Bab 10. Rasa Penasaran Hazel.

1254 Words
Suara keras musik DJ langsung menyambut kedatangan Oliver begitu kakinya melangkah melewati pintu masuk sebuah tempat hiburan malam. Oliver mengayun kaki melewati kerumunan orang yang sedang menikmati minuman sambil berbincang. Laki-laki dan perempuan. Beberapa tampak sedang menyatukan bibir mereka di tengah suasana hingar bingar tempat tersebut. Tidak akan ada yang peduli pada apapun yang mereka lakukan. ‘Pyarrrr!’ Bahkan ketika suara pecahan kaca terdengar, mereka yang sedang melampiaskan nafsu yang sudah tidak tertahan lagi itu sama sekali tidak merasa terganggu. Alkohol sudah menguasai otak mereka. Oliver terus berjalan masuk. Di belakang pria itu ada Tom dan juga empat orang berpakaian serba hitam mengikuti sang CEO. “Tuan Oliver, mari silahkan ke atas. Tamu anda sudah menunggu.” Seorang pria yang mengurus tempat hiburan tersebut menghampiri Oliver, sebelum kemudian berjalan mendahului pria tersebut untuk menunjukkan jalannya. Oliver dan anak buahnya berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Sampai di lantai dua, mereka dibimbing berbelok ke kanan lalu terus berjalan hingga akhirnya pengelola tempat hiburan berhenti di depan pintu berwarna coklat. Pria itu mengetuk dua kali sebelum mendorong daun pintu. Mendorong pintu lebih lebar, sang pengelola tempat hiburan malam menoleh seraya berkata. “Silahkan, Tuan.” Pria itu mempersilahkan Oliver untuk masuk. Oliver menganggukkan kepala. Oliver menoleh ke belakang. “Kalian berdua berjaga di luar. Aku tidak ingin ada pengganggu.” “Baik, Tuan.” Dua orang anak buah Tom langsung mengambil posisi untuk berjaga di depan pintu. Semenatara Oliver, Tom, dan dua pengawal lain berjalan masuk ke dalam ruangan yang cukup besar. Seorang pria yang sebelumnya duduk di balik meja langsung berdiri begitu melihat Oliver berjalan masuk. Oliver melanjutkan ayunan kaki menghampiri meja. “Maaf, saya terlambat.” “Tidak masalah. Ada yang menemani saya, jadi saya tidak merasa kesepian.” Pria yang sudah lebih dari 15 menit menunggu Oliver itu tersenyum. Pria itu menoleh ke arah dua orang perempuan dengan pakaian seksi, lalu tersenyum sekali lagi. Pria itu mengembalikan perhatian pada Oliver yang kini sudah menghentikan ayunan kaki di dekatnya. Pria itu kemudian mengulurkan tangan kanan. Oliver menjabat sesaat tangan salah satu pelanggannya yang datang jauh-jauh dari Amerika. “Silahkan. Kita bisa langsung pada bisnis kita,” ujar Oliver sebelum pria itu duduk di single sofa terdekat sofa panjang yang ditempati oleh tamunya. Tom dan dua anak buahnya berdiri sedikit jauh di belakang Oliver. Berjaga. Satu dari dua wanita yang sudah berada di dalam ruangan tersebut untuk menemani tamu Oliver segera menuang isi dalam botol kristal ke dalam gelas, kemudian memberikan kepada Oliver sang juga Mark. Oliver mengambil gelas di depannya, lalu mengangkat--sementara tatapan matanya terpaut dengan netra sang tamu. “Jadi, berapa yang sekarang anda inginkan?” tanya Oliver langsung. “Satu ton.” Mendengar jawaban pembelinya, sepasang bibir Oliver berkerut. Kepala pria itu kemudian bergerak turun naik dua kali. Oliver membawa tepi gelas ke sela bibir. Tangan pria itu bergerak mendorong p*ntat gelas ke atas, hingga perlahan cairan di dalam gelas mengalir masuk ke dalam mulutnya. “Terserah anda mau dikirim satu kali, atau dua kali.” Pembeli Oliver menambahkan. Oliver meneguk minumannya beberapa kali sebelum meletakkan kembali gelas yang masih menyisakan sedikit isinya ke atas meja. “Baiklah.” Oliver mengembalikan perhatian pada Mark. “Sepertinya akan saya atur dua kali, Mark. Bagaimana kalau minggu depan?” “Ayolah, Tuan Oliver. Minggu depan terlalu lama. Pelanggan saya tidak akan sabar menunggu sampai minggu depan,” sahut Mark sebelum tertawa cukup keras. “Setengah kirim besok.” Oliver langsung berdecak. “Tidak bisa. Masih ada beberapa kiriman yang harus kami urus.” “Saya benar-benar membutuhkannya. Sepertiga dulu tidak masalah. Yang penting saya butuh pengiriman besok.” Oliver menatap tajam Mark beberapa detik sebelum menoleh ke belakang. “Tom, cek kemungkinan menambahkan pengiriman 300 kg besok,” ujar pria tersebut, membuat sang pelanggan tersenyum senang. “Seharusnya anda menghubungi saya dari kemarin, kalau memang stok anda sudah habis. Saya butuh waktu untuk mengaturnya. Ini pertama dan terakhir kali anda bisa seenak hati berbisnis dengan saya, Mark.” “Oh, ayolah Tuan Oliver. Saya minta maaf. Saya dengar anda baru menikah. Jangan marah-marah.” “Apa hubungan pernikahan saya dengan kemarahan saya pada anda?” Oliver menatap kesal Mark. Pria itu membungkuk—mengambil gelasnya kemudian meneguk sisa isi dalam gelas hingga tandas. Setelah meletakkan gelas yang sudah kosong, Oliver beranjak. “Hei, mau kemana? Kita belum bersenang-senang.” Mark ikut beranjak. “Tuan Oliver.” Mark melangkah menyusul Oliver. “Tuan Oliver. Temani saya bersenang-senang malam ini.” “Tidak. Saya harus pulang.” “Kenapa? Anda sudah merindukan istri anda?” “Tentu saja,” sahut santai Oliver. Pria itu kukuh menolak permintaan Mark untuk tetap berada di dalam ruangan tersebut. “Bersenang-senanglah sepuas anda bersama mereka. Saya yang akan menanggung semuanya.” Oliver menghentikan ayunan kaki di depan pintu yang sudah dibuka oleh Tom. Pria itu menoleh. “Saua ada urusan penting. Bukankah anda mau ada pengiriman besok?” “Wah, baiklah. Kalau karena itu, saya tidak bisa menahan anda. Pergilah, Tuan Oliver.” Mark menepuk bahu Oliver sambil tertawa. Oliver hanya menggelengkan kepala sebelum melanjutkan ayunan kaki keluar dari ruangan tersebut. “Kita langsung ke dermaga, Tom,” ujar Oliver seraya mengangkat tangan kiri. Menyibak sedikit ujung jas untuk melihat jarum jam yang melingkari pergelangan. “Masih cukup waktu. Ayo.” “Baik, Tuan.” **** Jam 10 malam. Oliver belum kembali ke mansion. Dari yang Hazel dengar saat Frank menerima telepon entah dari siapa, Oliver tidak akan pulang dalam waktu cepat. Dia sempat mendengar Frank bertanya apakah pria itu harus pergi menyusul mereka. Itu berarti Oliver sedang ada acara di luar sana. Hazel berjakan pelan meniti setiap anak tangga menuju lantai satu, sambil sesekali memutar kepala ke kanan kiri. Memperhatikan lantai satu. Menghembus napas lega melihat lantai satu sepi. Tidak terlihat satu pun asisten rumah yang banyak itu. Mungkin mereka sudah masuk ke kamar mereka masing-masing. Hazel merapatkan mantel yang dipakainya untuk melapisi piyama. Tiba di lantai satu. Hazel menoleh ke arah dalam rumah sebelum membelokkan langkah dan mengayun kedua kakinya. Tetap berjalan pelan tanpa menimbulkan suara, sekalipun tidak terlihat satu pun orang di dalam mansion. Hazel keluar dari pintu belakang mansion. Wanita itu kembali mengedarkan pandangan ke sekitar. Memastikan tidak terlihat pengawal berkeliaran, lalu berlari ke arah bangunan besar di depan sana. Hazel penasaran ingin mengetahui tempat apa itu. Tempat yang mereka sebut sebagai ‘Markas.’ Tempat yang Oliver gunakan untuk menyiksa dan membunuh seseorang. Ada apa di dalam sana? Entah keberuntungan dari mana, saat tiba di tempat tersebut dan Hazel mencoba mendorong daun pintu—benda persegi panjang dari kayu itu terbuka. Sepasang mata Hazel membesar. Hazel memperhatikan sekitar sekali lagi sebelum kemudian menyelipkan tubuh masuk ke dalam bangunan besar tersebut. Hazel menutup pelan daun pintu. Ruangan besar itu hanya diterangi satu bola lampu, hingga suasana terlihat remang-remang. Hazel mencari saklar kemudian menekannya. Seketika ruangan besar itu terang benderang. Hazel memutar tubuh seraya mengedarkan pandangan mata. Kakinya perlahan terayun sambil memperhatikan tempat itu. Dua ring tinju terlihat di sebelah kanan. Lalu Hazel bisa melihat beberapa samsak yang menggantung. Hazel bisa mengambil kesimpulan jika tempat itu adalah tempat para pengawal berlatih. Hazel paham mereka harus memiliki kemampuan berkelahi. Kedua kaki Hazel terus terayun masuk. Satu ruangan membuat Hazel semakin penasaran. Wanita itu mempercepat ayunan kakinya. Hazel mendorong daun pintu, lalu melongok ke dalamnya. Beberapa detik kemudian mata Hazel terbelalak melihat apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Baru saja kakinya melewati ambang pintu, suara sirine yang sangat keras terdengar. Membuat Hazel seketika menjadi panik ketika menyadari sumber suara sirine itu berasal dari ruangan yang baru saja ia masuki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD