Setelah makan Jeanne langsung berdeham keras untuk menarik perhatian Alan yang baru menyelesaikan makannya.
Alan menoleh ke arah Jeanne dengan sebelah alis terangkat tinggi. "Apa?" tanyanya.
"Jangan pura-pura nggak tahu, deh! Lo udah janji mau jelasin semuanya ke gue, kan?" Jeanne menatapnya tajam.
Alan hanya tertawa pelan. "Iya-iya! Gue nggak lagi pura-pura nggak tahu, tapi gue emang nggak tahu—"
Alan langsung merasakan sebuah tarikan kuat di kerah kausnya. Jeanne yang melakukannya, dengan sebelah kaki naik ke sofa, satu tangan menumpu di sandaran sofa menekankan tubuhnya ke arah Alan, dan satu tangan lainnya mencengkeram kerah kaus yang Alan kenakan.
Jeanne mendekatkan wajahnya ke depan wajah Alan. "Jangan main-main lo, ya!" Nadanya penuh ancaman, tatapan tajamnya pun tampak dangat mengerikan. Seketika suasana di antara mereka berubah secara signifikan.
Alan masih mencoba untuk tetap biasa saja. Dia sama sekali tidak takut ataupun gentar, karena posisi mereka sekarang jujur saja malah lebih menguntungkan Alan, karena hanya dengan satu gerak cepat dia bisa langsung membalik keadaan.
Sekalipun Jeanne pernah mempelajari ilmu bela diri sebelumnya, itu semua tidak berarti saat melawannya. Karena Alan sendiri pernah dididik keras oleh ayahnya yang seorang mantan tentara. Ayahnya yang ingin Alan menjadi tentara juga, sayangnya Alan tidak mau melakukannya.
Alan mengembuskan napas panjang, lalu memejamkan mata seraya berdoa agar dia diberi banyak kesabaran untuk tidak balik melawan. "Lo mau penjelasan dari mana? Abis dari kelab, waktu perjalanan pulang, atau waktu kita udah sampai apartemen?"
"Semuanya!" jawab Jeanne dengan penuh penekanan.
Alan membuka mata dan menatap Jeanne dengan senyum masam yang menyebalkan. "Kalau gitu, pertama-tama gue harus minta maaf dulu, karena mungkin kata-kata gue bakal sangat menganggu."
"Apa?" Jeanne menatap Alan penasaran.
"Lo masih ingat kalau lo sempat minum minuman gue semalam, kan?" tanya Alan sambil menatap Jeanne serius.
Jeanne mengangguk. "Gue masih inget waktu gue minum banyak banget, terus temen-temen gue pada balik pulang. Waktu itu harusnya gue udah setengah sadar, kan?"
Alan mengangguk. "Gue udah nahan lo biar berhenti minum, tapi lo nggak mau. Terus lo minta sama gue buat bawa lo balik, seumpama lo mabuk. Ya udah, waktu lo teler dan nggak bisa minum lagi, gue langsung bawa lo balik ke apartemen gue."
Jeanne mengangguk mengerti. Sampai di sana, dia masih bisa mengingat apa saja yang sudah terjadi. "Terus?"
"Jujur aja, iman gue tipis banget, Je. Lo yang lagi mabuk itu menggila di mobil gue," jelas Alan tanpa ditutup-tutupi sedikit pun.
"Hah?!" Jeanne menatap Alan dengan tatapan tidak percaya.
"Karena nggak ada CCTV, jadi nggak ada buktinya, tapi lo emang parah banget kalau lagi mabuk begitu. Kalau gue pacar lo, gue pasti bakal langsung larang lo minum-minum lagi abis ini!"
"Apa-apaan sih lo? Maksudnya apa coba? Gue kalau mabuk emangnya gimana? Perasaan selama ini gue cuma teler biasa aja!" Jeanne menyangkal dengan nada tidak terima.
Bukan hanya sekali dua kali dia mabuk, tapi hampir berulang kali dan semuanya selalu berakhir baik-baik saja. Dia hanya tidak sadarkan diri biasa. Tidak sampai menggila seperti apa yang dikatakan Alan padanya.
"Kalau cuma teler biasa, terus siapa yang ngoral gue di mobil sampai apartemen, hm?"
Jeanne mengerjap. "Hah?!" Wajahnya benar-benar terlihat bodoh sekali sekarang. "Lo cuma bercanda, kan?"
Alan menatapnya tajam, tatapan serius yang membuktikan jika dia tidak sedang bercanda sekarang. "Gue serius, Je. Gue sama sekali nggak bercanda. Emang itu yang lo lakuin sebelumnya."
Jeanne menjauhkan tubuhnya dari Alan sambil menutup mulutnya syok. Kalau memang begitu, itu berarti selama dia mabuk dulu ... dia pun pernah melakukannya pada mantan-mantan pacarnya itu? Makanya mereka sering mengajak Jeanne ke kelab malam atau sekadar minum-minum di bar hingga dia tak sadarkan diri dulu?
"Gue nggak tahu gimana cara orang lain menghadapi lo sebelumnya, tapi gue nggak bisa nahan diri gue sebaik mereka. Waktu gue bawa lo masuk apartemen, lo emang udah mendingan, terutama setelah lo buang semua pakaian lo sembarangan dan muntahin selimut gue. Tapi gue sama sekali nggak bisa nahan."
Alan berdeham pelan saat melihat Jeanne kini sudah memelototinya. "Jadi gue lakuin itu. Gue nggak pernah mikir kalau lo masih perawan dengan mulut seberani itu, dengan pergaulan bebas lo sebelumnya, dan dengan mantan berengsek lo yang jelas-jelas masih gue kenal baik siapa. Gue nggak pernah bisa mikir kalau lo masih perawan. Jadinya gue sama sekali nggak ragu buat ngelakuinnya," jelas Alan penuh kejujuran.
Jeanne langsung memegangi kepalanya yang terasa pusing sekali. Alan memang ada benarnya juga. Mulut Jeanne memang suka seenaknya. Pergaulannya pun liar, ditambah kalau dia mabuk bisa sampai jadi seperti itu juga. Dan mantan pacarnya adalah sepupu Alan, si Alva cowok berengsek yang sudah pasti meniduri semua kekasihnya, kecuali Jeanne saja.
Namun dia sampai berani melakukannya ....
Jeanne menggigit bibir bawahnya saat menatap Alan dan kembali bertanya padanya. "Lo kok bisa-bisanya masih nafsu sama gue setelah lihat gue muntah sebanyak itu? Normalnya, orang lain bakal langsung muak dan ngamuk, lho! Nggak mungkin mereka masih nafsu sama cewek setelah lihat itu cewek muntah-muntah parah, kan?"
"Gue emang beda. Gue udah biasa lihat orang muntah karena mabuk selama ini. Gue juga udah bersihin tubuh lo baik-baik dan gue emang pengen juga gara-gara ulah lo sebelumnya. Jadi ya ... gue garap aja, mumpung ada di depan mata, kan?"
Jeanne langsung memukuli Alan yang menerima pukulannya sembari mengaduh kesakitan. "Lo sialan! Berengsek! b******n! Bisa-bisanya lo kayak gitu!"
"Awwhh aduuhh duuhh duhhh! Hei, stop! Gue udah jelasin semuanya tadi sama lo. Emang kayak gitu ceritanya, nggak ada yang gue tutup-tutupi lagi! Kenapa lo masih nyalahin gue, sih?!"
Walaupun protes seperti itu, nyatanya Alan masih menerima pukulan Jeanne karena menurutnya wajar saja kalau Jeanne marah padanya. Bahkan lebih baik jika perempuan itu langsung memukulinya daripada meninggalkannya tanpa kata dan mendiamkan Alan layaknya seorang penjahat kelas kakap yang tidak layak dianggap manusia.
"Ya gimana nggak disalahin? Lo udah merawanin gue, sialan! Mana nggak cuma sekali dua kali doang, kan? Sumpah s**********n gue sakit banget tadi pagi! Rasanya kayak mau dibelah jadi dua gitu!"
Pengakuan itu langsung membuat Alan meringis. Setelah tahu Jeanne masih perawan dan masih sadar malam itu, dia benar-benar langsung menggarapnya habis-habisan.
Sudah telanjur dilakukan, jadi dia harus menikmatinya saja sekalian, kan? Sudah terjadi dan masih ada di depan matanya juga, masa mau dia tinggalkan begitu saja?
"Ya mau gimana ...." Alan membuang pandangannya ke arah lain, enggan menatap Jeanne yang kini benar-benar sangat emosi.
"Nyebelin banget lo sumpah!"
Jeanne pikir, ada kemungkinan mantan pacarnya tidak ada yang menidurinya dulu karena mereka muak setelah melihat Jeanne muntah. Mereka menganggapnya sangat menjijikkan dan berakhir mengakhiri hubungan tak lama kemudian.
Apalagi Jeanne terang-terangan mengatakan kalau dia hanya suka uangnya saja, bukan wajah atau sifatnya. Alhasil, dia pasti sudah dicap sebagai w************n setelah peristiwa menjijikkan seperti itu terjadi, kan?
"Lo mau gue tanggung jawab, nggak?" tawaran itu sontak menghentikan gerakan tangan Jeanne yang tak kunjung berhenti memukuli Alan sejak tadi.
"Hah? Tanggung jawab? Maksudnya lo mau nikahin gue, gitu?" Jeanne menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Kalau lo emang mau nikah sama gue, gue sama sekali nggak keberatan. Tapi mungkin kita nggak bisa langsung nikah sekarang atau bulan depan, minimal kita butuh waktu enam bulan sebelum pernikahan itu terjadi."
"Kenapa begitu?" Jeanne menatapnya tidak mengerti.
"Ya, gue baru aja gagal nikah tempo hari, kalau gue langsung bawa calon istri baru dan nikah secepat itu, mulut-mulut keluarga besar gue pasti bakal nggak enak banget didenger telinga. Bukan soal gue yang gimana, tapi lo sama Risa pasti kena efek buruknya juga."
Jeanne mendengkus pelan. Dia tidak menyangka Alan bisa punya pemikiran seperti itu juga. Jeanne pikir Alan akan langsung menikahinya tanpa memikirkan apa pun, terutama reputasinya dan reputasi orang-orang terkait soal pernikahannya.
Ya, gimanapun juga dia CEO besar, sih! batinnya mengingat posisi Alan yang penting dan dipenuhi pertimbangan dalam setiap gerakannya.
"Lo juga masih punya pacar sekarang, kan? Kalau lo nggak keberatan putus sama dia, ayo kita nikah aja!" ajakannya terdengar ringan sekali, seperti memang begitulah niat awalnya.
Jeanne menyipitkan kedua matanya dan menatap Alan curiga. "Jangan-jangan lo emang pengen nikah sama gue, ya?"
Alan hanya menyeringai mendengar tuduhannya. Jelas saja karena dia bakal menang banyak jika Jeanne memang mau menikah dengannya. Selain punya calon istri yang baru saja dia perawani, dia juga bisa langsung meniduri calon istrinya berulang kali sebelum mereka resmi menikah nanti. Selain itu lagi, Jeanne itu perempuan yang menyenangkan dan sangat mudah dipercaya, jadi dia tidak akan takut kalau diselingkuhi.
"Sayang sekali, gue masih sayang sama bebek sawah gue. Soal masih perawan atau enggak, cewek zaman sekarang kebanyakan emang udah nggak perawan. Kayaknya dia nggak bakalan kaget juga kalau gue udah nggak perawan. Jadi itu bukan masalah besar buat gue."
Alan mendengkus kencang. Jelas sekali rencananya tadi bakalan gagal.
"Tapi lo masih harus tanggung jawab karena perbuatan berengsek lo itu. Biar lo kapok dan nggak ngulangin lagi, jadi gimana enaknya, ya?"
Alan hanya mengangkat tangannya pasrah. "Terserah lo mau apa, asal jangan musuhin gue atau sampai laporin gue ke polisi aja. Gue nggak siap masuk penjara soalnya."
Jeanne mengangguk mengerti, dia pun mulai berpikir hebat. Apa yang Alan punya dan itu adalah sesuatu yang sangat Jeanne suka. Jawabannya hanyalah satu ... uang.
Jeanne mengangkat sebelah alisnya. "Karena gue cewek matre dan udah jadi cewek murahan betulan, gue mau minta lo bayar gue buat yang semalam, gimana?"
Alan menyipitkan kedua matanya. "Lo serius minta dibayar?" Kemudian dia mengerjap dengan tatapan tidak percaya.
Jeanne mengangguk. "Seratus juta per ronde. Lo tentuin sendiri nominalnya, karena cuma lo yang bisa ngitung berapa total nominal yang sebenarnya. Kalau lo cuma ngasih gue seratus atau dua ratus juta aja, berarti lo bohongin gue dan kita jadi musuh aja, deal?!"
Alan memiringkan kepalanya. Jadi, ini ceritanya dia mau diperas, kan, ya?