5. Beraninya Kamu Melakukan Itu!

1093 Words
Raymond segera menyusul Amara, namun sayangnya dia tak menemukan keberadaan gadis itu. Hampir saja Raymond menyerah, jika saja dia tak sengaja mendengar suara tangisan yang kecil. Pria itu menajamkan pendengarannya untuk menemukan dari mana suara itu berasal. Setelah beberapa menit berlalu, Raymond melangkah menuju sudut lorong yang sepi. Langkah Raymond melambat, saat melihat sesosok gadis yang berjongkok sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Suara isak tangis yang pilu itu, membuat Raymond hanya dapat menghela napas kasar. Dengan perlahan Raymond berlutut, lalu menyentuh pelan bahu Amara. Raymond merasakan gadis itu tersentak untuk sesaat. Karena tak ingin membuat keadaan semakin canggung, akhirnya Raymond mengajak Amara berbicara. "Amara. Sedang apa kamu di sini? Ayo makan, saya lapar," ajak Raymond. Amara hanya dapat terdiam di tengah tatapan Raymond yang sulit untuk diartikan. "Cepat bangun Amara. Saya lapar." Raymond mengulangi perkataannya saat melihat Amara hanya terdiam. Luka operasi Amara terasa nyeri, ketika mencoba bangun. Dalam hati dia merutuk mengapa harus bersama Raymond di kala penampilannya sedang tidak prima. Sekuat tenaga Amara menahan agar ringisannya tak keluar dan didengar oleh dosen killer ini. Alasannya hanya satu. Gengsi. Tapi Amara lupa jika Raymond adalah pria berusia 32 tahun dengan pengalaman hidup yang lebih banyak darinya. Raymond sempat memperhatikan perubahan raut wajah Amara meskipun hanya sepersekian detik. "Kalau butuh bantuan, bilang. Jangan diam saja," ucap Raymond sembari mengangkat dan menggendong Amara. Meski sempat terkejut, Amara langsung menyahuti Raymond dengan ketus. "Cepat turunkan saya dan jangan sok memberi saya perhatian, Pak." "Siapa bilang saya perhatian sama kamu. Saya melakukannya untuk Theodore. Ingat itu ngat, Amara," ucap Raymond dengan acuh. "Pak Raymond ... cepat turunkan saya. Memang Bapak nggak malu sama orang-orang?" ucap Amara dengan memelas. "Kenapa harus malu? Kita berdua masih pakai baju lengkap," sahut Raymond yang membuat Amara menggigit bibirnya. Berdebat dengan Raymond sejak dulu membuat Amara lelah, baik fisik maupun mental. Entah mengapa, Raymond sering sekali mengincar dan menanyakan materi yang bahkan tidak terdapat pada silabus perkuliahan. "Kamu mau makan apa Amara?" tanya Raymond saat keduanya berada di kantin rumah sakit. "Saya makan apa yang Bapak makan," jawab Amara singkat. Raymond memutar bola matanya malas, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kamu yakin? Saya biasanya makan menu sehat dan hambar. Kamu pasti akan menyesal." Amara mendengus. “Yang penting gratis,” ucapnya sambil melipat tangan di d**a. Raymond mengangkat alis. "Gratis, ya? Baiklah. Tapi kamu harus habiskan semuanya. Nggak boleh ada sisa," sahutnya dengan nada menantang. Beberapa menit kemudian, dua porsi makanan sehat khas rumah sakit datang. Nasi dengan takaran setengah piring, sup ayam dengan sedikit garam, dan semangkuk kecil buah potong. Amara menatap nanar piringnya, sejak dulu dia tak menyukai sayur. Bahkan saat hamil pun, Amara hanya dapat memakan 3 jenis sayuran. Dia lalu menatap Raymond dengan penuh kekesalan. "Benar-benar definisi makanan sehat." Raymond menatap tajam Amara. "Loh. Katanya kamu ikut apa yang saya makan. Kenapa sekarang protes?" "Saya mau mie ayam aja, Pak," ucap Amara sembari menunjuk penjual mie ayam dan bakso yang ada di depannya. "Kamu tidak boleh makan mie selama masa nifas." Amara menggerutu pelan saat Raymond melarangnya. "Bapak ribet banget." "Amara. Mengertilah kalau ini demi kebaikanmu. Sekarang makan saja, biar kamu cepat pulih dan ASImu deras," ucap Raymond setelah menghela napas kasar. Namun Amara hanya cemberut dan tak mau menyentuh makanannya. Raymond menghela napas lagi, lalu mengambil sendok cadangan di ujung meja. “Baiklah, kalau kamu tetap kekeh, saya pesankan mie ayam ...." Amara langsung tersenyum sebelum Raymond meneruskan kalimatnya. "Tapi hanya setengah porsi, dan kamu harus menghabiskan makanan yang ada di dalam piringmu. Amara terbelalak dan segera mengajukan protes. "Setengah porsi? Yang bener aja, Pak. Mana kenyang setengah porsi." Raymond menegakkan punggung. "Bagus kalau kamu nggak kenyang. Jadi kamu juga bisa menghabiskan yang ada di piring." Raymond berdiri dan melangkah menuju penjaja mie ayam di sudut kantin. Amara lalu mengaduk-aduk isi dalam piringnya karena merasa bosan. Nyeri pada perutnya masih terasa. Tapi Amara enggan untuk mengatakannya pada Raymond. Belum genap lima menit, Raymond sudah kembali membawa satu mangkuk mie ayam setengah porsi, plus satu gelas air putih hangat. “Ini mie ayamnya. Awas. Masih panas," ujar Raymond sambil menaruh mangkuk di depannya. “Kamu makan ini dulu, baru makan yang ada di piring." Amara berdecak saat mendengarnya, tak lama dia mulai menyeruput kuah mie ayam yang hangat. Sekujur badannya terasa lebih hangat, dan rasa nyeri di perutnya mereda cukup banyak. Dia menatap Raymond yang ternyata sudah berdiri, menanti. “Sudah selesai? Kalau sudah kita ke ruangan NICU dulu. Saya mau pulang sebentar dan menitipkan Theodore sama ibu saya,” ujar Raymond singkat. Amara mengangguk pelan, lalu berdiri dengan hati-hati. Mereka berjalan perlahan menembus lorong putih rumah sakit. "Mah. Aku mau pulang dulu untuk mengambil tugas buat mahasiswaku besok. Aku titip Theodore dulu," ucap Raymond setelah keduanya tiba. "Astaga, Raymond. Seharusnya kamu tidak usah ke kampus dulu selama beberapa hari. Memangnya pihak kampus nggak kasih kamu cuti?" ucap Juwita. "Mereka kasih aku cuti, Mah. Cuman sekarang sudah dekat dengan UAS, aku nggak tenang kalau belum memastikan mahasiswaku menguasai materi atau tidak," jelas Raymond. "Kalau Amara bagaimana? Kamu sudah bisa pulang atau tidak? Tapi kamu udah nggak pakai gelang pasien," ucap Juwita yang membuat raut wajah Amara berubah seketika. "Saya sudah bisa pulang dari kemarin, Bu. Cuma saya masih harus mengurus beberapa berkas, maka dari itu mungkin besok pagi saya baru benar-benar bisa pulang," jawab Amara. "Malam ini Kamu tidur di mana, Nak?" tanya Juwita merasa iba dengan kondisi Amara. "Saya sudah ada tempat berlindung, Bu." Raymond menyadari keanehan dari cara Amara menjawab pertanyaan Juwita. Tapi dia memilih untuk mengamati terlebih dahulu Amara. Baru saja Raymond akan berpamitan dengan Juwita, ponselnya berdering. Raymond menggeram saat mendapati Ricky yang menghubunginya. Juwita yang melihat kekesalan Sang putra tidak tahan untuk bertanya. "Ray. Siapa yang menelpon sampai kamu terlihat marah seperti ini?" "Papinya Hanna mah yang menelepon," jawab Raymond setelah membuang napas kasar. "Mau apa lagi mereka menghubungi kamu? Jangan-jangan mereka belum menerima keputusan kamu yang menolak pernikahan turun ranjang itu," ucap Juwita. "Feeling-ku juga mengatakan seperti itu, Mah," kata Raymond. Amara yang mendengar percakapan sepasang ibu dan anak itu, akhirnya mengerti mengapa wanita yang bernama Jessica itu menampar dan melakukan kekerasan pada dirinya. "Angkat saja, Ray. Mama juga mau tahu apa yang ingin mereka bicarakan." Raymond mengeluarkan earpiece dan memberikannya kepada Juwita. Setelah memastikan sang ibu telah memasang alat itu dengan benar Raymond segera menerima panggilan itu. "Jessica bilang kamu telah menemukan ibu ASI untuk Theodore. Kenapa kamu tidak membicarakannya dulu sama kami? Apa kamu tidak menganggap kami lagi setelah Hanna meninggal?" tanya Ricky dengan nada menuntut. Raymond mengusap kasar wajahnya. Ayah mertuanya ini benar-benar ingin membuat kesabarannya habis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD