Suasana ruang rapat BEM siang itu riuh tapi produktif. Tumpukan proposal berserakan di meja panjang, proyektor menampilkan grafik anggaran, dan belasan anggota sibuk berdebat soal event tahunan kampus. Zayne duduk di kursi ujung, posisi Ketua BEM yang sudah jadi pusat perhatian. Kemejanya digulung sampai siku, keningnya berkerut dalam. Satu tangan menekan pelipis, sementara tangan lainnya menggenggam pulpen yang tak pernah benar‑benar ia gunakan. “Ketua, gimana keputusan finalnya?” tanya Frans, sekretaris, sambil membolak‑balik berkas tebal. “Kita jadi ambil sponsor dari Navarre Group atau nggak?” Zayne tidak langsung menjawab. Matanya memandang layar, tapi fokusnya kabur. Suaranya keluar pelan, nyaris tak terdengar. “Hmm … Navarre … nanti kita bahas lagi aja.” Reynold yang duduk di s

