Jehan kini menatap tangan kecil Jevian yang masih menggenggam jemarinya. Sentuhan itu ringan, tapi entah mengapa terasa begitu kuat, seolah mengikat sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar sapaan sopan antara anak kecil dan orang dewasa. Jemarinya yang besar menutup perlahan di atas tangan mungil itu, begitu hati-hati, lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang selama ini hilang dan takut kehilangannya lagi. “Jevi pintar sekali,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan yang lahir dari d**a, bukan dari bibir. Suaranya bergetar halus, sarat dengan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak mampu jelaskan. “Kamu anak yang sopan sekali.” Jevi tersenyum senang, memperlihatkan deretan giginya yang belum rapi. “Mama bilang, kalau ketemu olang tua, halus salim. Itu copan

