Tiga Puluh

1224 Words
Sedang yang ditunggu-tunggu kepulangannya oleh Ilham kini tengah sibuk memberitahu arah pada tukang ojek untuk menuju ke rumahnya. "Tuuuh.. didepan yang gerbangnya ada lampu kelap-kelip diatasnya, itu rumah saya Mas." "Alay banget rumahnya, Neng." Sahut tukang ojek. Andai menoyor kepala orang tidak menimbulkan dosa, sudah dipastikan pria di depannya Alin toyor berkali-kali. Sembarangan bilang alay. "Yee.. iri? Bilang bos." "Anak t****k ya, Mbak?" Tanya tukang ojek ngasal. Alin menggeleng. "Alergi tiktok." "Bilang aja sering lihat-lihat video t****k tapi nggak bisa jogednya kan? Ngaku deh Mbak..." Tukang ojek ini masih saja bisa membalas jawaban Alin sambil menghentikan kendaraannya di depan rumah Alin. Buru-buru Alin turun sambil berusaha melepas kaitan helm. "Kalaupun saya bisa joged, saya nggak akan main t****k. Kecuali t****k bisa menghasilkan duit, baru saya—," penjelasannya terhenti begitu saja kala matanya tak sengaja melihat pemandangan indah dimalam hari. Sumpah! Ini lebih indah dari pemandangan bintang jatuh atau sejenisnya. Kamu pasti akan mengatakan ini juga jika kamu merasakan yang Alin rasakan saat ini. Ketika pria yang kamu suka sejak dulu tapi selalu berperilaku tak baik padamu, namun tiba-tiba malam ini pria itu menunggumu di balkon rumah. Bukankah itu pemandangan yang sangat indah? Alin mengerjab beberapa kali dan tersenyum selebar-lebarnya senyuman. Lihatlah diatas saja, pria bernama Ilham itu tengah menatap Alin dan terdiam ditempat. Tak mau dibilang sombong, Alin lantas melambaikan tangan. Membuat pria diatas sana yang semula terdiam memandangi Alin jadi salah tingkah dan memalingkan pandangan kearah lain sambil menggaruk-garuk tengkuk. "Mbak, cepetan buka helmnya terus bayar. Saya mau lanjut ngojek lagi." Suara tukang ojek membuat Alin tersadar dan melepas helm. Sebelum menyerahkan pembayaran, Alin menyempatkan diri untuk pamer. "Mas-mas, mau lihat calon suami saya nggak?" "Sebenarnya sih enggak, tapi yaudah deh. Mana calon suami Mbak?" "Itu diatas." Si tukang ojek justru menengadah keatas langit melihat keindahan bulan dan bintang yang bertebaran malam ini. "Mana?" "Itu... Diatas balkon depan rumah saya." Akhirnya tukang ojek berhasil melihat sosok Ilham yang dikenalnya sebagai calon suami Alin. "Gimana? Ganteng kan?" "Hitam seperti malika, Mbak." Sontak Alin mendelik tidak terima. Buru-buru ia menyerahkan uang pada tukang ojek sialan ini dan mengusirnya cepat-cepat sebelum emosinya naik dan berniat memangsanya. "Udah sana pergi jauh-jauh!!" Seperginya tukang ojek, Alin menyempatkan waktu untuk menengadah keatas lagi. Berharap Mas Ilham-nya masih setia berdiri diatas sana sambil memandanginya dengan kerutan di dahi. Namun hanya kehampaan yang menyapanya. Tidak ada sosok siapapun disana. Sepertinya Ilham sudah masuk ke kamar. Baiklah. Ini tidak terlalu buruk. Setidaknya saat ia pulang, sosok pertama yang menyapa matanya adalah Ilham. Alin tersenyum girang dan memasuki area rumahnya segera. "Sudah pulang? Gimana keadaan Rivaldo?" Dua pertanyaan dari sang Ayah membuat Alin menghentikan langkah. Menoleh pada sumber suara dengan kedua alis saling bertaut dan akhirnya bergabung duduk santai di ruang tengah ditemani siaran televisi. "Ngomong-ngomong, kok Ayah tahu Pak Rivaldo sakit?" Tanyanya penasaran. "Iya. Tadi sebelum kamu sampai rumah, Rivaldo hubungi Ayah dan bilang kalau kamu lagi ada di rumah dia buat ngobatin alergi." Alin menganggukkan kepala sambil ber-oh ria. "Eh tapi, tumben Ayah nggak marah aku pulang malam?" "Rivaldo nyuruh Ayah buat nggak marahin kamu." Setelah kalimat itu keluar, Alin hanya bisa melongo. Rivaldo menyuruh seorang Arsan Arsyad untuk tidak memarahi anak sulungnya yang pulang larut malam ini? Bukan keberanian Rivaldo yang membuat Alin sedikit tercengang dan tidak percaya. Hanya saja, kenapa bisa Ayahnya ini mau-mau saja disuruh Rivaldo? "Gimana keadaan Rivaldo? Alerginya sudah sembuh?" Arsan yang penasaran terus saja menanyakan hal ini. "Eumm... Lebam-lebam merahnya sih agak mendingan. Tapi demamnya kadang turun kadang naik." "Terus kenapa pulang?" Hah? "Mak-maksud Ayah?" Sumpah! Alin tidak paham dengan pertanyaan Ayahnya yang satu ini. "Kalau belum sembuh kenapa kamu pulang, Mbak?" "Pak Bos nyuruh aku pulang, jadi yaudah aku pulang. Lagian, sebenarnya itu bukan tugas aku, Yah. Harusnya asistennya dia dong yang ngurusin. Aku kan cuma editor di kantornya." Arsan terlihat menghela napas agar kesabaran saat ini memenuhi dirinya. Diajaknya si sulung untuk duduk di sofa kosong sebelahnya agar pembicaraan ini lebih nyaman. "Kamu tahu, kenapa Rivaldo minta kamu buat ngerawat dia dan bukan asistennya atau orang lain?" Tanyanya. Bak tokoh animasi Masha yang tidak memiliki beban hidup, Alin meggeleng dengan polosnya. "Nggak." "Ayah sama Rivaldo memang bukan kerabat yang dekat-dekat amat. Hanya sekali dua kali ketemu dalam pertemuan bisnis. Tapi, setelah dia tahu kamu anak Ayah, dia seperti ingin lebih dekat dengan Ayah. Dan, sampai sekarang hubungan pertemanan kita semakin erat." "Terus apa korelasinya Pak Bos yang merintah aku buat ngerawat dia sama cerita Ayah ini?" Celetuk Alin. Ia berusaha mengamankan diri walau badan sudah penuh peluh dan lengket dimana-mana. "Dia meritah kamu untuk ngerawat karena kamu anak Ayah." Arsan menghentikan penjelasannya sejenak. Diamatinya sang anak yang terus-menerus menggaruk rambut kepala. "Mbak, kutu kamu ngembang biak lagi?" Tanyanya ngasal. Kontan saja Alin mendelik tak terima. "Aku tuh udah nggak punya kutu, Yah!!" "Terus itu garuk-garuk kenapa?" "Ketombe! Makanya cepetan ngajak ngobrolnya, aku udah pengin keramasan nih!" Sungutnya sambil semakin mengeraskan garukan di rambut. Punya anak perawan yang tidak punya malu memanglah bukan kemauan Arsan. Tapi apalah daya, Tuhan sudah memberinya Alin. Jadi mau bagaimana pun ia harus berlapang d**a membesarkan perawannya ini. "Yaudah sana mandi. Tapi satu lagi yang mau Ayah bilang ke kamu." "Apa? Cepetan!" "Rivaldo hidup sendirian di Jakarta. Kedua orangtuanya pindah ke Australia." Penting banget, ya? Eh tapi, tunggu. Tunggu dulu. "Tapi dia katanya punya adik. "Dia bilang sih ada adik laki-laki, sekarang tinggal di Surabaya sama istrinya." Ternyata pria sekelas Rivaldo bisa juga di langkahi adiknya. Alin mengangguk paham dan segera pamit masuk kamar. Sebenarnya obrolan tadi tidak ada penting-pentingnya untuk Alin. Ia bukan siapa-siapanya Rivaldo, kenapa harus diceritakan latar belakangnya pria m***m itu? Yang memiliki hubungan kekerabatan kan Ayahnya, sedang ia hanya kacung di kantor Rivaldo. Baru semenit duduk santai di tepi ranjang, ponsel yang sedari pagi belum ia sentuh itu berdering. Malas-malas ia meraih benda pipih berlogo Apel itu dan mengernyit heran pada nama yang tertera di layar ponsel sebagai penelepon. Tentu saja itu nomor Rivaldo, pemirsa. Alin menerima panggilan Rivaldo tapi enggan bersuara lebih dulu. "Halo? Alin, kamu sampai?" "Udah daritadi." "Terus kenapa baru angkat panggilan saya?" "Penting banget ya, ngangkat telpon Bapak?" Terdengar kekehan dari seberang sana. Membuat Alin memutar bola mata malas dan ingin sekali segera memutus panggilan ini. "Besok jangan lupa kerumah saya lagi. Sopir saya yang akan menjemputmu." "Iih nggak usah ah. Nanti saya kesana sendiri aja." "Kenapa? Perlu dijemput pake Lamborghini?" "Iya, saya tahu Bapak banyak mobil. Tapi sori-sori tu say yah, saya nggak doyan yang mewah megah dan terlalu glamor. Nanti saya pake motor aja kesananya." "Oke, saya tunggu." "Eumm.. suara Bapak udah nggak serak-serak lagi, Bapak udah sembuh ya?" Bukannya menjawab, Rivaldo justru memamerkan suara batuknya berkali-kali. "Kayaknya saya masih jauh dari kata sembuh deh. Setelah kamu pulang, nggak tau kenapa badan saya jadi demam nggak karuan banget. Apalagi ditambah batuk dan flu. Uhhuk.. uhhuk.." Alin yang seketika panik karena takut ia salah ambil Paracetamol akhirnya memilih untuk diam. "Ya-ya-yaudah, gih mending Bapak tidur. Biar besok bisa agak enakan. Saya tutup ya telponnya. Selamat malam." Panggilan terputus secara sepihak. Alin bergidik ngeri membayangkan Rivaldo malam-malam kejang-kejang karena overdosis mengkonsumsi Paracetamol. Buru-buru ia buang sembarang ponselnya kearah ranjang hingga membuat benda itu memantul dan dirinya segera masuk ke kamar mandi. Ia butuh mandi! Ah tidak, untuk malam ini ia tidak akan mandi. Jadi, cukup mencuci muka dan gosok gigi saja cukup. Mandi bisa di skip besok saja. Sekalian lengket-lengketan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD