This is For You

1656 Words
“Maaf Sisca, aku hanya ingin kamu ke ruanganku,” jawab Liam dari seberang. Sialnya Sisca menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa yang meneleponnya. “s**t!” umpatnya kesal setelah menjauhkan gawai dari tubuhnya sembari menutup dengan sebelah tangan. “Maaf, Pak, saya akan segera kesana.” Tanpa pikir panjang wanita itu melangkah cepat ke ruangan atasannya. Setelah dipersilakan, Sisca melenggang memasuki ruangan Liam. Menjejakkan kaki jenjangnya yang terbalut high heels berwarna merah, senada dengan warna rok ketat di atas lututnya. “Kamu enggak puk rok lain, Ca?” Liam melirik tampilan Sisca yang tampak sangat seksi di matanya. “Banyak, Pak, tapi modelnya begini semua. Tidak suka, Pak?” “Tentu saja. Aku enggak akan mau tubuhmu jadi tontonan laki-laki lain. Enggak boleh?” Pria itu menggenggam tangan Sisca dengan wajah memelas. “Satu hal lagi, bukankah kita sudah sepakat untuk berbicara lebih akrab saat berdua, hm?” Sisca terdiam dan nampak berpikir sejenak. “Oke, hanya saat kita berdua, Am.” Senyum pria itu mengembang. Sebelah tangannya terangkat, lalu mengusap kepala wanita itu. Sangat senang akan apa yang baru saja mereka sepakati. “Jadi ... kamu mau ganti rokmu itu, 'kan?” “Sudah kubilang semua rok milikku modelnya begini semua, Am. Biar saja lelaki lain melihatnya, yang penting mereka enggak akan pernah memilikinya, 'kan?” ucap wanita itu tersenyum. Menampilkan kedua lesung di pipinya. Ah, membuat Liam semakin terhanyut saja akan perasaan yang telah setia membersamai ya selama beberapa tahun ini. “Aku enggak akan pernah rela untuk berbagi dengan lelaki lain, Ca. Ikut aku. Kita beli rok untukmu!” tegas pria itu menggenggam tangan Sisca. Sesaat kemudian beranjak dan menarik tubuh sekretaris cantiknya itu. “Liam, tidak bisakah ditunda dulu? Kita hanya punya waktu 15 menit sebelum rapat dimulai.” Wanita itu mengingatkan setelah memeriksa schedule Liam melalui ponselnya. Langkah Liam terhenti, lalu berbalik menatap wanita itu. “ Batalkan! Atur ulang jadwalnya!” Perintahnya tegas, lalu kembali berjalan. Tidak peduli meski Sisca memberontak. Wanita itu mengentak-entakkan tangannya, tetapi akhirnya dia pasrah mengikuti langkah atasannya itu. Beberapa karyawan yang melihat hal itu saling berpandangan heran. Bukankah baru satu minggu yang lalu, bos mereka itu jadian dengan Nazra si Wanita Kulkas? Lalu, mengapa hari ini dia justru bergandengan tangan dengan sekretarisnya serta memperlakukan wanita itu dengan sangat spesial? “Kenapa jalannya pelan banget, sih, Am? Kalau begini kapan sampainya?” protes Sisca dengan wajah kesalnya, melipatkan kedua tangan di depan d**a dan mengerucutkan bibir. Bagaimana tidak, mobil yang mereka kendarai jalannya sangat lamban. Bahkan, becak saja mungkin lebih laju. Membuat Sisca semakin kesal saja. Liam terkekeh pelan melihat wanita itu, sungguh menggemaskan. Entah ibunya dulu mengidam apa sampai anaknya secantik dan semenggemaskan itu. “Sengaja, Ca, aku mau menghabiskan waktu denganmu?” jawab Liam asal. Sengaja ingin membuat Sisca semakin kesal. Sisca membulat tidak percaya dengan mulut yang sedikit terbuka. Memang apa yang bisa mereka lakukan di dalam mobil seperti ini? Apa yang bisa dinikmati? “Kita bisa menghabiskan waktu sambil belanja, 'kan, Am? Jika tidak kita bisa makan atau nonton film mungkin?” Senyum pria itu mengembang membuat matanya membentuk sebuah garis lengkung. “Ide bagus,” ucapnya menangkup sebelah pipi wanita itu. *** Seorang pria bergaya executive muda sedang duduk di sebuah sofa pada satu toko di salah satu mall ternama di ibu kota. Dia tampak memegang sebuah majalah untuk mengusir rasa bosan yang menyapa karena menunggu. Kacamata hitam yang setia bertengger di hidung mancungnya semakin menambah kadar ketampanan pria itu. Atensinya seketika teralihkan kala seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar pass menghampirinya. Wanita cantik itu memutar tubuhnya, lalu bergaya bak foto model profesional yang sedang menjalani pemotretan. Kedua sudut bibirnya melengkung menawan, menampakkan lesung di kedua pipinya. Namun, hanya sesaat senyum itu memudar. Hanya karena jari telunjuk pria yang duduk santai di hadapannya bergoyang ke kiri-kanan. Menandakan dia tidak setuju dengan apa yang dia kenakan. “Argh, aku capek banget, Am. Tahu begini, lebih baik aku pergi shopping sendiri tadi. Kenapa dari tadi enggak ada yang sesuai dengan seleramu, sih!” Kesal wanita itu meninggalkan Liam kembali ke kamar pass. Hampir lima jam mereka mengitari mall mencari rok yang sesuai selera Liam. Namun, tidak ada satu pun yang sesuai dengan seleranya. Sisca menghempaskan tubuhnya tepat di samping pria itu. Dia kapok berbelanja dengan Liam. Tidak akan ada lain kali untuknya. “Jangan marah, Sayang. Setelah ini aku akan menuruti semua keinginanmu,” ucapnya lembut menangkup kedua pipi wanita itu. Membuatnya pasrah dan hanya membalas dengan anggukan kecil. “Terus kamu maunya bagaimana? Masa aku pakai baju seperti Nazra?” ucap wanita itu asal. Terlampau kesal karena lelah mengitari mall. Dia hanya ingin semua ini segera berakhir. “Ide bagus!” seru Liam dengan mata berbinar. Dia memanggil manajer toko dengan isyarat. “Bawakan semua setelan jas wanita tertutup yang ada di toko ini.” Tidak berapa lama kemudian manajer toko membawa sejumlah pakaian yang diminta pria itu dengan bantuan beberapa pelayan toko. “Bungkus semuanya dan sesuaikan dengan ukuran wanitaku ini. Lalu, kirim ke alamat ini.” perintah Liam menyodorkan kartu namanya. “Hah! Kamu gila, Am?” Sergah Sisca kesal. Harinya pasti akan suram jika tidak menampakkan kaki jenjang dan lekuk tubuh yang menjadi kebanggaannya. “Iya, aku bisa gila jika laki-laki lain memandangi tubuhmu!” Pria itu berkata dengan intonasi yang mulai meninggi. Membayangkan pria lain memandangi calon istrinya sudah cukup membuat amarahnya tersulut. “Untuk apa baju sebanyak itu? Semuanya bahkan lebih dari cukup meski aku memakainya setiap hari selama satu bulan.” “Kalau begitu, kamu pakai tiga pasang sehari saja. Untuk bulan depan kita bisa shopping lagi, 'kan?” “Tidak! Aku tidak akan shopping denganmu lagi.” Wanita itu menolak dengan histeris. Dia tidak akan pernah mau berbelanja dengan Liam, meski hanya membayangkannya saja. Setelah berbelanja mereka memasuki sebuah toko perhiasan. Liam tampak sibuk memperhatikan deretan gelang saat Sisca memilih kalung. “Am, ini cantik enggak?” Pria itu memandang kalung di leher Sisca lalu beralih memandang wajah wanita itu. “Cantik, tapi enggak secantik kamu,” godanya sembari mengedipkan matanya. Membuat rona merah menjalar di wajah wanita itu. Saat di meja kasir, Liam juga menyerahkan sebuah gelang yang menarik perhatiannya. “Untuk apa kamu membeli gelang? Aku, 'kan, enggak suka pakai gelang, Am.” Wanita itu mengerutkan keningnya heran. Pria itu hanya tersenyum memandang gelang yang ada di tangannya kini. “Dia pasti akan menyukainya.” gumamnya pada diri sendiri. Namun, sukses membuat wanita itu kesal karena diabaikan. Liam menautkan jemarinya dengan Sisca sepanjang jalan setelah meninggalkan toko perhiasan itu. Mereka menghabiskan waktu bersama hari ini dengan shopping, nonton, dan makan. Ah, sepanjang hari itu bagaikan mimpi indah bagi Liam. Berharap semoga besok saat terbangun, semuanya masih sama seperti hari ini. *** Jingga masih menghiasi ufuk timur. Seorang wanita cantik bersurai panjang tampak sedang bersiap untuk berangkat ke kantor. Hanya bermodal bedak dan lipstik ombre telah membuatnya cantik paripurna. Dia melangkah menuruni anak tangga dengan cepat. Nazra memilih untuk tidak sarapan di rumah, untuk menghindari pembicaraan tentang pernikahan. Topik yang paling dia benci belakangan ini. Setelah kedatangan Liam tempo hari, orangtuanya semakin mendesak untuk menikah. Seolah tidak memberi jeda baginya untuk bernapas lega. “Sarapan dulu, Ra!” teriak ibunya mengekori dengan sepotong sandwich di tangan kanan dan segelas s**u di tangan yang lainnya. “Enggak usah, Bu. Aku sarapan di kantor saja,” ucapnya seraya meraih tangan wanita paruh baya itu untuk bersalaman. Dia menghampiri ayahnya yang tengah asyik membaca koran. Saat dia mengulurkan tangan, pria paruh baya itu justru mengepalkan tangannya, mengajak untuk ber-tos, tetapi dengan wajah datar tentunya. Wanita itu memang menuruni DNA dominan dari sang ayah. Wajah dan sifatnya yang sama persis. Bisa dibilang Nazra adalah Rayhan versi wanita. Nazra memasuki gedung kantor tepat pukul 07.30 WIB. Salut. Wanita itu pemegang rekor sebagai karyawan yang tidak pernah terlambat dan selalu tiba di waktu yang sama setiap hari kerja. Kini dia kembali dihadapkan dengan berbagai berkas yang menunggu di mejanya. Alisnya yang berjejer rapi hampir tertaut, menandakan bahwa dia sedang serius. Sesekali dia tampak menyugar rambut panjangnya. “Hai, Sayang.” Perkataan Liam sukses merampas perhatian Nazra. Wanita cantik itu kini menatapnya tajam. Namun, hanya beberapa saat kemudian dia kembali fokus ke arah laptop. Pria itu tersenyum dan berjalan ke arahnya. “Ada apa?” tanya Nazra dengan nada dingin. “Aku hanya mengunjungi pacarku yang cantik,” ucap Liam mengedipkan sebelah mata. “To the point saja, Am. Seperti bukan kamu saja.” Wanita itu berkata tanpa memalingkan wajahnya dan masih tetap fokus dengan pekerjaannya. “Hei, kamu enggak mau melihat pacarmu yang ganteng ini?” “Enggak. Kerjaanku jauh lebih menarik.” Liam mencebikkan bibir. Pacarnya itu memang terkenal dingin, tetapi ternyata dia juga sangat tidak asik. “Harusnya kamu merasa diberkati karena bisa melihat muka ganteng limited edition-ku ini sepuas hati, Ra.” Pria itu mengangkat dagunya bangga, memasukkan kedua tangan ke saku celana dan bergaya layaknya seorang model papan atas. Liam memegang kursi yang diduduki oleh Nazra, kemudian memutarnya, hingga wanita itu kini berhadapan dengannya. Kedua tangan pria itu berada di pegangan kursi, mengunci tubuh wanita itu. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centimeter. Tatapan yang saling beradu itu berakhir tatkala Nazra memilih memalingkan wajahnya. Nyatanya, usaha Nazra untuk membuat pria berkulit putih itu meninggalkan ruangannya gagal total. Jarak yang semakin menipis di antara mereka membuat jantungnya kian ketar ketir. Apalagi ditambah dengan aroma parfum dari tubuh pria itu, sungguh membuat jantungnya harus bekerja keras hari ini. Mungkin sedikit lagi, dia tidak akan mampu menyembunyikan perasaan di balik wajah datarnya itu. Semoga saja itu tidak terjadi. Kedua sudut bibir pria itu tertarik membentuk lengkungan yang paling menawan, menurut Nazra. Untung saja Liam tidak melihatnya. “Look at this. This is for you.” ucap Liam memakaikan gelang itu tanpa permisi. “cantik, sangat cocok untukmu," imbuhnya senang. “Apa ini?” tanya Nazra masih dengan wajah datar, padahal dalam hati dia meloncat kegirangan. Keduanya tampak asik berbincang tanpa tahu sepasang mata tengah mengawasi mereka. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD