Bab Dua

1193 Words
"Mas, aku hamil," ucapku sangat bahagia meksipun hanya tiga kata yang diucapkan. Gerakan tangan Mas Bagas yang hendak mengambil handuk terhenti. Dia menatapku lekat dengan penuh kebencian. "Jangan bohong! Aku sudah bisa pastikan dari dulu, kalau kau gak mungkin hamil," ucapnya tajam. "Buktinya aku hamil, Mas." Aku masih berbicara dengan wajah yang berseri. "Hamil? Jangan mimpi Vania! Jelas-jelas aku sudah memberikan obat itu setiap malam. Jadi, aku sangat yakin kalau kau pasti berbohong!" bentaknya membuatku sangat terkejut. Obat? Obat apa yang dia maksud? "Obat apa yang kamu maksud, Mas?" tanyaku sambil memicingkan sebelah mata. Mas Bagas menatapku penuh kemenangan. "Tentu saja obat pencegah kehamilan, aku tidak mau kau hamil anakku. Karena aku tidak sudi kalau aku punya anak dari wanita sepertimu," ucapnya terdengar santai padahal dia sudah melakukan kejahatan. Lututku mendadak lemas ketika mendengarnya. "Kenapa kamu lakukan ini padaku, Mas? Apa salahku?" tanyaku dengan air mata yang tidak biasa kutahan lagi. Cukup sudah aku dia sakiti, tapi kenapa anak yang tidak berdosa juga ikut menjadi sasarannya? "Kenapa? Kamu tanya kenapa?" Mas Bagas mendekat ke arahku dan mencengkram wajahku kuat. "Aku sudah bilang karena aku tidak ingin punya anak dari wanita sepertimu. Kau terlalu biasa untuk menjadi istriku dan kau sangat tidak pantas. Harusnya kau langsung tahu diri semenjak masuk ke dalam keluargaku, jadi aku tidak perlu berpura-pura menjadi suami yang baik selama ini dan kau juga tidak akan terluka, tapi apa, kau malah semakin bersikap seperti Nyonya, seolah aku memang menginginkanmu," ucapnya panjang dengan penuh emosi. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti duri yang menancap kuat di hatiku. Apakah aku memang wanita yang pantas untuk menerima luka seperti ini? Tapi kenapa, aku tidak pernah menyakiti orang lain di masa lalu. "Lepas, Mas!" Aku mendorong tubuhnya dengan keras, tapi tanganku sama sekali tidak ada apa-apanya dengan tenaga yang dia miliki. Tentu saja aku kalah jauh. "Pergilah dari rumah ini, Vania. Aku benar-benar sudah murka ketika melihatmu di depan mataku," geramnya sambil mengencangkan cengkeramannya. "Arghhh!" Aku berteriak dengan sangar keras dan mendorongnya kembali dengan semua tenaga yang aku miliki. Kali ini berhasil dan dia menjauh beberapa langkah. "Aku tidak menyangka kalau kamu sampai tega menyakiti janin yang tidak bersalah, Mas." Aku menatapnya dengan mata yang berapi-api. Ada kemarahan dalam dada ketika dengan entengnya dia mengatakan setiap malam memberikanku obat pencegah kehamilan. Jika sekarang usia kandunganku berumur dua bulan, berarti selama dua bulan ini anakku selalu diberikan obat itu? Heh, kenapa aku selama ini tidak sadar dengan apa yang dia lakukan selama ini. Aku memegangi kepala yang terasa sangat berat. "Kamu keterlaluan, Mas. Kamu benar-benar tidak punya hati!" rutukku dengan air mata yang berlinang. "Ya, aku memang tidak punya hati dan aku juga kejam. Jadi mulai sekarang, aku mengusirmu dari rumah ini, Vania!" teriaknya lantang. Mas Bagas menghentakkan kakinya keluar kamar dan sepertinya malam ini kembali tidur di luar. Sementara aku mencoba memijit kepalanya yang terasa berat sambil berbaring di tempat tidur. Sekeras apapun usaha Mas Bagas untuk mengusirku, aku tidak akan pergi dari rumah ini, dan dari sisinya. Selain aku tidak ingin menjadi orang tua tunggal, aku juga tidak mau membuat anakku nanti hidup dalam kesusahan. Aku harus bisa bertahan sampai Mas Bagas mau menerima anaknya ini. Air mata tiba-tiba saja menetes ketika kembali teringat dengan perkataan Mas Bagas. Apa benar kalau selama ini Mas Bagas tertekan menikah denganku, tapi kenapa baru bicara sekarang? Bukankah dulu bisa? Tapi kenapa malah setelah tahu aku mengandung anaknya? Rasa sakit tidak bisa aku tahan lagi, kenapa aku harus menjalani kehidupan seperti ini? Apa dosa yang pernah aku lakukan di masa lalu? Karena tidak kunjung berhenti menangis, aku sampai tidak sadar tertidur. Suara wanita yang sedang tertawa terbahak-bahak membuatku terbangun dari tidur. "Memangnya istri Mas gapapa jika melihatku ada di sini?" tanya seorang wanita yang membuatku terkejut. Di mana mereka berada? Masa iya Mas Bagas membawa perempuan lain ke sini? Mataku menatap tidak percaya ketika membuka pintu ruang tamu. Ada dua perempuan yang sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. "Istri? Mas masih single, Sayang," jawab Mas Bagas seenaknya. Meskipun aku sangat marah sampai ingin memaki, tetapi ada rasa senang yang mengalir dalam dada. Ternyata wanita kemarin yang dikenalkan Mas Bagas sebagai istri hanyalah kebohongan. Buktinya sekarang yang berada di sampingnya adalah wanita yang berbeda. Aku kembali menyibukkan diri dengan bunga yang kutata di ruang tamu tanpa memedulikan apa yang dilakukan Mas Bagas. Aku tidak punya banyak uang untuk membeli rumah ataupun untuk mempunyai kehidupan yang layak. Hanya di sini rumahku. Mas Bagas yang baru saja keluar dari kamar tamu menatapku penuh kebencian. "Eh, Mas, lapar? mau makan apa?" tanyaku lembut. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi istri yang bisa diandalkan. Namun, diluar dugaan, Mas Bagas malah menarik tanganku keluar rumah. "Pergilah dari rumahku, aku sudah tidak tahan melihat sampah sepertimu!" teriaknya dengan mata yang menatapku tajam. Amarahnya sudah membabi buta. Apakah aku takut? Tentu saja. Aku sangat takut ketika suami yang selama ini selalu bersikap lembut dan melakukan apapun yang aku inginkan kemarin melakukan hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya dan mengatakan kalau selama ini dia pura-pura baik. Jika hal itu mungkin hanya terjadi selama beberapa bulan atau paling lama satu tahun, aku tidak akan begitu terkejut. Tapi ini lima tahun, selama 60 bulan dia selalu memperlakukan aku bagaikan ratu, dan aku juga selalu melakukannya seperti seorang raja. Lima tahun sudah kami saling mencintai dan saling melengkapi dalam suka ataupun duka, tapi dia menghancurkannya begitu saja dengan mudah. "Pergilah dari kehidupanku!" teriaknya lagi. Hanya kata ini yang dia ucapkan dari kemarin, tapi tidak, sampai kapanpun aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini atau dari sisimu, Mas. Dia mendorongku dengan sangat keras, untunglah aku masih bisa menjaga keseimbangan diri, jadi tidak terjatuh. Mas Bagas pun mulai mengunci pintunya dan membiarkanku aku sendirian di luar. Aku pun pergi dari rumah, tapi tidak untuk benar-benar pergi. Aku hanya ingin pergi ke supermarket yang ada di dekat rumah untuk membeli beberapa susu ibu hamil yang disarankan dokter kemarin. "Anggap saja Papa Bagas memintamu dan Mama untuk jalan-jalan, ya, Sayang," bisikku pada janin yang ada di dalam kandungan sambil mengisapnya dengan tangan kanan. Sesampainya di supermarket, aku langsung memilih beberapa susu yang memang sudah sesuai kategori. Namun, gerakanku terhenti ketika melihat sepasang suami istri yang sedang berbelanja juga. Sang istri yang berbadan besar sedang memilih susu untuk ibu hamil juga dan suaminya sedang mendorong troli. Mereka sesekali bercanda bersama. Ah, indahnya melihat kebersamaan itu. Namun, apakah aku bisa? Aku juga hanya wanita biasa yang ingin diperlakukan sama. "Yang ini apa, Mas?" tanyanya kepada laki-laki yang mendorong troli itu. "Terserah kamu, Sayang. Beli saja semuanya, nanti kalau tidak suka jangan diminum lagi," ucap suaminya lembut. Tanpa sadar, aku jadi membayangkan bagaimana aku dan Mas Bagas nanti ketika usia kandunganku sudah seperti wanita itu. Mungkinkah aku juga akan mendapatkan perlakuan yang sama? Atau mungkin aku akan menjadi seorang wanita yang terbuang? Hatiku kembali teriris ketika mengingat perlakuan yang aku terima sejak kemarin. "Maaf, apa anda tidak apa-apa, Nona?" tanya laki-laki yang menjadi suaminya itu sambil menatapku aneh. "Apa anda baik-baik saja?" istrinya pun ikut bertanya. Aku langsung menggerakkan tangan untuk menghapus air mata yang secara tidak sadar mengalir begitu saja. "Saya tidak apa-apa, terima kasih," lirihku sambil tersenyum ke arah mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD