Pada malam pukul 1 dini hari, seorang Pengurus rumah di kediaman Mahendra mendapat panggilan dari Security penjaga rumah Malvin.
Security bernama Apin itu mengabarkan bahwa Malvin telah di bawa ke Kantor polisi untuk pemeriksaan Narkoba.
Hal itu segera di sampaikan okeh pengurus rumah, meskipun saat itu Tuan Mahen sudah istirahat di kamar-nya.
Mendenger seseorang mengetuk pintu kamarnya berkali-kali, membuat Mahen beranjak dari ranjang.
"Ada apa, Tris? Kenapa kamu mengganggu Istirahat ku?" Dengan wajah kesal, Mahen membukakan pintu pengurus rumah-nya.
"Anu, begini Tuan. Barusan Apin menghubungi saya, katanya Den Malvin ada di kantor polisi untuk di periksa oleh penyelidik Narkoba" Ujar Trino, menjelaskan.
Trisno tau, bahwa meskipun Tuan Mahen sangat keras terhadap Malvin, namun ia sangat menyayangi Cucu satu-satunya.
Mendengar itu, tubuh Mahen seketika oleng. Selama ini, ia hanya mendengar tentang kenakalan Cucunya yang sering berantem. Namun kali ini, Mahen mendengar jika Malvin di tangkap karena kasus narkoba.
Hal itu membuatnya terguncang. Namun begitu, Mahen berusaha mengatur kondisinya agar tetap baik-baik saja.
"Tu, tuan... Anda baik-baik saja kan?" Tanya Trisno.
"Ya, tolong antar aku ke kantor polisi. Biar aku beri pelajaran anak nakal itu!" Timpal Mahen, memasuki kamarnya lebih dulu untuk mengambil jaket.
Trisno pun keluar untuk menyiapkan mobil. Sudah beberapa tahun, Trisno menjadi orang kepercayaan Mahen, sehingga tak ayal jika hubungan mereka sangat dekat.
Tak lama kemudian, Mahen bergegas menuju ke Kantor polisi. Ia begitu kaget, mengetahui Cucu kesayangan-nya bermain-main dengan barang terlarang.
Perasaannya campur aduk, rasanya ingin marah namun Mahen juga sangat menyayngi Malvin yang beranjak dewasa tanpa kasih sayang orang tua-nya.
30 menit kemudian, tibalah Mahen di Kantor polisi. Pria tua itu berjalan dengan cepat, di ikuti Trisno di belakang-nya.
Mahen datang dengan menggunakan setelan piyama, dan berbalut jaket untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin.
Melihat kedatangan Kakek-nya, tentu membuat Malvin lega. Itu artinya, ia memiliki sedikit harapan bahwa dirinya bukan orang yang paling menyedihkan.
Namun hal yang tak di sangka membuat harapan Malvin hancur seketika, saat Mahen tiba-tiba melayangkan tamparan ke wajah-nya.
Malvin terkejut, ia mengira Kakeknya mengkhawatirkan dirinya. Namun ternyata sama saja! Pada akhirnya, ia kembali merasa menjadi orang paling yang menyedihkan.
"Anak ini, di diamkan ngelunjak ya! Kamu tau berapa lama hukuman, kalau kamu terjerat kasus narkoba???" Ujar Mahen, meninggikan nada suaranya setelah menampar Malvin.
Sejenak Malvin menyentuh bibirnya yang ikut merasa sakit. Ia tersenyum sini, menatap Kakeknya yang berbicara seenaknya tanpa mencari kebenaran.
"Kakek bahkan nggak bertanya padaku lebih dulu, tapi Kakek langsung menamparku. Sekarang aku semakin sadar, Kek. Maaf kalau aku selalu membuat Kakek menjemputku di Kantor polisi. Sekarang tidak akan ada lain kali lagi, Kek" Tutur Malvin, dengan suara bergetar.
Pria itu bahkan menahan tangisnya, di hadapan orang banyak. Malvin lalu pergi dari hadapan Mahen, yang masih terpaku setelah menyadari perbuatannya.
"Permisi, apa anda Keluarga Malvino Saga?" Tanya salah seorang polisi.
"I-iya.. Saya Kakek-nya" Jawab Mahendra.
"Harusnya anda menanyakan keadaannya dulu, Tuan. Hasil pemeriksaan Malvin menunjukkan kalau dia bebas Narkoba. Dari ke 15 orang yang kami periksa, hanya 6 orang yang terbukti Positiv Narkoba. Jadi, Malvin bisa bebas..." Tutur Polisi tersebut, sambil memberikan secarik kertas berisi hasil Tes urin.
Mendengar kenyataan itu, membuat Mahen semakin menyesali perbuatannya. Hatinya terlanjur di penuhi dengan amarah, ketika mendengar Malvin di tangkap polisi karena penggunaan Narkoba.
Tanpa sadar, Mahen memercayai itu tanpa bertanya lebih dulu pad cucu-nya. Mahen terduduk lesu, tubuhnya tak bertenaga untuk mengejar Malvin.
"Tuan, anda baik-baik saja?" Tanya Trisno, mengkhawatirkan Majikannya. Apalagi saat Mahen menegang d**a bagian kiri-nya.
"Ayo pulang!" Ujar Mahen, sembari berusaha berdiri.
"Tapi tuan, gimana dengan Den Malvin?"
"Biarkan saja dulu. Dia pasti kecewa padaku karena sudah menamparnya" Katanya, mendahului Trisno berjalan menuju ke mobil-nya.
Trisno sejenak menghela napas. Ia tahu betul, bahwa Mahen sangat menyayangi Cucu-nya.
Walaupun Mahen terbiasa bersikap galak dan kasar pada Malvin, namun situasi tadi sangat tidak tepat.
Akhirnya, Trisno menyusul langkah majikannya untuk menuju pulang.
****
Sementara itu, Malvin yang meninggalkan mobil-nya di sirkuit pun terpaksa harus berjalan kaki. Pria itu tersenyum getir, sambil memegangi wajahnya yang sempat di tampar oleh Kakek-nya.
Malvin berjalan menyusuri malam, seperi orang yang hidup tanpa tujuan.
Harapan yang ia letakkan pada Kakek-nya, justru harus hancur begitu saja.
"Bahkan Kakek udah ngga sayang lagi sama Gue... Jadi, udah ngga ada artinya lagi kan, Gue hidup?" Gumam-nya, berjalan di tepian.
Malvin tiba-tiba menghentikan langkahnya, begitu ia menyadari bahwa dirinya sudah berjalan cukup jauh. Posisi dirinya kini bahkan berada di atas jembatan.
Pancaran sinar bulan menyinari air sungai yang cukup deras. Rasanya sejuk, hingga Malvin pun berdiri mengarah ke arah sungai. Ia mengangkat kedua tangannya dengan sejajar, menghirup udara malam yang sangat segar.
"Kenapa hidup sebercanda ini?" Gumamnya, sambil memejamkan mata-nya.
Walau Kedua Orang tua-nya tidak memedulikan Malvin, namun ia sangat menyayangkan jika harus menjalani hari dengan bersedih hati.
Namun, tiba-tiba seseorang berhasil menumbangkan Malvin dan membuatnya tersungkur ke tepian jalan.
Hal itu membuat Malvin tersentak, sekaligus kesal karena membuat tubuhnya sakit.
"Apa-apaan si?" Cetus Malvin, menatao sini Wanita yang baru saja menumbangkan dirinya.
"Lo yang apa-apaan? Ada masalah apa si Lo sampai mau nekat bunuh diri???" Teriak Wanita itu, yang baru saja pulang bekerja.
"Lo?"
"Iya ini Gue, kenapa?"
Wanita itu ialah Ara, ia sedang dalam perjalanan pulang dari Bar tempatnya bekerja.
"Lo ngapain keliaran jam segini?" Tanya Malvin, menyadari jika sekarang adalah pukul 3 pagi.
"Jangan ngelak deh, Lo. Ikut gue, sini!!!" Ara yang mengira Malvin akan bunuh diri pun, kini menyeret Malvin menjauh dari atas jembatan.
"Anjir, tenaga Lo kuat juga ya?" Celetuk Malvin, kala Ara menyeret tangannya.
Kini, mereka telah melewati jembatan dan duduk di tepian jalan.
"Sekarang ceritain ke Gue, ada masalah apa Lo sampai mau loncat ke sungai? Kalo emang ngga ada tempat buat cerita, lo bisa cerita ke gue. Anggap aja lo kenal deket sama Gue!"
"Apaan sih, siapa yang mau loncat!" Cibir Malvin, menyangkal.
"Lo bilang gini karena gagal bundir kan? Sekarang tuh lagi marak, anak-anak muda depresi terus bundir. Padahal itu hal yang sangat cemen! Stres dikit bundir, depresi dikit bundir. Lemah!"
Ara terus menggerutu, mengingat kejadian-kejadian yang terjadi akhir-akhir ini di kalangan anak muda, yang banyak melakukan aksi bundir.
"Hey, Gue tuh lagi menikmati udara malam. Bukannya gue mau bundir! Ya kali, bundri. Gue masih sayang sama diri gue, walaupun hidup gue menyedihkan sih" Katanya, berujung curcol.
"Nah benerkan dugaan Gue? Lo pasti lagi depresi, dari pada Lo bundir mending Lo nyenengin diri Lo. Ngapain Kek!"
"Bener juga kata, Lo. Eh, tapi lo tiap hari pulang jam segini, Ra?" Tanya Malvin, tiba-tiba mengganti topik.
Ara lalu menjawabnya dengan sebuah anggukkan kepala.
"Emangnya lo ngga takut?"
"Takut apa? Hantu? Nggak lah, hantu yang takut sama gue, ahah!"
"Lo nggak takut di gangguin preman atau apa? Bahaya tau, cewek berkeliaran tengah malam. Apalagi Lo naik sepeda gini!"
"Ya mau gimana lagi, Gue cuma punya sepeda" Jawabnya, sambil memijit pundaknya yang terasa pegal.
Malvin sejenak menatap kagum pada Wanita yang kini ada di samping-nya. Sudah beberapa kali Malvin memergoki pekerjaan apa saja yang Ara jalani, namun ia tak pernah mendengar Ara mengeluh sedikitpun.
Justru sebaliknya, Ara malah terlihat sangat bersemngat, meskipun ia tahu pekerjaannya melelahkan.
Berbeda dengan dirinya, yang selalu bisa mendapatkan apa yang dia mau dengan uang.
"Sekarang perasaan Lo udah baik, kan? Mending Lo pulang! Gue juga mau pulang soalnya" Ucap Ara, beranjak dari duduk-nya.
"Iya, tapi mobil gue ketinggalan di Sirkuit"
"Naik taxi-lah, Duit lo banyak kan?" Sergah Ara.
"Dompet gue juga ketinggalan di dalam mobil!" Ucap Malvin, bohong.
"Astaga, sebenarnya apa si yang lo lakuin hari ini! Yaudah ayo, gue boncengin Lo pulang!" Ara dengan sinis berjalan mengambil sepeda-nya yang berwarna putih.
Melihat itu, Malvin justru tersenyum. Entah apa yang membuatnya bohong pada Ara, dengan mengatakan tak membawa dompet.
Apakah dia sengaja melakukannya, karena ingin mengenal Ara lebih dekat?
***
NEXT---