Berada Dalam Tubuh Lexa Ferarro

1078 Words
Siang itu, mansion Loco terasa seperti sebuah kapal hantu yang terdampar di lautan sunyi. Hanya detak jam dinding antim di ruang tamu yang memecah kesunyian, setiap ketukannya seolah menandai berlalunya waktu dalam sangkar mewah ini. Lexa terbaring di ranjangnya, merasakan keheningan yang menusuk telinga. Loco memang sengaja membiarkannya sendirian untuk sementara karena kondisi mental Lexa. Sudah tiga hari sejak Loco membawanya pulang dari rumah sakit, dan setiap hari dihabiskan dengan pengawasan ketat. Tapi hari ini berbeda. Loco tidak ada di sampingnya. Biasanya, pria itu selalu berada dalam jarak yang bisa menjangkaunya, mengawasinya dengan tatapan yang membuatnya takut. Tapi pagi tadi, setelah pelayan membawakan sarapan, Loco mengatakan ada urusan bisnis yang mendesak dan akan pergi beberapa jam. Ini pertama kalinya Lexa sendirian sepenuhnya sejak pulang dari rumah sakit. Dengan hati-hati, Lexa turun dari ranjang. Kakinya masih sedikit gemetar, bukan karena luka fisiknya yang hampir pulih, tapi karena beban ketidakpastian yang terus menghantuinya. Dia berjalan menyusuri koridor panjang yang dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan mahal yang sangat asing baginya. Semuanya masih terasa asing, seperti set film yang dirancang untuk menipunya. Di ruang kerja Loco yang biasanya selalu terkunci, pintunya ternyata terbuka sedikit. Lexa melongok ke dalam. Ruangan itu gelap dan berantakan, sangat bertolak belakang dengan kesan rapi di bagian lain mansion. Di atas meja kerja yang besar itu, sebuah ponsel tergeletak begitu saja. Dengan cepat, Lexa memasuki ruangan. Ini melanggar aturan tak tertulis yang ditetapkan Loco, tapi rasa penasaran dan kebutuhan untuk menemukan secercah kebenaran mengalahkan rasa takutnya. Dia mengambil ponsel itu. Bukan model terbaru, dan ada goresan dalam di bagian belakangnya. Siapa pun pemiliknya, ini bukan Loco. Jarinya gemetar membuka ponsel. Baterainya hampir habis, tapi cukup untuk membuat satu panggilan. Satu-satunya nomor yang bisa diingatnya dengan jelas adalah nomor telepon rumah ayahnya. Dia menekan tombol hijau, jantungnya berdebar kencang. Setiap dering terasa seperti abadi. "Ya, Halo?" suara parau di seberang sana membuatnya berdebar. Itu suara Paman Hans, kepala pelayan setia keluarganya yang sudah bekerja sejak dia masih kecil. "P-Paman Hans?" suara Lexa bergetar. "Ini ... ini Rebecca." Diam sejenak. Terlalu lama. Lexa bisa mendengar tarikan napas berat di seberang. "Ini siapa? Jangan main-main! Atau akan kulaporkan ke polisi!” bentaknya. "Paman, ini aku Rebecca dan aku butuh bantuan. Aku tidak tahu di mana aku sekarang. Ada pria aneh yang mengaku suamiku—" "Shut up!!" potong Paman Hans, suaranya semakin keras. "Nona Rebecca sudah meninggal. Dua hari yang lalu. Jangan pernah menelepon lagi atau kau akan berurusan dengan polisi!” "Tunggu! Jangan ditutup! Apa maksudmu?" bisik Lexa, tangannya gemetar hingga hampir menjatuhkan ponsel. "Kami baru saja mengadakan pemakamannya," lanjut Paman Hans, suaranya keras dan jelas. "Kecelakaan mobil dan akhirnya Nona Rebecca tidak pernah sadar dari komanya." Lexa tidak bisa bernapas. Pandangannya berkunang-kunang. Dia mendengar suara Paman Hans masih berbicara, mungkin masih bertanya siapa sebenarnya dia, tapi telinganya mendenging keras. "Rebecca ... dia meninggal?" ulangnya bodoh. "Ya. Semua sudah berakhir. Tolong, jangan main-main dengan orang yang sedang berduka seperti ini." Paman Hans menutup telepon dengan cepat. Ponsel itu terjatuh dari tangan Lexa dan mati, baterainya akhirnya habis. Tapi itu tidak penting lagi. Yang penting adalah kenyataan mengerikan yang baru saja diungkapkan. Rebecca sudah meninggal. Tubuhnya sudah dikubur. Jiwa yang selama ini dia kira adalah dirinya sebenarnya sudah tidak ada. Dia berjalan terhuyung keluar dari ruangan, menyusuri koridor yang seolah semakin panjang. Kakinya membawanya ke kamarnya lagi dan langsung masuk ke kamar mandi ya. Dengan gemetar, dia menyalakan lampu dan berdiri menghadap cermin besar di atas wastafel. Wajah yang memantul kembali bukanlah wajahnya. Bukan Rebecca Matson. Ini adalah wajah orang lain—wanita berambut coklat dengan mata hijau dan tulang pipi yang tinggi. Cantik, tapi asing. Selama ini, dalam kebingungannya, dia masih berharap ini semua hanya mimpi buruk yang akan berakhir. Bahwa suatu saat nanti dia akan bangun dan kembali menjadi dirinya sendiri. Tapi sekarang harapan itu pupus. Rebecca sudah mati. Tubuhnya terbaring dingin di dalam tanah, sementara ... Jiwa Rebecca terperangkap dalam tubuh ini? Atau ini adalah reinkarnasi instan? Atau mungkin ini semua hanya halusinasi dari otaknya yang terluka? Dia menatap bayangan di cermin, dan untuk pertama kalinya, dia benar-benar melihat Lexa. Bukan sebagai penjajah yang tidak diinginkan, tapi sebagai wadah baru yang dipaksakan untuk jiwanya. Air matanya mulai mengalir, dia mulai menyadari kebangkitannya sebagai Lexa. Ini bukan tangisan kebingungan atau ketakutan, tapi tangisan duka yang mendalam. Duka untuk kematian dirinya sendiri. Untuk tubuh yang sudah dikuburkan tanpa sempat dia ucapkan selamat tinggal. Untuk kehidupan yang direnggut terlalu cepat. Di balik air mata, ingatan-ingatan lama tentang Vika mulai mengalir deras. Ibu tirinya yang cantik tapi dingin, yang selalu memandangnya dengan mata penuh kebencian sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah mereka. Vika yang selalu menemukan cara untuk membuatnya menderita—makanan yang dicampur garam berlebihan, pakaian yang secara sengaja dirusak, atau kecelakaan kecil yang membuatnya jatuh dari tangga. Setelah ayahnya meninggal, semuanya semakin buruk. Vika tidak lagi menyembunyikan kebenciannya. Kata-kata kasar berubah menjadi tamparan. Isolasi sosial berubah menjadi pengurungan di kamar. Dan sekarang, puncaknya yaitu kematian. "Kecelakaan mobil," bisik Lexa pada bayangannya sendiri. Tapi dia tahu, dalam hatinya yang paling dalam, bahwa itu bukan kecelakaan. Vika pasti berada di balik semua ini. Ibu tirinya yang haus harta warisan ayahnya akhirnya berhasil menyingkirkannya. Tapi anehnya, dia tidak mati. Tidak sepenuhnya. Dia masih ada di sini, dalam tubuh Lexa, istri dari pria berbahaya yang selalu mengawasinya. Dia menyentuh cermin, ujung jarinya yang dingin menyentuh pantulan wajah asing itu. "Rebecca sudah mati," katanya pada bayangan di cermin. "Tapi aku masih di sini. Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin ini caraku untuk membalas dendam." Sebuah semangat baru lahir dari puing-puing identitasnya yang hancur. Jika ini takdirnya—hidup sebagai Lexa—maka dia akan memanfaatkannya. Dia akan menggunakan identitas baru ini, dan semua kekuatan yang datang bersamanya, untuk mengungkap kebenaran di balik kematian Rebecca. Untuk membongkar rencana jahat Vika. Dia menatap matanya sendiri—mata hijau Lexa yang sekarang diisi oleh jiwa Rebecca. Ada api kemarahan di dalamnya, sesuatu yang tidak pernah ada selama dia menjadi Rebecca yang penurut dan selalu takut. "Vika mungkin sudah membunuh Rebecca," bisiknya, suaranya tegas. "Tapi dia tidak tahu bahwa aku masih hidup. Dan aku akan pastikan itu menjadi kesalahan terbesarnya." Dia membasuh air matanya, melihat sekali lagi pada pantulan dirinya yang baru. Rebecca mungkin sudah mati dan dikuburkan, tapi dendamnya, kemarahannya, dan tekadnya untuk membalas dendam masih membara. Dan sekarang, dia memiliki wajah baru, identitas baru, dan mungkin sekutu yang tidak terduga—seorang suami yang berbahaya yang tampaknya sangat mencintai tubuh yang sekarang dia huni. (JANGAN LUPA KOMEN YANG BANYAAAAAKK)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD