"Apa-apaan ini."
Raymond menggeram kesal saat membaca pesan dari Jessica. Adik Hanna itu tanpa tahu malu mendekati dirinya. Padahal makam sang kakak belum juga kering.
Dia mengusap kasar wajahnya yang mulai dipenuhi rambut halus. Ide Jessica mengenai terapi hormon itu tak pernah terbayangkan dalam benaknya. Dan apalagi dengan status Jessica yang belum menikah. Rasanya seperti ... menjerat kehidupan seorang gadis untuk memikul tanggung jawab yang bukan menjadi miliknya.
'Apa bedanya Jessica dengan Amara? Bukankah kamu juga sedang menjerat Amara untuk memasuki kehidupanmu dan Theodore.'
Sebuah suara seketika bergema di dalam pikirannya. Suara yang jelas-jelas mengejek dirinya. Raymond menggeram kesal dan memutuskan untuk menyusul Amara yang sedang memompa ASI.
Sesampainya di ruangan tempat Amara memompa ASI, seorang perawat wanita yang baru saja keluar ruangan mengajak Raymond bicara.
"Pak Raymond. Mbak Amara sedang memompa ASI, lebih baik Bapak menunggu dulu di luar sampai Mbak Amara selesai."
Raymond mengangguk lalu mencari tempat duduk yang kosong. Hari yang semakin malam dan ditambah hujan yang mengguyur sejak dua jam lalu, membuat udara semakin dingin.
Hampir saja Raymond tertidur jika tidak mendengar suara pintu yang terbuka, diiringi keluarnya dua orang wanita dari dalam ruangan. Raymond melihat raut wajah Amara yang semakin lelah.
"Pak Raymond. ASI Mbak Amara ada 4 kantung dengan ukuran 120 ml. Sepertinya akan semakin banyak. Saya menyarankan Bapak untuk menyediakan frezer khusus ASI di rumah agar ASIPnya tidak terkontaminasi bakteri," jelas sang perawat.
"Baik Sus. Dan kapan saya bisa ketemu dokter dan bertanya keadaan putra saya?" tanya Raymond.
"Dokter anak biasanya datang pagi jam 9 Pak."
"Apa tidak ada jadwal praktik setelah jam 1 siang? Besok pagi saya ada kelas jam 07.30," tanya Raymond kembali.
"Maaf Pak Raymond. Dokternya sudah pulang saat selesai praktik pagi. Ah ... kenapa tidak Mbak Amara yang menemui dokter dan bertanya langsung mengenai keadaan Theodore?" usul perawat yang membuat keduanya saling menatap.
"Tapi kondisi Amara belum cukup sehat untuk bepergian terus menerus," ucap Raymond yang membuat asumsi sendiri.
Perawat itu menoleh ke arah Amara, dahinya berkerut saat melihat gadis yang baru saja kehilangan bayinya itu. Setelah 1 menit, perawat itu menjentikan jarinya.
"Mbak Amara ini 'kan mesti kontrol jahitan bekas operasi besok. Sekalian aja besok setelah kontrol ke dokter kandungan," ucap perawat yang membuat Raymond mengerutkan dahi.
Jadi Amara melahirkan sekitar 6 hari yang lalu, dan bayinya meninggal 5 hari setelah dilahirkan? Apa selama ini dia sendirian di rumah sakit? Dan kenapa tidak ada satu pun yang mendampingi Amara? Berbagai pertanyaan itu memenuhi benak Raymond.
"Pak Raymond. Apa saya tidak bisa ditemani oleh Bu Juwita besok?" Pertanyaan itu menyadarkan Raymond dari lamunannya. Dia menatap Amara yang menampilkan raut wajah bingung.
"Kalau itu membuat kamu nyaman, akan saya tanyakan sama Mama," ucap Raymond.
"Ibu yang baru melahirkan memang sebaiknya tidak bepergian sendirian sampai tubuhnya pulih seperti semula, tapi Mbak Amara ini ... para perawat bagian kandungan saja sudah mengeluh karena Mbak Amara yang tidak patuh."
Amara hanya dapat meringis saat mendengarnya, ternyata dia sudah terkenal di kalangan para perawat bagian kandungan dan anak.
"Maaf Ners," ucap Amara dengan tatapan sendu.
Raymond yang melihat perubahan wajah Amara segera berbicara. "Besok Amara akan ditemani oleh ibu saya, Ners. Kami pamit pulang dulu."
Setelah itu Raymond menarik tangan Amara menuju mobilnya.
***
Sementara itu, di ruang perawatan Diana, suasana tegang tercipta di tengah percakapan Ricky dan Raymond.
Ricky membanting ponselnya, membuat Diana dan Jessica yang dekat dengan pria itu tersentak. Kelvin, anak sulung Ricky segera menegur sang ayah.
"Pih. Pelankan suara Papi. Jantungnya Mami belum stabil."
Ricky menoleh ke arah Kelvin dan berkata dengan nada kesal. "Kalau Raymond pikir dia bisa seenaknya, dia salah besar!"
"Papi tahu sendiri bagaimana sifat Raymond yang keras kepala. Kita tidak memaksanya seperti ini atau Raymond akan semakin menciptakan jarak dengan kita," ucap Kelvin yang membuat Ricky berpikir ulang.
"Kamu benar juga. Jadi sekarang apa yang harus kita lakukan? Raymond telah menetapkan perempuan murahan itu sebagai ibu s**u Theodore. Bisa-bisa pernikahan turun ranjang ini tidak akan terjadi karena perempuan nggak jelas itu."
Jessica yang mendengarnya langsung menoleh ke arah Ricky. Pesan yang dia kiriman kepada Raymond juga tidak ditanggapi oleh pria itu.
"Pih. Aku nggak mau tahu, pokoknya Mas Raymond harus menikah denganku."
Ricky menatap anak bungsunya dengan sorot mata tajam. Sesaat, tidak ada suara yang tercipta di dalam ruang perawatan VIP itu.
"Jessica," ucap Ricky akhirnya dengan nada berat. "Kamu itu pikir semua bisa kamu atur sesuai dengan keinginanmu? Kamu pikir Raymond semudah itu untuk ditaklukan? Apalagi sudah ada perempuan murahan yang sekarang menempel pada Raymond.
Jessica mendecakkan lidah, matanya memerah karena kesal. "Makanya aku minta izin Papi untuk melakukan apapun agar Mas Raymond menikah denganku."
Kelvin yang dari tadi menahan diri akhirnya membuka suara, "Sudah cukup, Jess. Kamu pikir menikah itu bisa dipaksakan begitu saja? Kamu nggak lihat mata Raymond akhir-akhir ini? Dia kosong. Dia cuma bertahan karena Theodore. Dan kamu malah tiba-tiba datang dan memintanya menikah denganmu. Itu namanya t***l"
Jessica menoleh tajam. "Kamu kakakku atau pengacara Mas Raymond sih?"
"Justru karena aku kakakmu, aku tahu batas. Dan kalau kamu waras, kamu akan tahu juga kalau Raymond itu bukan tipe orang yang bisa kamu dekati pakai cara licik." Kelvin lalu berdiri, menghampiri jendela kamar, mencoba menenangkan diri.
Ricky menghela napas panjang. "Berhenti bertengkar, kalian berdua. Kita harus menghadapi ini dengan kepala dingin. Kalau Raymond menolak pernikahan dengan Jessica, kita cari celah dari perempuan itu. Siapa namanya?"
"Amara," jawab Jessica cepat.
Ricky menyeringai. "Ya, Amara. Kita gali latar belakangnya. Cari apa pun yang bisa bikin dia tampak tidak layak jadi pendamping atau pengasuh Theodore. Skandal, masa lalu, mantan pacar, keluarga—semua."
Diana yang semula diam karena lemah, akhirnya angkat suara. Suaranya lirih, tapi menusuk. "Jangan ganggu perempuan itu."
Jessica terperanjat lalu melontarkan protes kepada Diana. "Kenapa Mami malah membela perempuan murahan itu? Apa Mami nggak mau melihatku bahagia?"
Diana memejamkan mata, air mata mengalir pelan di sudut matanya. "Perempuan itu ... menyelamatkan Theodore dengan ASInya. Jadi Mami mohon jangan balas kebaikannya dengan kejahatan."
Ricky tampak tertegun, namun hanya beberapa detik. "Mami belum tahu apa-apa soal perempuan itu. Papi yakin perempuan itu pasti punya tujuan lain."
Jessica mengepalkan tangan lalu menimpali omongan Ricky. "Mami terlalu lemah. Tujuan perempuan itu pasti ingin menjerat Mas Raymond. Dan aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
Kelvin kembali duduk di kursinya, wajahnya tegang. "Sudah. Lebih baik kita sudahi dulu percakapan kita malam ini. Kasihan Mami cape dan butuh istirahat, aku juga besok harus datang ke kantor pagi-pagi untuk meeting."
Hening tercipta tak lama sesudahnya. Senua orang larut dalam lamunannya, sebelum akhirnya Kelvin bertanya kepada Jessica.
"Jess. Kamu mau pulang atau tetap di sini?"
"Aku mau tetap di sini. Sebaiknya Papi dan Mas Kelvin pulang sekarang," ucap Jessica yang kini sibuk dengan ponselnya.
"Kalau begitu, tolong jaga Mami yang benar. Jangan teledor," ucap Kelvin yang membuat Jessica berdecak kesal.
"Iya bawel. Sana pulang," sahut Jessica sembari mengibaskan tangan ke arah Kelvin.
Sepeninggal ayah dan kakaknya, Jessica langsung menyeringai sinis.