Sore itu, Lexa duduk bersama Natta, pelayan pribadinya di balkon kamarnya sambil menyesap teh herbal kesukaan Lexa, atau lebih tepatnya kesukaan Rebecca.
“Natta, sudah berapa lama kau bekerja pada Loco?” tanya Lexa tiba-tiba.
“Sekitar lima tahun, Nyonya.”
“Itu artinya kau ada di sini sebelum aku datang. Bagaimana hubunganku dan Loco dulu? Kau tahu kondisiku saat ini, kan? Aku ingin mendengarnya dari sudut pandangmu,” kata Lexa, serius.
Natta tak langsung berbicara, dia tampak masih menimbang-nimbang jawabannya.
“Natta … ini hanya antara kau dan aku. Katakanlah, aku hanya ingin tahu saja,” ujar Lexa sekali lagi.
“Hubungan kalian sedikit … aneh. Dekat tapi berjarak. Aku … sedikit sulit menjabarkannya. Kalian menikah karena kesepakatan antara Tuan Loco dan ayahmu, Nyonya.”
“Kesepakatan? Ayahku? Di mana dia sekarang?”
“Dia sudah meninggal. Dan aku tak tahu kesepakatan apa itu, hanya saja Tuan Loco benar-benar harus menjagamu dengan baik, sesuai pesan Tuan Gonzalez Hatzi.”
Lexa mengangguk saja. Tampak sedikit mencerna.
“Apakah mereka saling mencintai?” tanya Lexa lagi. “Hmm … maksudku, apakah kami saling mencintai?”
“Ya, kau sangat mencintai Tuan Loco, dan membutuhkan waktu setahun untuk membuat Loco merasakan itu, tapi tiba-tiba hubungan kalian kembali merenggang setahun belakangan dan Tuan Loco mulai kembali ke kebiasaan lamanya, pergi dengan banyak wanita.” Natta menjelaskannya dengan sedikit ragu dan takut.
“Kau tahu karena apa?” tanga Lexa.
Natta terdiam kembali, ada keraguan besar di matanya. Lalu Lexa memegang tangan Natta. “Natta, katakan saja. Aku hanya ingin tahu masa laluku.”
“Aku pernah mendengar pertengkaran kalian berdua. Kalian bertengkar masalah anak. Kurasa Tuan Loco menginginkan anak, tapi kau menolaknya. Maaf, aku tak mau membuatmu kembali ber—“
“Tak apa, Natta. Aku mengerti,” potong Lexa. “Jadi Loco menginginkan anak dariku? Dan aku menolaknya?”
Natta mengangguk dan menatap Lexa yang sangat berbeda di matanya sekarang. “Aku suka melihat perubahan Nyonya. Aku … mungkin ini terasa jahat, tapi entah kenapa aku senang melihamu hilang ingatan.”
Lexa hanya tersenyum. “Aku juga. Aku suka di sini. Meskipun aku belum mengenal dunia seperti apa yang akan kujalani di sini. Terima kasih, Natta.”
*
*
*
“Bagaimana keadaannya?” tanya Loco pada anak buahnya yang selalu mengawasi Lexa di mansionnya.
“Nyonya baik-baik saja, Tuan. Dia lebih sering sendirian di kamar.”
“Ada yang berubah? Maksudku, apakah dia mulai mengingat sesuatu mungkin?” Loco bertanya lagi.
“Menurut Natta, Nyonya Lexa benar-benar tak mengingat apa pun. Hingga terkadang kami merasa sudah tak mengenalnya lagi. Dia berubah180 derajat.”
“Ya, itu karena memorinya yang terhapus seluruhnya.” Loco menghela napasnya. “Tetap awasi dia. Aku takut dia tiba-tiba pergi dan lari seperti malam itu.”
“Baik, Tuan. Oh ya, Tuan. Beberapa hari yang lalu Sandra datang ke mansion, tapi Nyonya tak tahu karena kami memberhentikannya di gerbang saja.”
“Larang siapa pun yang akan masuk ke mansion. Lexa tak menginginkan hal itu lagi.”
“Baik, Tuan.”
*
*
*
Di akhir bulan, Loco akhirnya datang kembali ke mansion megahnya setelah harus tinggal sementara di penthouse nya di tengah kota.
Dia memasuki kamar Lexa tanpa mengetuk. Saat melihat wanita itu di depan cermin, dia membeku.
"Lexa?" panggilnya, sedikit ragu.
Lexa berbalik. Senyum lembutnya tidak seperti senyum sensual Lexa yang lama. Tatapannya tenang, bukan menggoda.
"Halo, Loco," ucapnya. “Senang bisa bertemu denganmu lagi.”
Loco memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada yang tersisa dari wanita yang dulu dia kenal. Tidak ada tato, tidak ada pakaian khas, bahkan ekspresinya amat sangat berbeda.
"Kau ... menghilangkan semua tatomu," ujar Loco, suara bergetar antara kaget dan takjub karena dulu Lexa sudah penuh tato ketika awal mereka bertemu dulu.
"Ya, inilah aku sekarang," jawab Lexa tegas. "Aku tidak bisa menjadi Lexa yang dulu, Loco. Tapi aku masih istrimu. Hanya ... dalam versi yang berbeda."
Loco terdiam lama, matanya menyapu setiap inci perubahan pada wanita di hadapannya. Dia kehilangan Lexa-nya untuk selamanya.
Tapi di depan dia, berdiri seorang wanita yang masih menyandang nama dan wajah yang sama, dengan jiwa yang baru.
"Ya, kurasa kau memang bukan Lexa lagi. Kau sangat berubah,” kata Loco akhirnya.
“Kau tak suka?”
“Kau istriku, dan aku tak punya pilihan.”
“Kau selalu punya pilihan, Loco.”
“Tidak, aku tak punya. Kau adalah tanggung jawab yang harus aku jaga seumur hidupku. Kita tak pernah bisa bercerai karena itu adalah janjiku pada ayahmu dulu.”
Lexa terdiam, belum tertalu memahami ucapan Loco karena dia memang tak pernah mencari tahu tentang masa lalu Lexa dan Loco.
Dia hanya fokus pada dirinya sendiri saat ini karena akan mulai mengatur rencana untuk balas dendam pada ibu tirinya dengan menggunakan Loco sebagai senjata.
Di balik ketenangannya, jantung Lexa berdebar kencang. Dia telah menyelesaikan tahap pertama rencananya—menciptakan identitas baru yang bisa dia kendalikan.
Sekarang, tinggal satu tujuan lagi. menggunakan identitas baru ini untuk membongkar konspirasi di balik kematian Rebecca dan menghancurkan Vika.