"Anakku," jawab Teysya cepat dan tegas, suaranya seperti cambuk yang memecah udara di dalam mobil. Kata itu seolah menghantam Jehan tepat di ulu hatinya. Rahangnya mengeras, matanya menatap lurus ke depan beberapa detik sebelum akhirnya ia menoleh tajam ke arah Teysya. Gerakannya spontan, nyaris kasar ketika tangannya mencengkeram bahu perempuan itu. "Jawab aku dengan jujur, Teysya!" suaranya meninggi, bukan semata karena amarah, tapi juga karena sesuatu yang lebih dalam, keterkejutan, ketakutan, dan penyesalan yang samar. "Sudah aku katakan, anakku!" balas Teysya dengan nada bergetar. Ia menatap balik ke arah Jehan, matanya basah, suaranya gemetar tapi sarat kekuatan yang menahan pecahnya tangis. Ada luka di sana, luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Luka yang dulu Jehan sendiri

