Part 3 : Damn

1887 Words
"Kau tau, aku harus menikahinya?" Daffa terbahak mendengar cerita Rendy. Bagaimana bisa pria itu ceroboh meniduri gadis yang masih duduk di bangku sekolah? "Lalu, bagaimana denganmu? Apa kau setuju? Mungkin ini takdir Tuhan, sudah saatnya kau menikah, Ren," ledek Daffa yang dihadiahi pukulan cukup keras di bahu oleh Rendy, sehingga pria itu harus mengusap-usap bahunya. "Kau pikir aku p*****l, huh?" Daffa semakin menaikkan volume tawanya. "Ini murni kebodohanmu sendiri, jadi bertanggung jawablah, kau harus menjunjung tinggi adat istiadatmu walaupun kau tinggal di negeri orang." "Kau sangat kolot, Daff. Aku tidak ingin seperti Ayahku yang menikahi gadis belia." "Oh, come on, waktu sudah berlalu cukup lama, kau harus move on, dari apapun itu. Apapun," ucap Daffa menekankan kata di bagian akhir membuat Rendy mengingat sesuatu. "Ah, kau harus melihatnya Daff." "Siapa?" "Gadis yang bernama Liora itu." "Kalau begitu, menikah saja dengan dia." "Dia ingin aku menikah dengan adiknya. Lagipula tidak semudah itu menentukan pernikahan dan gadis yang aku nikahi, aku harus berpikir panjang tentang itu. Tidak seperti seseorang dimasa lalu." Mendengar hal itu Daffa hanya tersenyum simpul, ia tahu Rendy sedang menyindirnya. "Setidaknya kenangan itu akan terasa sangat berharga ketika kami sudah berbahagia sekarang," balas Daffa bangkit dari sofa berniat mengakhiri obrolan yang sudah tidak jelas itu. "Aku tidak mengatakan bahwa itu dirimu, Daff." "Terserah kau, aku benar-benar tidak tahu menahu masalah ini, Ren. Selesaikan dengan secepatnya agar kau bisa kembali fokus kepada pekerjaan kita. Dan, ya, aku sangat setuju jika kau menikah." Daffa kembali terkekeh setelah lagi-lagi melontarkan leluconnya tentang pernikahan, kemudian ia meninggalkan ruangan Rendy, menyisakan pria itu dengan segudang pertanyaan dibenaknya. Apa yang harus ia lakukan sekarang untuk menghindari pernikahan itu? Bagaimana jika Adrea yang mendatanginya dan meminta pertanggungjawaban? Ia bukannya takut pada Adrea, tetapi disini sebenarnya memang putrinyalah yang dirugikan, tetapi sekali lagi Rendy tegaskan jika mereka melakukan hal tersebut atas dasar suka sama suka dalam arti memenuhi kebutuhan biologis mereka. Rendy memperhatikan ponselnya sejak tadi sembari melamun, ia lalu mengambil dompet dari sakunya dan mengeluarkan kartu nama Liora disana. Rendy tersenyum memandangi tulisan yang tercetak dengan warna silver itu, ada keuntungan yang ia dapatkan, ia bisa mendapatkan nomer ponsel Liora juga sekaligus dapat menghubunginya dengan alasan yang jelas. Tak menunggu waktu lama bagi Rendy untuk menekan nomer yang sedari kemarin ingin ia telpon. Panggilan pertama, ditolak. What? Rendy mencoba untuk menghubunginya kembali. Tidak ada jawaban, lagi dan lagi. Tapi hal itu tidak mematahkan usaha Rendy untuk menelpon Liora. "Halo?" Akhirnya sapaan dari seberang terdengar setelah untuk kelima kalinya Rendy mencoba. "Kau sibuk?" "Dengan siapa aku bicara?" "Aku menelponmu sejak tadi, kenapa kau tidak mengangkatnya?" "Aku tidak terbiasa mengangkat telpon dari orang asing." "Kau sendiri yang memberikan nomermu padaku." "Lalu katakan, dengan siapa aku berbicara?" "Apakah suaraku sangat mudah untuk dilupakan?" Terdengar helaan napas kesal di seberang sebelum panggilan terputus. Sial. Rendy menggigit bibir bawahnya. Justru ia semakin bersemangat untuk menggoda gadis itu. Kembali Rendy menekan tombol dial. Butuh waktu cukup lama untuk tersambung ke pemilik nomer. "Katakan padaku siapa kau, atau aku akan memblokir