"Gimana menurut Mas Ilham?" Tanya Alin antusias sambil memperlihatkan jari manis yang sudah disematkan cincin cantik pada Ilham.
Kepala Ilham mengangguk beberapa kali sebagai penilaian untuk cincin yang ada di jari Alin, "Bagus kok .. nggak terlalu mencolok juga."
"Aku pikir juga begitu, tapi .. aku juga suka cincin yang ini .." bukan Alin namanya jika tidak mempermalukan seseorang. Kini tangan kanannya menunjuk cincin lain dengan model yang berbeda dari yang dirinya pakai.
"Ambil aja semuanya."
Kepala Alin gegas menoleh pada Ilham dengan ekspresi wajah tidak percaya. "Be-beneran Mas?"
"Iya, Sayang."
Kedua pipi itu kontan saja memerah seketika. Apalagi saat Ilham melayangkan tangannya untuk mengelus rambut Alin, sungguh ingin sekali Alin menepuk manja d**a bidang Ilham.
"YAA ALLAH ... ANAK GADIS JAM SEGINI BELUM BANGUN!! MBAK, BANGUN MBAAAAK ...KAMU NGGAK KERJA? INI UDAH JAM SEPULUH!!"
Teriakan seseorang membuat dahi Alin mengernyit. Ia lantas mengganti posisi tidur dengan menelantangkan tubuh.
"Mbak ... Ini beneran nggak mau bangun?" Sekali lagi Nawang memperingatkan anaknya.
Dahi Alin semakin mengernyit saat bayangan Ilham mulai menghilang dan berganti menjadi gelap. Saat matanya terbuka, ia justru dikejutkan oleh sosok Ibunya yang sudah berkacak pinggang, bersiap memberi sentilan ganas padanya.
Alin terdiam sejenak, berusaha mencerna semua yang baru saja terjadi. Tidak, ini tidak benar-benar terjadi. Saat ia dan Ilham pergi ke toko perhiasan dan membeli dua cincin yang Alin suka, itu tidak benar-benar terjadi. Dan itu artinya ia hanya ... Mimpi?
Sebegitu miriskah dirinya?
"Itu lihat, p****t kamu merah-merah begitu. Sana cepetan cuci sprei!" Ini adalah suara khas Nawang saat marah. Setelah mencetuskan kalimat tersebut Nawang bergegas keluar dari kamar anak sulungnya itu.
Tak peduli pada perintah Mamanya, Alin sibuk menepuk-nepuk kedua pipi berusaha mencari tahu apakah barusan benar-benar mimpi atau bagaimana.
"Kayaknya beneran mimpi deh!" Keluhnya saat dirasa sakit menepuk pipi sendiri.
Ia lantas gegas bangkit dari tempat tidur. Alin keluar dari kamar dengan tubuh yang tergulung sprei bekas bercak darah menstruasinya. Sungguh, ini masa menstruasi pertamanya di bulan ini dan rasanya malas sekali untuk bangun dari ranjang. Jadi Alin memutuskan untuk tidak masuk bekerja. Lagipula, siapa juga yang mau membukakan gerbang untuknya jika ia berangkat kerja jam segini?
Menuruni anak tangga terakhir, matanya mengernyit melihat dua orang pria tengah bercengkrama diruang tengah. Jika tak salah lihat, disana ada Mas Fahmi ...
Bola mata Alin melebar. Mas Fahmi? Mau apa cheff kepercayaan ayahnya ini bertamu di pagi hari? Tidak bekerja?
Masa bodoh pada penampilannya yang urakan, Alin menghampiri dua pria itu dan langsung melayangkan pertanyaan pada Fahmi. "Mas Fahmi ngapain pagi-pagi disini?" Lantas bola matanya beralih menatap sang ayah yang biasanya jam segini ada di sekolahan, justru sekarang ada dirumah, "Ayah juga, nggak ngajar?"
"Udah pulang," balas Arsan tak acuh, bahkan melirik Alin saja enggan. Sungguh, anaknya yang satu ini benar-benar membuatnya malu!
"Kamu nggak berangkat kerja, Lin?" Tanya Fahmi sambil memandang aneh pada penampilan wanita yang sudah dianggapnya sebagai adik.
"Nggak Mas, lagi males. Ohiya, Mas Fahmi kesini mau ngapain?" Mungkin jika Alin bertanya seperti itu pada seseorang selain Fahmi, maka orang tersebut akan marah karena mendengar nada tanya yang tak sopan.
"Mau izin cuti," jawab Fahmi.
"Memangnya Mas Fahmi mau kem—,"
Sebelum Alin menyelesaikan kalimatnya, Nawang lebih dulu menjewer teling Alin dan menarik paksa anaknya ini.
"A-aduh, aduh Ma .. jangan keras-keras nariknya Ma ... Ma-a -a.."
Tak peduli pada erangan Alin, Nawang membawa masuk Alin ke tempat cucian. Melepas jeweran pada telinga anaknya Nawang beralih berkacak pinggang, menatap sengit pada Alin. "Tadi Mama suruh apa? Cuci sprei kan? Kenapa malah melipir ke ruang tengah coba?"
"Tadi nggak sengaja lihat Mas Fahmi jadi aku samperin sebentar, Ma." Ini sejenis pembelaan diri sendiri.
"Kamu nggak malu nyamperin Fahmi dengan penampilan kayak gitu? Mana bercaknya kentara banget. Fahmi itu lelaki, Mbak..."
"Ya emang siapa juga yang bilang Mas Fahmi perempuan?"
"Terooos... Jawab aja terus... Dibilangin juga!"
"Lagian Ma, tadi tuh yang liat cuma Ayah sama Mas Fahmi. Ya nggak apa-apa dong."
Bola mata Nawang memutar jengah. Memarahi Alin sekeras apapun, maka anaknya ini akan terus menjawab dan melawan. Jadi, daripada ia capek-capek emosi, lebih baik mengalah dan mengakhiri perdebatan ini.
Wajah Alin bersungut ketika melihat Mamanya justru melipir pergi tanpa sepatah kata. Sambil mendumel, ia mulai melepas lilitan sprei dari tubuhnya untuk segera di cuci.
Selesai mencuci dan membersihkan diri, Alin menghampiri Arsan yang masih setia di ruang tengah, namun tanpa sosok Fahmi disana. "Lhoh Yah, Mas Fahmi udah pulang?" Tanyanya sembari mengambil langkah duduk disebelah sang Ayah.
Arsan mengangguk kecil menjawab pertanyaan anaknya. Tangan dan matanya fokus pada laptop.
"Ohiya Yah, Mas Fahmi ngambil cuti buat apa?"
"Pulang kampung,"
Sepertinya Arsan masih malas pada Alin, jadi Ayah yang memiliki tiga anak ini memilih menjawab pertanyaan Alin secukupnya saja dan tanpa menatapnya.
"Ngapain? Kan belum lebaran."
"Minta restu."
Tawa Alin justru yang terdengar. Menepuk pundak sang Ayah, Alin geleng-geleng kepala. "Ayah ngaco deh! Emangnya Mas Fahmi mau nikahan apa, segala minta restu."
"Bukan nikah sih, tapi tadi Fahmi bilang mau tunangan."
Giliran bola mata Alin yang bereaksi. "APA? TU-TU-TUNANGAN? MAS FAHMI MAU TUNANGAN??!" serunya kelabakan.
"Iya.."
"Sa-sama siapa?"
"Nisa."
Tanpa menunggu lama lagi Alin gegas menuju kamar untuk mengambil ponsel dan menghubungi Nisa. Tidak! Ini pasti ia sedang bermimpi lagi! Bagaimana mungkin Nisa dan Fahmi akan melangsungkan pertunangan!
"Hallo Mbak," sapanya.
"Eh, kutu kupret! Kenapa nggak berangkat sih? Mas Hardi marah-marah terus ini." Semprot Nisa dari seberang sana.
"Persetan dengan kemarahan Mas Hardi! Mbak, Mbak Nisa beneran mau tunangan sama Mas Fahmi?"
"Iya, hehehe. Maaf—,"
"NGGAK PERLU! NGGAK BUTUH MAAF!"
"Iiih Lin, bukan gitu maksud aku... Tadi malam tuh, Fahmi tiba-tiba ngajak tunangan gitu aja Lin. Terus niatnya hari ini tuh mau cerita sama kamu, tapi malah kagak berangkat! Kenapa nggak berangkat sih?"
"Males! Ada Pak Rivaldo!" Ketus Alin. Mengingat tanggal ini adalah tanggal dimana biasanya Rivaldo Hendriksen berkunjung ke kantornya. "Pokoknya harus cerita besok!!!" Lanjutnya lantas mematikan panggilan begitu saja.
Setelah berhasil menghubungi Nisa, siang nanti Alin berniat mengunjungi restoran Ayahnya untuk meminta klarifikasi langsung pada Fahmi. Ia benar-benar tidak terima menjadi orang terakhir yang tahu tentang berita pertunangan mereka.
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, Alin sudah menancap gas mobil melaju menuju restoran.
Namun baru saja langkahnya menapak di lantai restoran, matanya menemukan dua sejoli yang tidak ingin Alin lihat keromantisannya. Siapa lagi kalau bukan Ilham dan Sania!
Kenapa sih? Kenapa harus disini? Kenapa harus bertemu disini? Kenapa harus mereka? Kenapa?
Lihat, bahkan Ilham tanpa sungkan mengambil lauk bagian Sania untuk dimakannya sendiri. Mereka sudah seperti suami istri saja.
Tak mau terlihat melas, Alin mengambil posisi duduk dimeja yang bisa sekalian untuk memantau keduanya. Dengan bantuan buku menu makan untuk menutupi wajah, Alin kini menjadi mata-mata.
Saat Sania membersihkan sisa nasi diujung bibir Ilham, bola mata Alin hampir saja keluar dari tempatnya.
Braaak..
Sampai-sampai tangannya tak sengaja menyenggol kotak tisu yang berakhir jatuh dan menimbulkan suara gaduh. Alin buru-buru membungkuk untuk memungut kotak tisu dan berkali-kali berucap maaf pada beberapa pelanggan yang duduk disekitar mejanya.
Bahkan Ilham dan Sania sempat menoleh pada kegaduhan yang Alin ciptakan. Namun mereka belum menyadari bahwa itu adalah Alin, karena posisi Alin yang tengah memunggunginya.
Alin akhirnya memilih masuk ke dapur. Ia malas melihat para pasang mata yang menatapnya seolah ia memiliki kesalahan yang sangat fatal, padahal hanya tidak sengaja menjatuhkan kotak tisu.
Didapur ia menemukan sosok Fahmi tengah sibuk memasak. "Mas," sapanya.
Fahm yang memang sudah sangat kenal pada suara Alin hanya menyahut dengan gumaman saja. "Hmm?"
"Aku mau tanya—,"
"Tadi diluar ada Ilham." Fahmi justi menyela ucapan Alin dengan memberitahu bahwa pujaan hati Alin ada disini.
"Udah tau! Tapi bukan itu yang mau aku tanyakan!"
Masih tetap fokus pada masakannya, Fahmi menyahut. "Terus apa?"
"Mas Fahmi beneran mau tunangan sama Mbak Nisa?"
"Lhoh? Kamu udah tau? Syukurlah."
"Kenapa?"
"Maksudnya?"
"Kenapa secepat ini? Bukannya kalian baru kenal beberapa bulan? Kencan aja baru dua kali, kalo nggak salah."
Fahmi melirik aneh pada wanita di sampingnya. "Tunangan nggak harus untuk orang yang pacaran udah lama kan? Baru kenal langsung tunangan juga boleh."
"Ngeles," cetus Alin.
Baiklah. Sepertinya Alin butuh penjelasan yang lebih rinci. Jadi Fahmi memutuskan untuk mematikan kompor gas dan fokus berbincang dengan Alin. "Jadi gini lhoh, adikku Sayang .. Mas di kampung udah diburu nikah sama Orangtua, Nisa juga. Jadi, karena kita sama-sama diburu, mendingan cepat-cepat tunangan terus nikah!"
"Tapi nggak secepat itu juga kali!" Bahkan Alin masih tidak percaya.
"Kenapa sih? Kok kayaknya kamu nggak suka banget Mas mau tunangan?"
"Ya! Aku tuh nggak suka ya kalian bahagia sedangkan aku masih harus ngejar-ngejar si onoh!!" Serunya.
Tawa Fahmi menggelegar, "Makanya cari yang lain. Ngapain yang begituan dikejar terus."
"Makanya cariin dong!"
"Kamu mau yang kayak apa? Kawan Mas rata-rata tukang masak. Kamu mau?"
"Tau ah! Aku tuh nggak bisa berpaling dari Mas Il—," Alin tak sanggup melanjutkan ucapannya saat tak sengaja melihat sosok Ilham masuk ke dapur restoran bersama seorang Waiters. "Ma-Mas Ilham?"
Waiters tersebut memberi kode pada Ilham untuk mendekat dengan posisi Alin.
"A-ada apa ya?" Tanya Alin melihat bergantian pada Ilham dan waiters.
"Jadi begini Mbak—,"
Ilham mengangkat tangan untuk menghentikan ucapan Waiters. "Biar saya saja yang bicara."
"Baik, Pak."
"Ada apa Mas?" Tanya Alin yang kini fokus pada Ilham.
"Pacar saya barusan nggak sengaja nabrak waiters dan menjatuhkan beberapa piring juga gelas."
"Ooh.." hanya ber-oh saja tanggapan Alin. Jujur, ia juga bingung harus merespon apa, karena saat ini ia tengah dilanda gugup.
"Sebagai perwakilan, saya minta maaf atas keteledorannya dan bersedia mengganti rugi."
"Kalo aku minta ganti ruginya dengan Mas Ilham harus memutuskan Mbak Sania, Mas mau nggak?" Kepala Alin menggeleng keras saat setan merah memintanya untuk mencari kesempatan dalam kesempitan.
"E-eh, nggak perlu ganti rugi kok. Nggak apa-apa, selagi nggak ada korban yang tersakiti." Akhirnya hanya itu yang bisa ia lontarkan.
Kepala Ilham mengangguk. Baiklah jika Alin tidak mau diganti rugi. Ilham lantas mengucapkan terimakasi pada Alin dan bergegas keluar dari dapur.
Tubuh Alin mematung memandang kepergian Ilham. Hanya itu? Hanya ucapan terimakasih? Lhoh, memangnya apalagi yang akan ia dapat?
Fahmi yang sedari tadi diam tidak mau ikut campur kini memegangi kedua bahu Alin dan menggiringnya untuk duduk di kursi yang ada di dapur. Memberinya segelas air putih untuk menetralkan tubuh wanita ini.
"Nggak apa-apa kok. Menggapai cinta pertama memang sesulit itu." Ujar Fahmi, sedikit memberi ucapan maklum agar Alin tidak terlalu putus asa.
"Mas Fahmi pernah ngerasain?"
Fahmi mengangguk dan duduk dihadapan Alin. "Pernah,"
"Gimana ceritanya?"
"Tapi nggak terlalu menyakitkan kayak yang kamu rasakan. Mas dan cinta pertama Mas, kita dekat. Hanya saja dia lebih memilih pria lain, lebih memilih mengejar pria lain yang jelas-jelas tidak menyukainya."
"Kok bodoh banget sih cinta pertama Mas Fahmi!"
"Begitulah. Tapi balik lagi ke takdir. Mungkin dia bukan jodoh Mas."
Alin menatap Ilham dengan pandangan lesu, "Mungkin juga Mas Ilham bukan jodohku."
Fahmi tersenyum geli melihat wajah sulit Alin. Tangannya lantas memberi elusan lembut dikepala Alin. "Kan masih ada pepatah yang bilang, kalo jodoh itu nggak kemana."
"Tapi kalo emang bukan jodohnya mau gimana lagi!"
"Yaudah sama Pak Rivaldo aja,"
Wajah Alin berubah seketika. "Pasti Mbak Nisa cerita-cerita tentang Pak Rivaldo. Dia bilang apa aja?"
"Pak Rivaldo ganteng, tampan, gagah dan handsome."