Lima menit lagi jam istirahat telah tiba, para editor mulai bersiap untuk menyimpan data sejenak. Berbeda dengan yang lain, layar monitor Alin justru menampilkan laman Youtube yang tengah memutar lirik video lagu To the Bone dari band Pamungkas yang katanya kalau makan tidak bisa sampai ke tulang-tulangnya tapi kalua mencintai kamu bisa sampai ke tulang-tulangnya.
Suara ketukan pintu di sambung deheman seksi menggema di ruangan editor Romance. Membuat seluruh karyawan kontan menoleh ke sumber suara. Disana, diambang pintu ruangan berdiri seorang Rivaldo Hendriksen sang pemilik ruangan ini dan seluruh yang ada di gedung penerbitan ini. Ada apa gerangan seorang CEO yang seharusnya sibuk di ruang kerja justru tengah berdiri menawan di pintu ruangan karyawannya? Apa jadwal sidak bulanan dipindah hari ini? Ah, tidak mungkin.
Rivaldo justru menaikkan kedua alisnya melihat para karyawan menatapnya aneh lalu tersenyum manis. "Maaf mengganggu, saya hanya ingin memanggil seseorang bernama Alin Kartika Putri," Katanya dan menjatuhkan pandangan kearah orang yang dia cari.
Seluruh pasang mata beralih menatap Alin, sedang si korban hanya bisa menatap tak suka pada Rivaldo. Kenapa harus ke ruangan segala, sih? Kenapa tidak telepon saja? Rasanya Alin ingin meneriaki kalimat itu didepan Rivaldo. Lebih baik Rivaldo sakit saja dan bekerja dirumah, daripada selalu ke kantor.
"Adakah yang bernama Alin?" tanya Rivaldo sekali lagi.
"Cepetan tuh dipanggil Bebeb." Kata Nisa.
Alin melirik Nisa dan teman satu timnya yang lain, semua memandangnya seolah mengusir Alin agar segera menghampiri Rivaldo. Alin menghela napas dan beranjak dari kursinya.
"Bapak ngapain sih kesini?" tanya Alin menghentikan langkahnya dan bersandar dibalik dinding. Terlihat sangat lelah menghadapi tingkah Rivaldo yang selalu mengganggu jam istirahatnya.
"Mengajakmu makan siang." Jawab Rivaldo.
"Nggak bisa, saya mau makan di kantin kantor sama timnya Mas Ilham, karena ini hari terakhir mereka disini."
"Mereka sudah kembali ke kantornya."
"APA??!!" Pekik Alin syok.
Sudah kembali ke kantor??
Kepala Rivaldo mengangguk tanpa beban. "Pekerjaan mereka sudah selesai, program sudah bisa digunakan. Jadi mereka pulang ke kantor sendiri dong."
Oh! Rasanya Alin ingin menjambak rambut Rivaldo sampai botak. Matanya menatap marah pada sang lawan bicara. "Pasti Bapak sengaja kan, mempercepat kepulangan mereka biar saya nggak bisa lihat Mas Ilham lagi?" tuduhnya.
"Itu kamu tahu. Anak pintar." tangan Rivaldo mengacak rambut Alin.
"Nggak usah sok mesra! Saya lagi marah sama Bapak!"
Alin tak peduli pada karyawan lain yang berlalu lalang melewatinya untuk beristirahat. Toh, tidak ada yang berani menatapnya karena di depannya ada Rivaldo.
"Saya suka sama ekspresi marah kamu."
Sialan! Tolong jangan berkata manis didepan Alin, karena Alin adalah wanita yang gampang oleng. Arrggh!
"Udahlah, saya mau makan!" katanya berjalan mendahului pemilik kantor Kembang Publisher. Hanya Alin yang berani berlaku seperti itu pada Rivaldo.
"Kita makan diluar."
"Makan di ruangan Bapak aja." Tolak Alin.
Senyum Rivaldo mengembang. "Oh, oke." dan segera menghubungi sekretarisnya untuk memesankan makanan.
***
Setelah setengah harian dibuat pusing oleh Rivaldo, karena pria itu tak memperbolehkannya untuk keluar setelah makan siang. Alhasil Alin dikurung di ruangan Rivaldo sampai jam menunjukkan pukul tiga sore. Dan kalian tahu apa yang dilakukan Alin disana? Dia tidak melakukan apapun. Rivaldo hanya memintanya untuk duduk diam di sofa seperti orang bersemedi. Sialan memang Bosnya. Kalau saja Rivaldo tidak menawarkan kenaikan gajinya, Alin tidak akan sudi di perlakukan semau pria itu. Sayangnya ia butuh uang!
Alin mendaratkan bokongnya diatas sofa rumah Nisa, oh tidak. Ini bukan rumah Nisa, lebih tepatnya Rumah Fahmi yang sekarang juga ditinggali Nisa.
Aahh... Akhirnya ia bisa bernapas lega karena tidak ada Rivaldo di sekitar sini.
"Jadi gimana, cerita dong? Jangan lupa sama yang tadi siang, kamu nggak balik-balik ke ruangan, habis diapain kamu sama si Bos?" tanya Nisa tak pedulikan wajah Alin yang tampak lelah.
"Sediakan minuman sama camilan dulu, biar ceritanya lengkap." Pinta si sulung Arsan Arsyad.
Meski sebenarnya tidak terima disuruh Alin, Nisa tetap menyiapkan apa yang Alin mau. Karena dia butuh cerita gadis itu.
"Jadi?" todong Nisa setelah meletakkan minum beserta camilan untuk Alin.
Sembari mengunyah jajanan ringan, Alin mulai menceritakan segalanya mengenai kedekatannya dengan Rivaldo. Kedekatan? Astaga, memang ia dan Rivaldo sudah sedekat apa? Ah, sudahlah.
Lebih baik ia ceritakan saja pada Nisa mulai dari dirinya yang mengurus Rivaldo saat pria itu sakit sampai permintaan Rivaldo yang mengajaknya menikah. Satu yang tidak bisa Alin ceritakan, mengenai ciuman. Itu hal privasi kan? Jadi lebih baik ia simpan sendiri saja. Lagipula, kalau Alin ceritakan betapa buasnya Rivaldo saat menciumnya, nanti bisa-bisa Nisa iri dan pengin juga di cipok Rivaldo.
"Terus kamu jawab apa waktu si Bos ngajak nikah?" tanya Nisa penasaran.
Alin mengangkat bahu. Seingatnya, waktu itu ia tak menjawab dan justru bertanya kenapa dirinya yang dilamar Rivaldo, kenapa tidak wanita lain saja. Dan Rivaldo memberi jawaban yang membuat Alin terdiam lalu keduanya berakhir ciuman.
"Kamu tolak?"
"Belum jawab."
"Terima aja sih. Kamu tuh beruntung bisa di taksir si Bos."
"Lebih beruntung Mbak, diajak nikah Mas Fahmi. Tuh lihat, suami Mbak pulang bawa makanan. Pasti makanan kesukaan Mbak."
Nisa menengok ke belakang dan benar saja suaminya pulang dengan tangan membawa plastik putih yang entah berisi apa. Nisa tersenyum menyambut Fahmi yang langsung mencium keningnya. "Abi bawa apa?" tanyanya.
"Bakso, pesanan kamu." Jawab Fahmi.
Mata Alin menyipit. "Abi? Sejak kapan Fahmi Idris ganti nama jadi Abi?"
"Apaan sih, kita tuh lagi latihan biar nanti kalau udah punya anak nggak kagok manggil Abi-Ummi." Sahut Nisa.
"Tumben muka kamu jerawatan." Ujar Fahmi dan duduk disebelah Alin, memperhatikan wajah si gadis yang sempat membuatnya kalang kabut untuk didekati karena terlampau bucin pada anak tetangga depan rumah. "Lagi banyak masalah, ya?" tanyanya.
Alin mengangguk. Sedang Nisa sibuk menyiapkan mangkuk untuk menyantap bakso yang dibeli Fahmi
"Pasti gara-gara si Rivaldo-Rivaldo itu, ya?" tebak Fahmi.
"Itu Mas Fahmi tahu." Balas Alin.
"Dia tuh lagi galau mikirin jawaban untuk Rivaldo, Bi." Sahut Nisa sembari menuangkan bakso untuk Fahmi santap.
Fahmi menoleh pada sang istri. "Jawaban apa?"
"Jadi, Alin tuh diajak nikah sama si Bos, Bi. Tapi dia masih bingung harus jawab apa." jelas Nisa pada Fahmi.
Pandangan Fahmi kembali beralih pada Alin yang kini fokus memperhatikan tangan Nisa yang sibuk menuangkan satu persatu bungkus bakso ke dalam mangkuk. "Kalau masih bingung ya jangan diterima dulu."
Kepala Nisa sontak terangkat karena tidak setuju dengan ide Fahmi. "Kok gitu sih, Bi! Menurut aku sih ya, lebih baik diterima aja. Mumpung yang naksir kamu itu si Bos. Itu artinya pasangan kamu lebih tinggi lagi daripada si Ilham yang ceweknya cuma jadi suster. Lagian, apa sih kurangnya Pak Bos? Udah ganteng, kaya raya dan udah tentu suka sama kamu. Ngapain cari yang lain kalau didepan mata udah dikasih berlian."
Fahmi nampak tak suka dengan ucapan Nisa. Ia berdehem keras, "Ngomong-ngomong, suami kamu juga ganteng. Yaa.. walaupun nggak kaya-kaya amat, tapi aku yakin bisa menjamin kebahagiaan kamu," katanya. Fahmi memang sangat tidak suka kalau Nisa menyanjung-nyanjung Rivaldo. Bukan sekali dua kali, hampir sebelum tidur Nisa pasti bercerita betapa kayanya Rivaldo.
"Hehehe, iya-iya."
Sedang Alin mulai memikirkan kembali ucapan Nisa yang ada benarnya juga. Ya, ada salahnya sih. Karena Sania bukan suster, tapi dokter! Pasti Nisa sengaja.
"Eh, apalagi kalau kamu nikah duluan sama si Bos, pasti seru. Sekalian lihat gimana reaksi Ilham kalau kamu beneran nikah sama si Bos. Biar tau rasa tuh si Ilham, ditinggal nikah sama bucinersnya." ucap Nisa masih tak henti memberi solusi pada Alin. Sebagai teman, Nisa juga ingin Alin bisa lepas dari kebucinannya pada Ilham.
"Menikah itu bukan untuk main-main. Jangan dengarkan Mbakmu. Lebih baik kamu pikirkan dulu enaknya gimana. Ini untuk masa depan kamu, untuk selamanya. Jadi jangan sampai salah ambil jalan." Sahut Fahmi.
Alin jadi bingung harus mempertimbangkam solusi dari siapa.
Tapi, kalau ia menikah dengan Rivaldo, apa Ilahm akan patah hati?
Benarkah, Ilham akan merasakan rasa yang sama seperti Alin saat melihat Ilham bertunangan dengan Sania?
Memang, kenapa Ilham harus bersikap menyedihkan?
Alin mendengus frustasi memikirkan hal itu.