nomermu seumur hidup!" Teriakan Liora membuat Rendy menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia menahan tawa. Suara Liora sungguh seperti terompet tahun baru. "Wow, apa kau tidak ingin aku menikahi adikmu?" ucap Rendy asal. Seketika seseorang di seberang terdiam. "Kau?" "Siapa?" "Tuan Rendy? Apakah kau sudah membuat keputusan?" "Kau tidak pandai berbasa basi ya? Haruskah kau tidak menanyakan hal itu sekarang?" "Bukankan itu tujuanmu menelponku?" Rendy terdiam sejenak, tiba-tiba terlintas ide untuk menemui Liora dan tentang tuntutan gadis itu untuk menikahi Cherry. "Akan lebih menyenangkan jika kita berbicara secara langsung. Apakah kau bisa menemaniku makan siang hari ini?" "Tidak bisa." "Kenapa? Kau harus menemaniku makan siang jika ingin pernikahan itu terjadi." "Apa kau sedang mengancamku, Tuan? Aku sibuk hari ini." "Kalau begitu, kapan kau tidak sibuk?" "Tidak tahu." Rendy mengeram, ternyata Liora gadis yang cukup keras kepala dan bahkan tidak melirik sedikitpun ke arahnya? Seharusnya ia tersanjung dan merasa sangat beruntung karena Rendy mengajaknya makan siang. Apa kurangnya Rendy? Apa mungkin karena gadis itu sudah mempunyai kekasih? Sehebat apa kekasihnya itu, huh? "Baiklah kalau begitu, pertemukan aku dengan Cherry," ucap Rendy akhirnya, menggunakan cara yang terakhir. "Ah kebetulan sekali, Tuan Adrea juga ingin menemuimu." Rendy memijat keningnya, ia paling malas berurusan dengan orang tua. "Untuk apa?" "Dia calon mertuamu, Tuan." "Bisakah kau memanggil namaku saja? Kurasa usia kita tidak jauh berbeda." "Akan aku pikirkan." "Baiklah, kapan aku bisa menemui adikmu?" "Akan aku kabari secepatnya. Sudah ya, aku sibuk." Belum sempat Rendy mengucapkan kalimat perpisahan, panggilan sudah diputus paksa oleh Liora membuat Rendy mengumpat. Tapi ketika tadi ia berbicara pada Liora, terbesit suatu rencana untuk menemui Cherry untuk berbicara baik-baik dengan gadis itu. Ia harus memanfaatkan Cherry juga untuk terus bertemu Liora. Ntah kenapa Rendy merasa ingin terus melihat wajah Liora, ia benar-benar tidak tahu alasannya selain kata tertarik. Dan juga, sangat tidak mungkin bagi Rendy untuk menikahi Cherry. Oh God, dia hanya seorang gadis muda yang jalan hidupnya masih sangat panjang. Rendy akan menawarkan kesepakatan apapun pada Cherry, agar ia tidak harus menikahinya. Gadis itu pasti akan mengerti. . Dan seperti inilah akhirnya, Rendy berdiri di teras sebuah rumah mewah setelah satu jam yang lalu ia mendapat telpon dari Liora yang mengatakan jika Cherry ingin bertemu secepatnya. Seseorang membukakan pintu yang Rendy yakini adalah seorang asisten rumah tangga disana. Tak lama Liora muncul menyambutnya, membuat senyuman Rendy merekah. "Kau sudah datang?" "Apa aku tidak terlihat olehmu?" Liora merubah raut wajahnya ketika diawal tadi ia sudah mencoba untuk bersikap ramah. Melihat itu Rendy terkekeh. "Tentu saja aku sudah datang, kau kan melihatku disini." Dan ucapan Rendy sukses membuat Liora tak berekspresi apapun. Mungkin candaan Rendy terlalu hambar sehingga gadis itu hanya diam saja. "Ikutlah denganku," ajak Liora. "Dimana Cherry?" "Di kamarnya, dia menyuruhmu untuk masuk kesana." "Dan Tuan Adrea akan membunuhku?" Liora menahan tawa, terlihat senyuman kecil disana, ketika ia mencoba menghindari pandangan dari Rendy. Oh sungguh, senyuman yang sangat indah. Ini pertama kalinya Rendy melihat Liora tersenyum hanya karena ucapan recehnya? "Kau tenang saja, Tuan Adrea dan Nyonya Adrea belum pulang dari urusannya. Ayo ikut aku." Ia kembali mengajak Rendy, mereka menaiki tangga untuk menuju ke kamar Cherry. Rendy tidak akan bertanya kenapa Liora menyebut walinya sendiri dengan sebutan tuan dan nyonya. Kenyataan bahwa Liora hanya anak angkat keluarga Adrea sudah Rendy ketahui dari informasi yang Nathan berikan. Liora sempat mengetuk pintu sebelum terdengar perintah masuk dari dalam. Gadis itu membuka pintu dan mempersilahkan Rendy masuk. "Aku akan turun ke bawah, bicarakan baik-baik dengannya," ujar Liora. "Kau tidak ingin menemani kami?" "Aku ada pekerjaan lain." Final. Liora pergi meninggalkannya tanpa kata-kata lain. Sedangkan Rendy dengan ragu melangkahkah kakinya ke dalam kamar dengan nuansa marun dan putih itu. Disana ia melihat seorang gadis yang membelakanginya sedang duduk di kursi balkon. Gadis itu menengok begitu menyadari kehadiran Rendy, rambutnya tersibak berterbangan diterpa angin yang juga menyibak tirai tirai lembut diantara pintu balkon dan jendela-jendela disana. Dia adalah Cherry. "Kau datang terlambat, aku sudah menunggumu sejak tadi," ucap Cherry dengan suara yang Rendy ingat dengan baik. Apalagi suara erangannya. Kini, Rendy bisa sedikit mengingat wajah Cherry. Wajahnya memang terlihat berbeda dengan wajah pada malam sialan itu, yang ia lihat saat ini adalah wajah seorang gadis remaja biasa tanpa lipstik merah tebal dibibirnya. "Duduklah disini, kau seperti tidak pernah masuk ke kamar wanita saja," perintahnya pada Rendy. Dasar gadis nakal. Rendy mendekat dan duduk di hadapan Cherry. Gadis itu tersenyum menatap tepat ke manik mata Rendy, senyumannya manis khas gadis muda. Holy s**t. Bagaimana mungkin Rendy bisa menikahinya? Rendy akan dianggap tidak waras oleh teman-temannya nanti. Demi Tuhan, Cherry terlihat masih seperti seorang anak-anak, bahkan tubuhnya saja seperti tubuh remaja pada umumnya yang belum berkembang sempurna. Dan ia sangat mengutuk perbuatannya malam itu, bagaimana mungkin ia bisa tergoda oleh gadis yang berdada rata? Tapi omong-omong, bukankah gadis itu memang menipunya? Rendy melipat tangannya di depan d**a, juga melipat kakinya. "Apa yang kau katakan pada keluargamu sehingga mereka ingin aku menikahimu?" tanyanya penasaran kenapa seluruh keluarga Cherry mengetahui bahwa mereka telah tidur bersama. "Aku hanya mengatakan pada Liora, karena dia yang menjemputku ketika seseorang meninggalkanku begitu saja disana, tapi Liora justru memberi tahu Ayah dan Ibu," jawab Cherry santai, ia sengaja mengatakan apa yang ia pikirkan agar Rendy menyadari kesalahannya. Tetapi, pria itu hanya terdiam. "Kau menipuku?" tanya Rendy lagi. "Tidak." Cherry menggeleng sembari mencebikkan bibir merah muda alaminya. "Malam itu kau mengaku bahwa namamu adalah Stefa, Stela, Ste ..." Rendy menggantung kata-katanya karena ia memang lupa siapa nama Cherry malam itu. "Stela," ucapnya mencondongkan tubuh ke arah Rendy. "Ya, apa kau memalsukan identitasmu hanya untuk masuk ke tempat seperti itu? Juga dandananmu, sweetheart, kau masih sangat muda untuk menyia-nyiakan hidupmu. Apa kau tidak takut jika Ayahmu mengetahui hal itu?" Rendy mulai mengeluarkan kata-kata manis yang sering ia ucapkan pada wanita-wanita bodoh di luaran sana, sebenarnya dengan sedikit nada ancaman. "Aku tidak memalsukan identitasku, namaku memang Stela. Adrea Cherry Auristela." Ketika mendengar jawaban tenang Stela, Rendy memalingkan wajahnya, dan kembali memutar otak. "Baiklah, kau tahu berapa usiaku?" Cherry hanya mengangkat bahunya, tanda bahwa ia tidak mengetahui usia pria itu. "Usiaku sudah tiga puluh tiga tahun. Dan berapa usiamu sekarang? Aku dengar kau masih delapan belas tahun, bukan?" "Kau benar." "Lalu? Apa kau akan menyetujui pernikahan itu?" Cherry diam mendengarkan apa yang Rendy katakan, menanti kata-kata maaf dari bibir pria itu dengan sabar. Menurut Cherry, ada dua kesalahan yang Rendy lakukan. Pertama, pria itu meninggalkannya setelah membuatnya kesakitan, kedua, pria itu menganggapnya seorang gadis bayaran dengan meninggalkan sebuah cek. "Malam itu .. begini, ku pikir itu suatu kesalahan, aku menganggapmu gadis dewasa saat itu, dan kita dalam pengaruh alkohol, juga, kalau boleh jujur kau yang mendekatiku." "Lalu?" Cherry nampak memainkan kuku-kukunya. "Masa depanmu masih panjang, apa kau ingin menyia-nyiakannya dengan sebuah pernikahan?" usaha Rendy membuat Cherry ikut menentang rencana pernikahan itu. Bahkan Rendy yakin gadis itu belum mengerti arti dari sebuah pernikahan. Cherry semakin kesal dan merasa terhina, yang ia inginkan hanya permintaan maaf seorang Rendy, tapi bukannya meminta maaf, Rendy justru terkesan menolaknya. Cherry bukannya seorang gadis yang bodoh, yang tidak mengerti jika pria di depannya sedang mencari alasan untuk tidak menikahinya. "Kau pikir aku mau menikah dengan pria tua sepertimu?" Sungguh kalimat umpatan Cherry terdengar sejuk di telinga Rendy, ia bisa bernapas lega karena ternyata Cherry juga tidak akan mau menikah dengannya. "Syukurlah, kalau begitu, aku akan berbicara pada Ayahmu tentang hal ini, bahwa kau dan aku tidak saling mencintai dan menolak untuk menikah." "Bagaimana jika aku hamil?" Rendy tersedak tiba-tiba hingga terbatuk. "Kau mengeluarkannya di dalam," lanjut Cherry. "Kau tidak meminum apapun setelah itu?" tanya Rendy dengan wajah yang sedikit memucat. Cherry menggeleng dengan muka santainya. Tentu saja ia berbohong. Cherry minum obat pengaman yang dianjurkan Aluna dan Rose setelah itu. Memangnya Cherry bodoh ingin hamil di usia muda? "Baiklah, tunggu saja sampai satu bulan." "Lalu?" "Jika kau hamil aku akan bertanggung jawab." Rendy bangkit dari kursinya, dibarengi suara pintu yang berdecit. "Apa kau mencuri dengar obrolan kami, Nona Liora?" tanyanya ketika melihat Liora muncul di balik pintu. "Te..tentu saja tidak! Aku membawakan kalian minum," elak Liora. Ia masuk membawa sebuah nampan berisi dua gelas jus jeruk dengan perlahan. Perhatian Rendy teralih, matanya tak dapat lepas dari Liora, pandangannya mengikuti gerak Liora yang menaruh nampan di atas meja balkon, serta cara Liona mengikat rambutnya terlihat sama dengan cara Mikaela mengikat rambutnya. Rendy membuang napas kasar. Bagaimana bisa ia terus mengingat Mikaela sedangkan yang di hadapannya saat ini adalah Liora? Tapi bukankah itu yang membuat Liora sangat menarik di matanya? Rendy menggeleng kuat, ia tidak bisa berlama-lama di tempat itu. Dengan segera ia meneguk jusnya tanpa tersisa dan menaruh gelas kembali di meja, berharap jus itu dapat mendinginkan kepalanya. Rendy harus memikirkan jalan keluar yang terbaik, apalagi setelah mendengar bahwa Cherry tidak menggunakan pengaman apapun. Ia harus bersiap untuk mendapat kesialan terberat di dalam hidupnya. "Apa kalian sudah selesai bicara?" tanya Liora. Rendy hanya melirik ke arah Cherry yang terlihat masih santai memandangnya, bahkan dengan senyuman manis. "Ya, aku harus pergi sekarang, karena aku ada meeting sore ini," pamitnya cepat. Tetapi, niat Rendy sepertinya harus ia urungkan ketika Adrea terlihat sudah berdiri di pintu balkon dengan tatapan yang tajam. Oh Damn. Umpat Rendy dalam hati. Tbc...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD