"Di dalam?"
"Di luar?"
"Di dalam?"
"Di luar?"
Rendy bergumam gelisah  sambil mengetuk-ngetukkan sebuah bolpoin ke meja kerjanya seirama dengan  apa yang ia ucapkan. Ia memandang hamparan pemandangan luar dari kaca  gedung perusahaan yang ia bangun dengan hasil kerja kerasnya bersama  Daffa. Selama ini Rendy memutuskan untuk tinggal di Singapura. 
Ada beberapa hal yang  membuatnya memutuskan untuk menetap di negara kecil yang sangat  berkembang itu. Salah satunya, ia ingin menghindari ayah dan juga istri  mudanya yang kini telah dikaruniai seorang putra. Ya, adik Rendy. 
Lalu, memang ada sesuatu yang membuatnya sangat ingin tinggal di Singapura.
Sebenarnya, saat ini  Rendy tengah merasa gelisah, ia mengingat kembali betapa cerobohnya ia  meniduri seorang wanita dalam keadaan mabuk. Selama ini, ia tidak pernah  meniduri wanita dalam keadaaan tidak sadar. Bahkan siapa wanita itu,  Rendy tidak terlalu mengingatnya.
Stefa? Stela? Atau siapa namanya? Sungguh Rendy tidak bisa mengingat nama, bahkan wajahnya saja teringat samar.
Rendy hanya takut, jika  ia tidak sengaja mengeluarkannya di dalam, lalu wanita itu hamil. Ia  tidak ingin punya anak dimana-mana seperti pria b******k yang tak  bertanggungjawab, apalagi dengan seorang wanita asing yang baru ia  kenal.
Oh sungguh sial.
Tapi, jika mengingat  wanita itu adalah tipikal wanita nakal, pasti ia akan berusaha  bagaimanapun caranya agar tidak hamil, apalagi Rendy sudah memberinya  uang yang cukup banyak.
Lamunan pria itu buyar ketika seseorang mengetuk pintu ruangan.
"Masuk," suruh Rendy.
"Pak Rendy, apa Anda memanggil Saya?"
Rossa, sekretarisnya muncul dengan pakaian super ketat yang hampir mencuatkan belahan dadanya.
"Ya, atur ulang jadwal pertemuan siang ini, karena aku tidak bisa pergi terburu-buru, kepalaku sakit," pinta Rendy memijat dahi.
Sembari tersenyum menggoda, Rossa mengiyakan permintaan bosnya lalu meninggalkan ruangan dengan gestur yang masih tampak nakal.
Rendy sudah tidak heran  dengan tingkah Rossa yang berani kepadanya. Sudah kesekian kali Rossa  berusaha menggoda Rendy, tetapi ia tidak menggubris sama sekali.
Bagi Rendy, suatu  pantangan untuk bercinta dengan karyawan sendiri, atau rekan bisnisnya.  Hal itu tidak akan bisa terjadi karena akan merusak imej juga kinerja  mereka. 
Bukannya apa, Rendy  hanya takut jika mereka jatuh cinta padanya tetapi Rendy tidak akan bisa  membalas perasaan mereka. Siapa yang akan dikorbankan? Tentu saja  pekerjaan. Dan Rendy tidak menginginkan itu. Ia sangat profesional jika  itu menyangkut karirnya.
Rendy mendengus pelan dan mengusap kasar wajah tampannya. Sungguh kecerobohan yang tidak akan Rendy ulang seumur hidup.
.
Seorang gadis membolak  balik sebuah kertas berpotongan kecil panjang sembari tersenyum  menyeringai penuh rencana. Ia mengayun-ayunkan kakinya di kursi sebuah  kafe tempatnya melamun sejak tadi, menunggu teman-temannya datang.  Sesekali ia menyeruput milktea yang sudah tersisa setengah.
"Cherry!"
Panggilan seseorang memalingkan pandangannya. Disana, ada dua gadis yang sedang ia tunggu-tunggu menuju ke arahnya.
"Waoh, kau hebat," ucap Rose, salah satu gadis yang datang sambil bertepuk tangan.
"Shut up b***h! Kau tau aku bersusah payah untuk datang kesini!" umpat gadis yang dipanggil Cherry.
Kedua temannya yang masih mengenakan seragam sekolah itu hanya terkekeh dan dengan segera duduk menghimpit Cherry.
"Aku akui kau sangat  hebat bisa 'berjalan' untuk sampai kesini. Bagaimana rasanya, dia pria  yang sangat besar bukan?" Tanya Aluna, teman Cherry yang lain dengan  penuh makna menekankan kata 'berjalan'. Ia memandang tubuh Cherry dari  ujung kaki hingga ujung kepala sembari bersiul.
"Aku tidak menyangka, kau akan senekat ini," timpal Rose.
Cherry mendengus, memperhatikan para sahabat yang wajahnya terlihat berbinar itu.
Baiklah, mereka terlihat  senang, karena sekarang Cherry merasa benar-benar seperti bagian dari  mereka yang sudah tidak perawan lagi.
"Ini semua karena taruhan gila itu!" tukas Cherry, menaruh kertas yang sedari tadi ia pegang ke atas meja dengan cukup keras.
Cherry mengingat kembali kejadian semalam, tepat di ulang tahunnya yang ke delapan belas ...
.
"Kau yakin tidak ada  yang akan menyadari usia kita?" Tanya Cherry sembari bercermin di kaca  toilet yang cukup besar. Ia memoles lipstik merah terang ke bibirnya.
"Kita sudah legal untuk masuk ke tempat seperti ini Cherry! Seperti bukan kau saja."
"Aluna, dia hanya takut jika tidak mendapatkan pria yang sesuai dengan keinginannya."
Cherry menghela napas  kasar. Ia membuat taruhan gila dengan para sahabatnya. Jika nilai ujian  matematikanya tidak mencapai angka delapan maka ia akan melepas  keperawanannya, karena di antara mereka bertiga, hanya Cherry-lah yang  masih suci.
Dan ternyata, nasib baik tidak berpihak pada Cherry. Nilai ujiannya bahkan tidak mencapai angka tujuh.
Mau tidak mau Cherry harus menebus taruhannya.
Kebetulan, kakak Rose  mendapat undangan pesta ulangtahun dari seorang artis muda yang  merupakan teman dekat kakaknya di salah satu bar ternama. Rose  mencurinya diam-diam karena tahu kakak tercintanya tidak dapat hadir.  Gadis itu sengaja mengajak Cherry dan Aluna untuk datang, dan juga untuk  mencarikan pria untuk Cherry, karena akan ada banyak pria tampan  disana. Tentunya untuk mereka juga.
Mereka sengaja  berdandan sedewasa mungkin agar orang-orang tidak mengetahui usia mereka  yang sebenarnya, karena Rose dan Aluna memang menyukai pria-pria yang  mapan, yang punya banyak uang. Dan pria-pria macam itu tidak mungkin  akan melirik bocah seperti mereka. Lagipula, secara usia, mereka memang  sudah boleh masuk ke tempat orang dewasa.
Terdengar suara  dentuman musik di luar sana, Cherry sebenarnya tidak keberatan untuk  melakukan hal ini, karena dia memang ingin merasakan pengalaman yang  selama ini hanya ia dengar dari Aluna dan Rose.
"Cepat keluar dan  cari mangsamu," ucap Rose buru-buru menggandeng Cherry untuk keluar dari  toilet. "Dengarkan aku, jangan gunakan nama Cherry, karena nama itu  terdengar sangat kekanakan. Kau mengerti?" Ingatnya lagi.
Cherry memutar bola matanya malas. "Aku mengerti, namaku Stela setelah ini."
Rose nampak tersenyum puas.
Sejak keluar pintu  toilet, mata mereka memburu pria-pria yang datang, berjalan bolak-balik,  tidak sedikit pria juga yang menggoda mereka. Ya, seperti pria-pria  konyol kebanyakan yang memang bukan selera mereka.
Tiba-tiba mata Aluna  terkunci pada seorang pria yang terlihat berjalan sendiri sambil  menenteng jasnya menuju salah satu sofa kosong yang hampir tak terlihat.  Sungguh, pria itu adalah tipe kesukaannya. Badan yang tinggi, tegap,  rahang yang tegas, tetapi wajahnya terlihat sangat lembut. Ia tahu siapa  pria itu.
"Kau lihat pria yang baru saja duduk di sofa itu?" Tunjuk Aluna pada kedua temannya.
"Wajahnya seperti tidak asing," ujar Rose mengamati.
"Dia adalah seorang  pengusaha muda yang sangat sukses sekarang ini, aku sering melihatnya di  majalah, kalau aku tidak salah, namanya Rendy Leonard Sanjaya," jelas  Aluna.
"Hm... Sepertinya aku pernah mendengar nama itu."
"Kau benar, Rose, kau butuh majalah-majalah bisnis jika menginginkan suami kaya seperti Ayah Cherry, bukan hanya majalah gosip."
"Oh please, Aluna.  Jika hanya seorang pria macam itu, aku juga bisa menaklukkannya," ujar  Cherry sesumbar, tak ingin ayahnya disebut-sebut.
"Pria macam itu kau bilang?"
"Sudah ku putuskan, aku akan tidur dengannya malam ini. Dia adalah targetku."
Seketika Aluna dan Rose tertawa.
"Kau belum minum alkohol sama sekali hari ini, jadi aku sangat yakin kau tidak mabuk, Cherry," ledek Rose.
"Benar, jangan  bermimpi untuk meniduri pria dewasa yang mapan sepertinya. Kau lihat,  dia benar-benar terlihat sangat tampan dan seksi dalam waktu yang  bersamaan," puja Aluna dengan tatapan nakal.
"Daripada Om-om  tampan itu, lebih baik kau meniduri Mario, teman kakakku. Kau sangat  cantik Cherry, aku yakin dia tidak akan menolakmu. Lagipula usianya  tidak terpaut jauh dengan kita," saran Rose yang tidak bisa Cherry  terima.
"Kalian  meremehkanku?" Tanyanya. "Aku menginginkannya. Aku menginginkan pria  itu, jadi diam dan lihatlah bagaimana aku mendekatinya," tukas Cherry  percaya diri. 
Ia meninggalkan kedua temannya dan memberanikan diri untuk mendekati pria itu dengan hati yang berdebar. 
Setahu Cherry, pria  dewasa akan memperlakukan wanita dengan lembut. Jadi, untuk yang pertama  kali, Cherry ingin seorang pria yang berpengalaman, dan pria yang saat  ini Cherry dekati terlihat sangat baik dan berpengalaman, apalagi ia  tampan, membuat Cherry mantab menjadikannya target. Tetapi, ada hal   yang mengganggu pikiran Cherry, ia takut jika pria itu menolak dan  mempermalukan Cherry di hadapan Aluna juga Rose, karena ini pertama  kalinya Cherry berbicara dengan pria itu, ia tidak ingin dianggap orang  aneh.
Cherry menggeleng-gelengkan kepala, melenyapkan keraguan yang ada di hatinya.
Ia akan tidur dengan pria itu!
Siapa namanya tadi?
Rendy Leonard Sandjaya?
.
Cherry!
Panggilan Aluna tepat di  telinga, membuyarkan ingatan Cherry dari pria tampan yang semalam sudah  merenggut keperawanannya. Ya, Cherry berhasil meniduri Rendy dengan  sangat mudah, pria yang sempat dipuja-puja Aluna.
"Lihatlah, dia melamun lagi, apa pria itu terlalu hebat hingga membuatmu lupa segalanya?"
Cherry memejamkan mata, meredam kekesalannya karena Rose dan Aluna yang terus menggodanya.
"Omong-omong, kenapa kalian meninggalkanku semalam?"
"Lalu? Kami harus menunggumu untuk bercinta dengannya, huh?
Mendengar itu, Cherry hanya mencebikkan bibir menghabiskan sisa milktea-nya
"Tapi sungguh, aku akui,  kau benar-benar hebat sudah berhasil menggoda seorang Rendy." Aluna  mengambil secarik kertas yang tadi Cherry letakkan di atas meja. "Lalu,  apa ini?" Tanyanya penasaran.
Cherry merebutnya dengan cepat, dan menarik kedua sisinya hingga tulisan dalam kertas itu terlihat jelas.
"Kalian tahu? Si sialan itu menganggapku p*****r dan memberikan cek ini padaku."
Mendengarkan penjelasan  Cherry, sontak kedua sahabatnya tertawa cukup keras hingga pelanggan  kafe yang lain melihat ke arah mereka.
"Apa kau serius?"
"Apakah aku seburuk itu? Maksudku dandananku semalam? Beraninya dia membayarku!"
"Lalu kenapa kau tidak menolaknya dan menjelaskan padanya?"
Cherry menghela napas,  ia melipat kedua tangannya di depan d**a. "Bagaimana aku bisa  menjelaskan padanya? Begitu aku membuka mataku dia sudah tidak ada. Dia  meninggalkanku bersama cek ini."
Aluna dan Rose kembali tertawa.
"Hentikan dan jawab aku!  Apa wajahku seperti w************n?" Cherry mendengus. Ayahnya bisa  memberikan uang berkali-kali lipat jika ia mau, tapi pria kurang ajar  itu? Pria yang sebenarnya membuat Cherry penasaran karena sebuah cek.
Pria lain akan dengan  senang hati mendekati Cherry, karena ia cantik dan kaya. Tapi pria itu?  Ia justru meninggalkan Cherry dengan sebuah bayaran? Holy s**t, Cherry  bukan p*****r!
Gadis itu bersumpah, ia  akan membuat Rendy Leonard Sandjaya meminta maaf atas perbuatannya yang  membuat Cherry merasa terhina. Seharusnya pria itu menunggu Cherry untuk  bangun, menanyakan siapa Cherry sebenarnya dan mengantarkan Cherry  pulang. Tapi, pria lembut yang Cherry bayangkan justru memberikan  penghinaan padanya. Apa ia sangat tidak berkesan untuk seorang Rendy?  Apa Cherry tidak menarik dan kurang cantik?
"Lalu bagaimana kau bisa  pulang pagi ini?" Rose menjentikkan jari di depan wajah Cherry ketika  dilihatnya gadis itu melamun lagi.
"Tentu saja aku menelpon  kakakku tercinta, dan menyuruhnya untuk menjemputku juga membawakan  seragam sekolah untukku," kata Cherry santai.
"What? Kakakmu?"
Cherry menganggukkan kepalanya.
"Apa kau menceritakan semua padanya?"
"Tentu saja, Rose, jika aku berbohong, dia tidak akan mau berbohong pada ayahku jika aku sebenarnya membolos hari ini."
Aluna dan Rose saling bertatapan.
"Lalu, dimana dia sekarang?"
Cherry tak menjawab, ia  tersenyum dengan wajah mencurigakan memandang kedua sahabatnya. Tanpa  Cherry jelaskan apapun keduanya paham, apalagi mereka sangat tahu  bagaimana sifat kakak Cherry itu.
.
"... dalam bagan ini  akan saya jelaskan tentang keuntungan yang akan didapatkan jika kita  menjalankan proyek ini sesuai anggaran. Jadi disini-"
Ucapan Rendy terhenti, seketika ia dikagetkan dengan suara dobrakan pintu yang cukup kuat.
"Nona, anda tidak bisa seenaknya masuk ke dalam," suara seorang sekuriti memecahkan keterkejutan Rendy.
Seketika semua mata  tertuju pada seorang gadis yang menyela masuk dengan terburu-buru  diikuti kedua orang berbadan gempal di belakang yang berusaha memegang  tangannya.
Gadis dengan ...
Wajah Mikaela? Hidung, mata bahkan bibir yang hampir sama persis dengan milik cinta pertama Rendy itu membuatnya membatu.
Langkah lebar gadis itu  terlihat lantang mendekatinya hingga jarak diantara mereka terkikis dan  satu tamparan keras menyadarkan Rendy bahwa gadis itu bukan Mikaela.
"Dasar b******n!" Teriaknya kasar.
Siapa? Rendy-kah yang sedang ia maki?
Bahkan untuk melirik  orang-orang di sekitar saja Rendy tidak mampu memalingkan pandangannya  dari wajah gadis itu. Padahal Rendy yakin semua orang yang ada dalam  ruangan akan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Seorang gadis  menyerobot masuk, menamparnya dan memakinya.
Gadis yang benar-benar terlihat seperti Mikaela.
"Nona, kami terpaksa menyeret Anda keluar sekarang juga."
Salah satu sekuriti  sudah memegang tangan gadis itu, tapi dengan cukup kuat ia  menghentakkannya dan kembali menatap tajam ke mata Rendy.
"Kau pria b******n yang  berani meniduri adikku!" umpat gadis itu lagi, kali ini dengan kesadaran  penuh Rendy, ia sedikit panik dengan melirik sekitarnya, orang-orang  yang awalnya hanya menonton kini mulai berbisik-bisik.
Dengan sigap kedua  sekuriti itu memegangi kedua tangan si gadis, ia mencoba memberontak  tapi kali ini tampaknya pria-pria penjaga kantor Rendy itu lebih  menggunakan kekuatannya.
"Lepaskan aku! b******k! b******k! Kau harus bertanggungjawab!" Teriaknya ketika kedua sekuriti berusaha menyeretnya keluar.
Sedangkan Rendy? Ia  hanya bisa tertegun memandangi wajah penuh amarah yang memakinya. Tangan  Rendy bergerak tanpa sadar mengelus pipi yang mendapat tamparan cukup  keras, yang ia yakini akan memerah.
Sedangkan sayup-sayup,  sekretarisnya terdengar mengambil alih rapat yang kacau itu. Mungkin  saja ia akan menunda meeting kali ini. Ntahlah, Rendy sudah merasa tidak  bisa memfokuskan diri lagi.
Siapa? 
Siapa gadis yang berani menamparnya itu?