“Tuan Oliver sudah menikah, Tuan.” Seorang pria berbadan tinggi besar dengan wajah penuh bulu-bulu di sekitar rahang dan di atas bibir, membuka lebih lebar pintu mobil. Menahan tepi pintu, menunggu pria yang sebelumnya duduk di dalam mobil mewah warna hitam itu keluar.
Carlos. Pria yang baru saja kembali dari perjalanan bisnis itu keluar dari dalam mobil. Pria berusia 37 tahun yang memiliki tubuh atletis dan ketampanan di atas rata-rata tersebut mengancingkan jas sebelum menarik langkah diikuti oleh sang pengawal.
“Tadi kamu bilang apa soal pria brengs*k itu?” Carlos tidak menyebut nama Oliver. Dia sangat membenci pria itu.
“Tuan Oliver sudah menikah, Tuan.”
Carlos langsung mendengkus mendengar informasi dari pengawalnya. “Siapa perempuan yang jadi korbannya? Selena? Victoria? Lissy? Atau siapa?” Carlos menyebut beberapa nama perempuan yang pernah dekat dengan Oliver.
“Bukan mereka, Tuan.”
Ayunan kaki Carlos dengan sendirinya berhenti. Pria itu memutar kepala ke samping. “Bukan salah satu dari mereka?” Carlos terlihat tidak percaya mendengar jawaban sang pengawal.
Tiga nama perempuan yang ia sebut adalah model serta selebritis papan atas yang memiliki kecantikan bak bidadari. Benar-benar cantik hingga membuat banyak pria jatuh hati pada mereka. Membuat mereka menjadi rebutan. Sayangnya, mereka justru memilih berebut mendapatkan pria yang paling ia benci di dunia. Ace Oliver.
“Bener, Tuan. Bukan salah satu dari mereka.”
“Lalu, siapa?” tanya Carlos penasaran.
“Namanya Hazel Maria Dorne, Tuan.”
Kening Carlos langsung mengernyit. Dia belum pernah mendengar nama tersebut. “Model baru?”
“Dokter, Tuan.”
“Dokter?”
Sang pengawal kembali menggerakkan kepala turun naik—membenarkan pertanyaan sang bos.
Sepasang alis Carlos bergerak-gerak saat pria itu berpikir keras. Beberapa detik kemudian, satu perintah meluncur keluar dari bibir Carlos.
“Berikan semua informasi tentang perempuan itu padaku.”
“Baik, Tuan.”
****
Oliver membubuhkan tanda tangan di atas selembar dokumen. Pria itu kemudian mendorong dokumen tersebut ke depan.
“Selamat atas pernikahannya, Tuan.”
Oliver menggerakkan bola mata hingga bertemu tatap dengan sosok perempuan yang sudah 2 tahun bekerja padanya. Sepasang bibir pria itu berkerut sebelum terbelah. “Terimakasih.” Pria itu mengernyit melihat sang sekretaris masih bertahan berdiri di depannya terpisah meja, padahal ia sudah menandatangani dokumen yang perempuan itu bawa.
“Ada apa lagi?” tanya Oliver seraya menarik napas cukup panjang. Pria itu berdecak melihat sekretarisnya hanya diam. “Kamu tidak punya hak untuk cemburu. Aku memilihnya, bukan kamu atau perempuan lain. Aku juga tidak harus menjelaskan padamu. Ingat, hubungan kita sebatas—”
“Saya mengerti, Tuan. Saya tidak berhak cemburu.” Wanita itu menelan saliva. “Tapi, Tuan … saya … saya takut kehilangan Tuan.”
Oliver menghembus napasnya. “Aku bukan milikmu. Jadi, kamu tidak akan pernah kehilangan aku. Sekarang, keluarlah. Segera proses dokumen yang sudah aku tandatangani itu.” Oliver mengedik kepala ke arah dokumen yang sudah ada di depan sang sekretaris.
Wanita itu terlihat kecewa mendengar jawaban Oliver. Padahal selama dua tahun, dia setia pada pria itu. Bukan hanya berprofesi sebagai sekretaris, dia juga merangkap sebagai selimut penghangat ranjang pria itu.
Dia tidak pernah menolak kapanpun Oliver membutuhkan dirinya. Namun, sekarang Oliver seolah menganggap hubungan mereka tidak ada artinya sedikitpun. Ia patah hati sekaligus kecewa.
Melihat tatapan tajam Oliver, perempuan dengan rambut pendek berwarna pirang itu mengambil dokumen di depannya lalu berpamitan. “Saya permisi, Tuan.” Wanita itu sedikut membungkuk. “Kapanpun Tuan membutuhkan saya, saya pasti akan datang.”
Oliver tidak menjawab. Pria itu hanya menatap tajam sang sekretaris sampai akhirnya perempuan itu keluar dari ruangannya. Pria itu berdecak. “Perempuan murahan,” ujarnya sebelum mengalihkan fokus pada laptop yang sudah menyala di depannya.
Tidak banyak yang tahu jika di balik hobi berganti-ganti pasangan, ada hati yang membeku. Oliver tidak bisa lagi merasakan cinta. Lebih tepatnya, ia menolak merasakan cinta. Cinta hanya membuatnya lemah.
Bagi Oliver, perempuan tak lebih dari barang yang bisa dinikmati dan disingkirkan setelah ia bosan. Dan perempuan-perempuan yang dengan begitu mudah melempar tubuh mereka ke atas ranjangnya, hanyalah perempuan-perempuan murahan.
Memang seperti itu mereka. Yang mereka inginkan hanya uang. Cinta? Mereka tidak punya cinta. Hati pun bisa mereka gadaikan demi berlian, mobil atau rumah mewah. Demi semua yang berhubungan dengan kemewahan.
Perempuan adalah makhluk paling manipulatif. Cukup satu kali Oliver menjadi korban.
Semua perempuan sama. Oliver tidak akan pernah jatuh pada perangkap mereka. Dia yang akan membuat para w************n itu jatuh ke dalam perangkapnya. Membuat mereka melayang, lalu menghempas sekuat mungkin. Melihat wajah kecewa, dan putus asa seperti yang baru saja ia lihat, adalah kepuasan tersendiri bagi Oliver.
****
“Kamu yakin tuan Oliver tidak akan marah kamu berada di sini?” tanya perempuan paruh baya yang tidak lain adalah ibu angkat Hazel. Sudah lebih tiga jam Hazel berada di rumahnya.
“Apa sekarang aku juga tidak boleh datang ke sini? Apa statusku sudah bukan lagi anak di rumah ini? Haruskah aku mengganti panggilan? Aunty?” tanya beruntun Hazel.
Wanita itu menarik napas panjang. Dia setuju mengikuti Celine dan suaminya ke London demi mendapatkan hidup baru yang lebih baik. Untuk menyembuhkan luka hatinya. Akan tetapi, dia justru dijadikan umpan untuk mempertahankan bisnis ayah angkatnya.
“Bukan seperti itu maksudku. Kita sudah sepakat. Aku hanya khawatir tuan Oliver akan marah karena—”
“Apa Aunty tidak melihat kalau aku datang ke sini bersama orang kepercayaannya?”
“Ayolah, Hazel. Jangan begitu. Aku menganggapmu putriku.”
“Kalau begitu, perlakukan aku seperti putrimu. Bukan seperti barang milikmu yang bisa kamu gadaikan untuk kepentinganmu.”
Celine meremas kain dres yang membalut tubuhnya. Wanita itu masih membalas tatapan Hazel.
“Apa sekarang semua sudah impas? Apapun yang dulu pernah kamu lakukan untuk membantu orang tuaku sebagai teman mereka. Apa sekarang semuanya sudah terbayarkan dengan aku menikah dengan Oliver?”
Tidak mendapat jawaban dari ibu angkatnya, Hazel beranjak dari tempat duduknya. “Aku harap … aku sudah membayar lunas kebaikan kalian berdua. Sekarang, aku permisi.” Hazel menurunkan kepala sebagai tanda penghormatan sebelum melangkah menjauh meninggalkan Celine yang hanya bisa mengepal kedua telapak tangannya.
Hazel melangkah pelan berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun. Wanita itu berhenti di depan pintu masuk. Hazel mengintip ke luar dari kaca. Mendesah dalam hati melihat Frank masih berdiri tegak di teras rumah. Sialan, batin kesal Hazel.
Akhirnya Hazel berbalik arah. Wanita itu kembali berjalan masuk. Membuat Celine terkejut saat melihat sang putri angkat kembali.
“Mau kemana?” tanya Celine yang refleks berdiri dari sofa kemudian berjalan mengikuti Hazel.
“Pergi.”
“Tapi—”
Hazel menghentikan ayunan kaki lalu berbalik. “Untuk satu kali ini, kalau benar Aunty menganggapku anak, biarkan aku pergi. Jangan beritahu siapapun.”
“Kamu—” Celine langsung menahan pergelangan tangan Hazel. “Kamu mau melarikan diri dari tuan Oliver?” tanya wanita itu dengan wajah tegang. “Jangan lakukan, Hazel. Dia pria berkuasa. Kamu tidak akan berhasil melarikan diri darinya. Jangan buat dia marah, Hazel. Kasihani kami.”
Hazel menarik lepas tangan ibu angkatnya. Menatap lekat sepasang mata yang sedang memohon padanya untuk beberapa saat, sebelum berbalik lalu melanjutkan kembali ayunan kakinya. Membuat Celine panik.
“Hazel, Mommy mohon. Jangan lakukan itu. Kamu hanya perlu bersikap baik pada tuan Oliver. Hidupmu akan terjamin. Hazel … Hazel.”
Hazel tidak menggubris permintaan Celine. Wanita itu terus berjalan ke arah pintu belakang rumah. Tak ia hiraukan pula tatapan bertanya asisten rumah.
Tiba di bagian belakang rumah, Hazel dengan tidak sabar menarik gagang pintu. Bayangan akan segera terlepas dari Oliver, membuat garis bibir wanita itu tertarik perlahan.
'Ceklek!'