana menemui ayahnya yang memakai tongkat kecil untuk membantunya berjalan. “Kaki bapak masih sakit?” tanya Zevana. “Masih, kayaknya benar kata dokter, harus diamputasi,” ucapnya menunjukkan kaki yang diperban, Zevana hanya menghela napas panjang. “kita belum dapat uang, Pak,” ucapnya. “Jangan dipikirkan, oiya Pak Prabu, pemilik kebun sawit ini bisa memberi beasiswa untuk kuliah bagi anak para karyawannya, kamu sudah ajukan?” “Mau kuliah di mana dengan otak pas-pasan gini, Pak?” kekeh Zevana, “atau uang itu bisa kita gunakan untuk biaya operasi bapak?” tanyanya memberi usul. “Bapak sudah ajukan pinjaman untuk operasi, katanya sedang dipertimbangkan. Jadi setelah lulus kamu mau apa kalau enggak kuliah?” tanya Damis sambil terus berjalan memperhatikan ke sekeliling, terkadang ada saja pencuri yang berusaha mencuri sawit dari kebun ini meski pengamanannya berlapis. Entah bagaimana mereka bisa memasukinya? Mungkin lewat jalur sungai? Atau hutan? “Mau merantau ke ibukota, bekerja di sana, nanti kukirimi uang untuk ibu dan bapak, jadi kita bisa ngontrak rumah yang lebih layak,” ucap Zevana. Gadis manis berambut panjang dengan warna kulit sawo matang khas perempuan Indonesia itu. Pagi ini, mendung masih menggelayut manja di udara. Zevana memakai jas hujan dari plastik karena sesekali hujan masih turun, menenteng sepatunya di tangan kanan dan tas bekal di tangan kiri, dia lebih memilih bertelanjang kaki dibanding sepatunya harus basah atau rusak, karena dia harus mengumpulkan uang demi membelinya. Senyumnya cerah, di dalam tasnya sudah bertengger buku puisi yang dia selesaikan selama hampir tiga tahun ke belakang, puisi yang bukan sekedar rangkaian kata. Itu adalah rahasia terdalamnya, bisikan yang tak pernah dia ucapkan kepada siapa pun. Sampai di sekolah, masih sangat sepi. Zevana mencuci kaki dan memakai sepatunya, lalu menyelinap ke kelas Ankala yang berbeda beberapa kelas dari kelasnya, dia bahkan tahu di mana Ankala duduk. Di sampul depannya hanya ditulis “untuk Ankala dari Secret Admirer.” Jantungnya berdentum keras ketika meletakkan buku itu di laci meja. Hari berganti dan kabar itu menyebar lebih cepat dari angin. Entah siapa yang memulai? Namun buku puisi itu ditemukan dan dibacakan oleh beeberapa teman lelaki Ankala dengan suara mengejek di kantin sekolah. Pria yang menjadi buah bibir itu hanya tersenyum tipis sambil menggeleng, dia sudah sering mendapat surat cinta, cokelat atau sekedar permen, namun baru kali ini mendapat buku dengan coretan tangan yang membentuk sajak indah. Ankala Alvarendra, anak pemilik kebun sawit dan pengusaha perminyakan, siapa yang tidak mengenalnya? Tubuhnya tinggi, hidung mancung, berkulit putih, dan yang paling membuatnya menarik adalah matanya yang keabuan, neneknya berasal dari Belanda yang menikahi pribumi dan mewariskan kebun sawit yang sudah puluhan tahun itu dan kini dikelola ayahnya yang merupakan anak tunggal. “Romantis banget, siapa yang naksir Ankala diam-diam?” “Wah sampai bikin satu buku penuh puisi. Cegil banget pengagum rahasia itu.” Tawa pecah, menggema. Sebagian murid bertepuk tangan, sebagian lagi berpura-pura sibuk tapi melirik penuh rasa ingin tahu. Wajah wanita bernama lengkap Althea Zevana itu pucat pasi. Dia hanya bisa bersembunyi di balik pintu kelas, mendengar setiap bait puisinya, kata-kata yang lahir dari hatinya sendiri dijadikan bahan olok-olok. Tidak ada yang tahu siapa pengirimnya. Tapi rasa malu itu seperti pisau tajam yang menusuk ke dalam dirinya. Sejak hari itu, Zevana benar-benar hidup seperti bayangan. Dia berjalan dengan menunduk, bicara hanya seperlunya dan berusaha tidak pernah lagi mencuri tatapan ke arah Ankala. Hingga kelulusan tiba, rahasia itu tetap terkubur rapat. Yang tak pernah dia ketahui adalah, buku puisi itu tidak pernah dibuang. Ankala menyimpannya dengan baik meski dia tak tahu siapa pengirimnya. *** Hanya bertahan dua tahun Zevana keluar dari daerah sana, dia merantau ke ibukota, bekerja sebagai asisten rumah tangga, menghadapi kerasnya dunia dan dia harus pulang setahun lalu karena kaki ayahnya harus diamputasi lagi padahal hutang dari dua tahun lalu saja belum lunas. Ibunya pun sakit keras. Zevana mengurus keduanya bergantian, masih tinggal di gubuk karena kebaikan hati sang pemilik kebun sawit dan pakde Rama, teman Damis yang merupakan pengawas di kebun itu. Di usia yang ke dua puluh tahun Zevana harus kehilangan ayahnya untuk selamanya, selang enam bulan setelah itu ibunya pun meninggal. Dia hanya seorang diri kini. Dia tengah membereskan sisa pakaiannya. Tak mungkin selamanya tinggal dalam perkebunan seperti ini. Dia ingin kembali ke ibu kota, namun bagaimana cara dia bicara dengan Rama? Ayah dan ibunya meninggalkan hutang yang sangat banyak bagi perusahaan. Sementara itu, pengusaha sawit bernama Prabu Alvarendra tengah berjalan bersama Rama dan beberapa karyawannya, dia memang sedang ingin mengecek perkebunan, biasanya dia hanya mendapat laporan saja. Namun, hari ini pikirannya benar-benar kalut. Dan berjalan-jalan santai mungkin bisa mengurai permasalahan yang menderanya. Diana, sang ibu terus memaksanya untuk menikah dengan wanita pilihannya. Sejak sepuluh tahun lalu istrinya meninggal dan dia tidak tertarik untuk menikah lagi. Bukan karena dia tidak ingin berumah tangga, namun dia tidak mampu. Bahkan sebelum istrinya meninggal, dia dinyatakan menderita gangguan ereksi, impotensi. Karena kecelakaan yang dialaminya. Dan tak ada pengobatan yang bisa menyembuhkannya sejak itu. Dia menyimpan rapat-rapat aib ini. Tapi bagaimana kalau dia menikah? Apakah istrinya bisa menyimpan aibnya? Tidak. Lebih baik dia mati daripada orang tahu bahwa benda yang seumur hidupnya menjadi kebanggannya itu tak pernah bisa bangkit kembali. “Itu pos?” tunjuk pria paruh baya yang berhidung mancung itu. Rama, menggigit bibir bawahnya, dia lupa membawa Prabu berjalan memutar dibanding melewati jalur ini. “Itu ... itu rumah yang pernah ditempati mendiang Damis, pak.” “Damis? Bukankah sudah meninggal setahun lalu? Kenapa masih ada asap? Apa ada yang memasak?” tanya Prabu berjalan ke arah rumah itu. Beberapa pengawas menyenggol bahu Rama seolah meminta bertanggung jawab karena Rama yang meminta mereka menutupi hal ini. “Itu ... hmm masih ada putrinya, katanya dia mau pergi, mungkin dia sedang berkemas,” ucap Rama. “Putri Damis?” “I-iya pak,” jawab Rama, “dia berkata dia akan mencicil untuk melunasi hutang orang tuanya, tim keuangan sudah mengambil tanda tangan dan surat pernyataan darinya,” ucap Rama. Prabu terus berjalan ke rumah yang persis seperti gubuk reyot itu. “Zev, Zevana,” panggil Rama sambil mengetuk pintu berbahan triplek itu. “Pakde ya? Sebentar pakde,” ucap Zevana. Rama hanya bisa menunduk dengan wajah takut. Zevana keluar dari rumah itu, membawa sepiring singkong rebus, rambutnya dikuncir tinggi, memakai daster rumahan, dan matanya membelalak ketika menyadari bahwa selain Rama, ada beberapa orang di belakangnya. Apakah dia akan diusir? Karena masih menempati rumah ini. Dan tatapannya jatuh pada pria paruh baya yang menatapnya dari atas sampai bawah, kening pria itu berkernyit, matanya ... ada sesuatu di matanya yang membuat Zevana memilih menunduk ketakutan. Tanpa kata, dia sudah merasa terintimidasi. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King [updated daily]

read
267.3K
bc

Too Late for Regret

read
156.3K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.3M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.0M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
98.6K
bc

The Lost Pack

read
102.7K
bc

Revenge, served in a black dress

read
97.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook