Loving The Pain : SEASON 3

668 Words
Namira tidak pernah mengeluh atas hidupnya. Dia sadar memang hidupnya menyedihkan jadi Namira sudah terbiasa. Makan nasi dengan garam pun sudah menjadi teman hidupnya saat kecil. Bisa dibilang dia besar dengan itu. Jadi apa yang mau dikeluhkan hidup yang keras di kota? Setidaknya dia masih dapat tempat tinggal yang layak. Oke, tapi hari ini Namira terlambat. Itulah masalahnya. Dia sudah bangun pagi tadi. Tapi ternyata masalahnya bukan di berebut kamar mandi, melainkan ojek yang tidak Namira temui di pangkalan. Dia terpaksa jalan kaki untuk sampai di jalan utama. Namira kejar-kejaran dengan angkot dan bus. Dan... Namira memang terlambat. "Ini hari pertama dan kamu sudah terlambat. Saya tidak tau kenapa kamu bisa lolos dan diterima di sini, tapi ini adalah peringatan pertama dan terakhir saya. Kalau kamu tidak bisa menghargai pekerjaan kamu, maka tidak ada alasan untuk saya menghargai kamu." Namira hanya bisa tertunduk mendengar omelan atasannya. Namira tau dia salah jadi Namira tak akan protes. "Namira," panggilan itu menarik perhatian Namira. Ah Putri, teman yang Namira kenal saat interview kemarin. Ternyata Putri juga diterima. Namira masih bersyukur ada orang yang ia kenal. "Kena marah ya?" "Iya. Aku salah sih." "Nggak diapa-apain atasan kan?" "Cuma diomelin sama dapat peringatan." Tak lama seorang perempuan datang. Ia menjelaskan pekerjaan Namira dan Putri serta satu orang pegawai baru lainnya. Tak lupa ketiganya juga dikenalkan pada pegawai lama yang ada di sana. Namira merasa agak canggung sebenarnya karena tampilannya sangat berbeda dengan orang-orang di dalam ruangan itu. Putri sih sudah modis karena dia memang anak Jakarta. "Namira.." "Iya, Buk." "Kalau kamu nggak nyaman pakai sepatu hak, kamu bisa pakai flatshoes. Atau yang hak 3 cm juga nggak apa-apa. Asal jangan pakai sendal." "Hah? Oh iya, makasih, Buk." Namira memang sangat tak nyaman dengan sepatunya. Ini juga sepatu pemberian. Tapi meski tak nyaman Namira tetap harus memakainya. Lumayan dia bisa berhemat. Pengawas itu berlalu. Namira kembali duduk. Ia kemudian mulai menyalakan komputernya. Namira benar-benar beruntung sebenarnya karena berhasil diterima di perusahaan besar seperti ini. Sebab pendidikannya benar-benar pas-pasan. Namira SMA dengan beasiswa dari pemerintah setempat. Harusnya Namira mendapat beasiswa juga untuk kuliah tapi batal karena sebuah kecurangan. Untungnya ada orang yang berbaik hati mau membiayai kuliah Namira. Meski hanya di kampus pinggiran. Tapi Namira sudah sangat bersyukur. Lalu siapa sangka ia diterima bekerja di perusahaan ini dengan gaji yang bisa dibilang sangat besar. Namira dan Putri berjalan bersama yang lainnya untuk mencari makan. Ia sudah berkenalan dengan beberapa pegawai lama dan ternyata tak seburuk yang Namira pikirkan. Mereka lumayan baik. Saat Namira dan yang lain hampir sampai di pintu utama, tampak kegaduhan terjadi di depan pintu utama. Beberapa mobil berhenti di teras. Lalu beberapa orang turun dari mobil memasuki gedung. "Wow, itu siapa?" tanya Namira refleks. "Itu Presdir." Namira menyipitkan matanya sesaat kemudian langsung melotot detik berikutnya. "Hah?" Itu adalah pria yang celananya tak sengaja Namira tumpahkan kopi beberapa hari lalu. Namira benar-benar kaget. Pertama dia sangat bahagia karena akhirnya bisa bertemu pria itu lagi. "Itu Pak Javier Gomez kan?" Tanya Putri. "Iya." "Jadi Presdir kita namanya Pak Javier?" Tanya Namira. Agaknya hanya dia yang tidak tau. Jika kemarin Namira ditanya siapa Pendiri perusahaan dan tetek bengeknya, sudah pasti dia tak lolos. Namira tak tahu apa-apa soal itu. "Bukan. Pak Javier itu CEO, yang punya perusahaan. Yang Presdir itu Pak Shawn. Yang cowok ganteng di sebelah Buk Risa." "Buk Risa?" "Iya. Yang cantik banget itu. Buk Risa istrinya Pak Javier. Pak Shawn itu anaknya Pak Javier sama Buk Risa." Anak? Namira merasa tertampar seketika. Jika pria bernama Shawn yang ia taksir itu adalah Presdir sekaligus anak pemilik perusahaan, maka pupuslah harapannya. Shawn benar-benar tak bisa dimiliki. Shawn tahu dia bernapas saja tidak. Menyedihkan. "Ganteng banget Pak Shawn," ujar Putri. "Ganteng sih, tapi udah punya pacar." Oke, Namira tertampar untuk kedua kali. Shawn sudah punya pacar :( ya tentu saja. Bagaimana mungkin pria setampan itu belum punya pacar. Hmm. Namira benar-benar harus segera sadar. "Tau Naomi kan?" "Naomi yang model itu?" "Iya." "Jangan bilang pacarnya Pak Shawn si Naomi." "Emang dia." "Gila cantik banget. Udah cantik, pinter, tajir, terkenal. Udahlah komplit. Cocok sih emang sama Pak Shawn." Namira hanya mendengarkan saja obrolan itu. Pertama dia patah hati. Kedua dia memang tidak tau siapa yang sedang orang-orang itu bicarakan. Hmm nasib gadis kampung. Good bye Pak Shawn.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD