Reino menceritakan awal mula mereka bertemu hingga pada saat kecelakaan itu terjadi. Tentu saja sedikit banyak yang dia ceritakan hanya karangan belaka. Memanipulasi hubungan di antara mereka yang seolah-olah memang menjalin kasih. Mulanya, Senarita tidak serta merta percaya begitu saja. Wanita itu meragukan apa yang telah Reino ceritakan. Namun, setelah Reino menunjukkan sebuah sepasang cincin yang melekat di jari manis mereka, Senarita kemudian percaya dengan apa yang diucapkan oleh pria tersebut.
“Jadi memang benar kalau kita sudah tunangan? Lalu di mana keluargaku? Bukankah tadi kamu bilang kamu yang selalu menungguku di rumah sakit? Lantas kemana mereka sekarang? Harusnya mereka ada di sini menemaniku, bukan?” Senarita nampak merasa ada yang janggal. Kenapa di saat seperti ini keluarganya tidak ada di sampingnya. Padahal dirinya sangat membutuhkan mereka untuk mengingat kembali kepingan memori yang hilang pada hidupnya sekarang ini.
Reino nampak sedikit panik, tetapi sebisa mungkin dia bersikap tenang. Kali ini dia harus mengarang di mana orang tua Senarita tinggal. Tidak mungkin jika dirinya berkata secara asal. Bagaimana jika wanita ini meminta untuk bertemu dengan mereka. Akan sangat merepotkan nantinya. Terbongkarlah kalau semua yang ia ceritakan hanya semu belaka.
“Bukan begitu, Sayang. Aku memang sengaja tidak mengabari mereka, agar mereka tidak panik dengan keadaanmu. Sementara mereka sedang menjalankan tugas mereka sebagai anggota pemerintahan. Tidak mungkin kan mereka meninggalkan tugas mereka begitu saja? Sedangkan kamu sendiri pasti tahu tugas mereka lebih dahulu daripada keluarga,” untung saja Reino segera mempunyai ide jika orang tua Senarita adalah anggota diplomat yang mendahulukan tugas negara daripada keluarganya.
Senarita nampak kecewa dengan apa yang baru saja diucapkan oleh pria yang megaku sebagai tunangannya. Mau bagaimana lagi jika sudah begini. Dia tidak mungkin untuk memaksa mereka agar menemani dirinya di sini.
“Apa mereka masih ada di negara ini?” Tanya Senarita kemudian. Setidaknya jika orang tuanya tidak bisa menemui dirinya, maka dia yang akan menemui mereka.
Reino nampak sedikit kikuk menjawab petanyaan yang dilontarkan oleh Senarita kali ini. Salah mengucap sedikit saja, maka resiko ditanggung sendiri. “Tentu saja mereka tidak ada di sini, Sayang. Sudah, daripada kamu bertanya yang sudah pasti jawabannya kamu ketahui, lebih baik kamu sekarang istirahat. Agar kondisimu cepat membaik,” sudah cukup sabar baginya mengahadapi wanita yang sedari tadi tidak hentinya memberinya pertanyaan kepadanya.
Meski belum puas dengan jawaban yang sudah ia dapat, akan tetapi Senarita pada akhirnya menuruti apa yang dikatakan oleh Reino. Lebih baik dirinya sekarang istirahat agar cepat keluar dari rumah sakit ini.
Reino membantu Senarita membenarkan selimut yang menutupi tubuh wanita yang saat ini statusnya menjadi tunangannya. Untung saja dirinya sudah menyiapkan cincin pasangan untuk menghalau hal diluar prediksinya seperti saat ini. Dan pada saat Reino memakaikan cincin itu Senarita tidak menyadarinya.
“Tunggu sebentar,” cegah Senarita pada saat Reino beranjak dari duduknya. “Siapa namaku?” Tanya Senarita yang lupa siapa dirinya.
Reino bernapas lega karena yang ditanyakan oleh Senarita bukan hal yang sulit untuk ia karang. Dengan bibir yang mengulas senyum Reino menjawab. “Rita, dan aku Reino, tunanganmu. Sudah, kan? Kalau begitu segeralah untuk istirahat. Karena aku masih memiliki pekerjaan yang harus aku selesaikan secepatnya,” balas Reino sembari memperkenalkan dirinya kembali agar wanita itu tidak melayangkan pertanyaan lagi kepada dirinya. Karena dirinya masih mempuyai urusan yang sangat penting menurutnya.
Lagi dan lagi langkah Reino terhenti, Senarita menarik ujung bajunya kembali. Nampak sekali wajah wanita itu terlihat sangat tidak nyaman. Dan hal itu membuat Reino penasaran sehingga membalikkan badannya kembali tepat menghadap ke arah Senarita.
“Kenapa lagi?” Reino menatap lekat wanjah Senarita.
Sementara Senarita terlihat sedikit enggan untuk mengungkapkan keinginannya. Takut-takut jika pria ini akan marah kepadanya karena merasa terbebani olehya. Hal itu membuat Reino sedikit tidak sabaran. “Katakanlah, Sayang. Jika kamu tidak mengatakannya, maka bagaimana aku bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiranmu saat ini. Karena aku bukan seorang cenayang yang bisa menebak isi hati seseorang,” sungguh lelah musti bersikap bohong seperti ini. Namun mau bagaimana lagi. Ia juga merasa sangat kasihan dengannya.
“Jangan tinggalkan aku,” takut-takut Senarita menjawab dengan nada suara yang sangat lirih. Membuat Reino tidak jelas mendengarnya.
“Apa? Katakanlah sedikit lebih keras lagi,” Reino mendekatkan wajahnya agar lebih jelas lagi mendengar suara Senarita yang sangat lirih menurutnya.
Hingga tanpa sadar membuat wajah Senarita merona karena malu. Dirinya merasa sangat asing dengan pria ini. “Aku takut sendirian di sini, jangan tinggalkan kau,” lirihnya lagi seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain karena kini jarak wajah mereka sangatlah dekat.
Bukanya segera menarik dirinya kembali, Reino nampak menikmati kecantikan alami yang terpancar dari wajah Senarita. Bulu mata yang lentik, serta kedua alis dengan bentuk yang sangat indah, hidung mancung serta bibir yang ranum. Terlihat sangat menggoda dirinya. Apalagi ekspresi yang ditampilkan dari wajah itu, begitu menggemaskan di mata Reino. Hingga mampu membuat Reino terpesona untuk yang kedua kali pada Senarita.
“Aku hanya sebentar, kamu tenang saja.” Ucap Reino sembari mengusap lembut pipi mulus milik Senarita. Kemudian ia beranjak dari sana meninggalkan Senarita dengan wajah gugupnya.
Hampir saja dirinya terlepas kendali, jika saja tidak segera sadar. Reino pasti sudah menyentuhkan bibirnya ke bibir Senarita. Karena memang meskipun wajah wanita ini pucat, tetap terlihat cantik di mata Reino. Aneh mnemang, padahal dirinya baru saja mengalami patah hati yang teramat sangat menyakitkan di hatinya. Namun, dengan mudahnya ia berpaling dari semua itu hanya karena hadirnya Senarita di dalam hidupnya.
Setelah keluar dari ruangan Senarita di rawat, Reino nampak menyandarkan tubuhnya di dinding. Mengusap kasar wajahnya. Serta mengatur kembali napasnya yang sempat tidak berirama hanya karena wajahnya sempat dekat dengan Senarita. Yang menjadi pikirannya saat ini ialah tatapan Senarita yang memohon kepada dirinya.
“Apa mungkin secepat ini aku jatuh cinta lagi? Sungguh, sangat konyol.” gumam Reino pada dirinya sendiri.
Tentu saja Reino meragukan perasannya saat ini. Dulu, sewaktu dirinya menjalin kasih dengan Vreyya, Reino membutuhkan waktu yang terbilang lama untuk bisa tertarik dengan wanita itu. Meskipun sering kali Vreyya menggoda dirinya, Reino tak pernah sekalipun tergoda. Hingga pada suatu kejadian, Vreyya berada dalam masalah. Yakni wanita itu tengah dicegat beberapa segerombolan preman yang ingin melecehkan wanita itu. Dari sana lah Reino menolong dan mulai ada rasa ingin melindungi wanita yang setiap hari mengganggunya tersebut.
Sangat berbeda kasusnya dengan sekarang ini. Bisa-bisanya dirinya dengan begitu mudah tertarik pada wanita yang terbaring lemah di dalam sana. Reino menggeleng kepala tidak mengerti apa yang sedang terjadi padanya. Dan yang menjadi beban pikirannya saat ini ialah dimana ia harus membawa wanita itu pulang. Haruskah ia bawa ke rumah kakaknya yang berada di luar kota? Akan tetapi apa wanita itu akan setuju jika seperti itu. Apa mungkin harus ia bawa pulang ke rumahnya sendiri, sementara dirinya hanya tinggal sendiri. Apakah ia akan tahan tinggal berdua saja dengan seorang perempuan? Sementara selama ini ia terbiasa tinggal seorang diri.
Memikirkan semua itu, membuat Reino pusing. Kemudian ia memutuskan untuk ke lantai dasar, meminum kopi guna merilekskan pikirannya kembali. Semua ini terjadi begitu saja, tanpa ada persiapan terlebih dulu untuk mempersiapkan hatinya pada kemungkinan yang akan terjadi ke depannya nanti.