Beberapa langkah lagi Rivaldo hendak sampai di depan pintu rumah, bersiap mengetuk pintu. Tapi Alin dengan gesit segera menarik paksa lengan berlapis jas mahal itu dan membawanya menjauh dari pintu rumah. Alin menghempas tangan Rivaldo setelah berhasil membawa Rivaldo berdiri di sebelah mobil milik pria di depannya ini.
"Bapak ngapain sih kesini? Saya akan bayar ganti ruginya kok!" Cetusnya dengan mata menatap judes pada Rivaldo.
"Saya kesini bukan untuk meminta ganti rugi—,"
"Terus mau ngapain? Main? Pengin ketemu Ayah saya? Terus mau kasih tau kalo anaknya yang bodoh ini baru saja merugikan perusahaan? Iya?" Sela Alin tanpa gentar.
Rivaldo menghela napas panjang, berusaha sabar menghadapi emosi Alin. Ia kesini berniat baik untuk meminta maaf pada Alin karena sudah membentak juga memarahi wanita itu berlebihan. Tapi apa yang ia dapat sekarang? Justru sebuah fitnah.
Sebagai pria dewasa yang lebih suka mengalah dan rajin menabung untuk masa depan, Rivaldo mengiyakan apa saja yang keluar dari mulut Alin. Terserah, terserah wanita itu saja. Akan Rivaldo iya-kan.
"Ya, saya kesini untuk bertemu dengan Ayah kamu. Dimana beliau?"
Alin membuang pandangan ke arah lain. "Ayah saya belum pulang!" Lalu kembali menatap malas pada wajah tampan tapi sialan milik Rivaldo, "jadi, lebih baik Bapak pulang sekarang!" Usirnya lagi.
"Saya tunggu Ayah kamu pulang aja, deh." Balas Rivaldo sambil kakinya hendak melangkah, berniat untuk duduk di kursi teras.
Tapi sekali lagi Alin berhasil mencegahnya. Untuk kali ini Alin tidak main-main jika Rivaldo tidak mau pulang. Demi ketentraman hidupnya esok hari, Alin akan rela menarik paksa Rivaldo untuk masuk ke mobil dan ia yang akan mengendarai mobilnya. Itu pilihan terakhir jika Rivaldo masih keukuh ingin menunggu Arsan pulang.
"Pak, Bapak paham bahasa Indonesia kan? Saya tadi bilang pulang, p-u-l-a-ng. Pulang!" Cetus Alin.
"Mbaaakkk...."
Teriakan yang Alin pahami membuatnya melepas tangan Rivaldo dan menoleh pada sumber suara, diikuti oleh Rivaldo. Nah, Citra. Calon ABG itu berlari bak kerasukan setan alas, semua rumput dia teratas begitu saja.
Sampai di hadapan sang kakak, Citra menatap Alin dan Rivaldo bergantian. "Kalian lagi marahan, ya?" Tanyanya.
"Apaan sih Lo! Sono masuk!"
Bukannya menuruti perintah sang kakak, gadis berseragam SMP itu justru menengadahkan tangan kanannya di depan Alin.
"Apa?" Tanya Alin curiga.
"Uang, buat bayar Abang Ojol. Kasian tuh, udah nungguin."
"Nggak ada duit!"
Dibalas delikan mata oleh Citra, "Pelit!" Lalu tangannya beralih menodong pada Rivaldo. "Oppa ada uang?"
Rivaldo terkekeh melihat ekspresi lucu Citra kala memandangnya. Anak ini selalu saja membuat semuanya bisa tersenyum. "Ada, sebentar ya." Tangannya mulai merogoh saku celana, membua dompet kulit asli dari Unta dan menyerahkan uang pecahan seratus ribuan pada Citra, "Bilang ke Abang Ojolnya, kembaliannya ambil aja." Pesannya.
"Siap, Oppa! Gomawoooo.." Teriak Citra. Sebelum benar-benar pergi, Citra tak lupa memberi delikan mata sekaligus juluran bibir untuk mengolok-olok Alin yang pelit.
Lagi, Rivaldo kembali terkekeh. Alin yang melihat itu justru muak. Dimana lucunya sih? Kenapa calon mantan bosnya ini terkekeh melulu? Atau memang selera humornya yang recehan?
"Bapak beneran nggak mau pulang? Apa perlu saya antar?" Tanya Alin kembali fokus pada misinya yang harus mengusir Rivaldo sesegera mungkin.
"Boleh, tapi setelah saya ketemu Ayah kamu. Gimana?"
"Sekarang aja gimana?"
"Dengan penampilan kamu yang hanya pakai piyama? Oke, sekarang gini aja, saya mau pulang sekarang tapi kamu harus mengantar saya. Dengan catatan kamu harus mandi dulu." Rivaldo dengan kecerdikan jiwa marketingnya mulai beraksi.
Aisssh bacot! Itu sama saja Rivaldo masih bisa memiliki kesempatan untuk menunggu Ayahnya pulang, kan? Belum lagi ia harus mengganti pakaian, mengeringkan rambut, membuat bibir ombre. Itu membutuhkan waktu lebih dari setengah jam.
Tak lama sosok Citra kembali melintas dibelakang Alin. Lagi-lagi gadis remaja itu menjahili Alin dengan sengaja menarik ujung piyama Alin dan berlari sekencang mungkin. Membuat tubuh Alin sedikit terhuyung ke samping.
"Bangke Lo!" Maki Alin. Sungguh ia sudah tak tahan lagi ingin melontarkan makian-makian khas-Nya pada Citra.
"MAMA ... DI DEPAN ADA TAMU...." Teriakan Citra bak alarm bahaya bagi Alin.
Ia kembali menarik tangan Rivaldo. Kali ini keduanya. Kanan dan kiri. Ditarik tak mau, Alin membuat peruntungan untuk mencoba mendorong Rivaldo.
"Cepetan masuk... Masuk ke mobil cepetan..." Paksanya dengan sekuat tenaga namun sama sekali tak berguna karena Rivaldo tidak bergerak sedikitpun. Posisi keduanya yang sangat dekat seperti ini, terlihat dari kejauhan seolah Alin tengah memeluk Rivaldo.
"Cepetan masuk ke mobil..." Geram Alin.
"Saya nggak mau masuk ke mobil, Alin Kartika Putri." Balas Rivaldo sambil menahan senyum.
"Mbak, kalian lagi ngapain?"
Suara itu. Suara Mamanya. Suara itu membuat Alin menghentikan aksi dorongnya ditubuh Rivaldo. Ia terdiam dengan posisi masih menggenggam erat tangan Rivaldo dan tubuh yang sangat dekat dengan Rivaldo.
"Mbak?"
Tersadar, ia buru-buru menarik diri dari Rivaldo dan berbalik menghadap sang Mama. Menatap sebal pada Nawang yang kini justru menatap Alin dan Rivaldo secara bergantian dengan ekspresi wajah bengong.
"Nggak usah mikir yang macam-macam!" Sebelum pikiran Mamanya sampai ke ujung, Alin memperingatkan.
Nawang tersenyum jumawa pada keduanya lantas menyahut. "Nggak mikir macam-macam kok, cuma satu macam aja."
"Mama, ish!!" Dengus Alin.
Mengabaikan kekesalan sang anak, Nawang fokus pada keberadaan Rivaldo. "Nak Rivaldo, ayo masuk. Alin kebiasaan deh kalo ada tamu nggak disuruh masuk dulu. Nggak sopan."
Rivaldo mengangguk menyetujui ucapan Nawang. Kakinya hendak melangkah untuk menuruti perintah Nawang, namun lagi-lagi Alin mencegahnya dengan mencekal kuat lengan keras Rivaldo.
"Bapak mau ngapain siiih..?" Bisik Alin penuh penekanan.
"Saya disuruh Mama kamu untuk masuk." Balas Rivaldo dengan bisikkan juga.
Posisi Nawang yang kini sudah berbalik badan hendak di ambang pintu masuk sontak kembali berbalik kala mendengar suara gaduh dari belakang. Dilihatnya Alin lagi-lagi membuat masalah dengan menarik-narik lengan Rivaldo. Kenapa sih anaknya ini? Bos sendiri di tarik-tarik bak kambing.
"Ehmmm," Nawang sengaja berdehem sekeras mungkin.
Alin yang sadar segera menoleh pada sumber suara. "Mama masuk aja dulu, buatin minum untuk Pak Rivaldo. Aku masih ada hal yang harus dibicarakan diluar."
"Kenapa nggak bicara di dalam aja?" Timpal Rivaldo.
Serta merta Alin melototkan matanya pada Rivaldo. Enak sekali pria ini menimpali ucapannya. "Nggak bisa!" Lantas pandangannya berali pada Nawang, "Mama udah sana buatin minum dulu."
Setelah berhasil membuat Mamanya masuk ke rumah, Alin beralih fokus ke masalah utamanya disini. Dan, sepertinya Alin tidak sadar bahwa dirinya masih mencekal lengan Rivaldo.
"Sekarang jelasin. Sebenarnya Bapak kesini mau ngapain?"
Keduanya saling menatap satu sama lain. Bukannya fokus untuk menjawab pertanyaan Alin, Rivaldo justru salah fokus dan malah menikmati pemandangan wajah sembab Alin yang disebabkan olehnya. Alin. Wanita yang akhir-akhir ini membuatnya dilanda penasaran pada kehidupannya. Wanita yang membuat Rivaldo rela keluar masuk ke kantor Kembang Publisher setiap hari padahal tidak ada hal yang penting-penting amat.
"Saya mau minta maaf ke kamu." Balas Rivaldo.
Alin tertegun. Tentu. Seorang Rivaldo yang jika sedang memarahi karyawannya seperti tidak ada akhlak ini, sekarang bilang maaf padanya? Ini Alin tidak salah dengar kan?
"Tadi pagi saya memang sedang tidak bisa mengontrol diri. Jadi saya luapkan emosi saya ke kamu. Maaf."
Tak mau melihat raut tulus Rivaldo, Alin membuang pandangan kearah lain. Aaahh kenapa Rivaldo jadi semakin tampan jika sedang berekspresi seperti itu? Wajah tampannya terlihat sangat teduh dan sungguh Alin ingin sekali menatap lebih lama wajah Rivaldo yang seperti ini. Tapi sekali lagi egonya menolak mentah-mentah.
"Gimana, kamu mau maafkan saya?"
"Nggak!"
"Kenapa?"
"Nggak akan saya maafkan, sebelum Bapak acc surat resign saya."
"Gimana mau saya acc, kamu aja belum ngajuin suratnya."
Alin menoleh menatap Rivaldo. Memperlihatkan wajah ketusnya. "Sedang dalam proses!"
"Oke, sambil menunggu prosesnya gimana kalo mau maafkan saya dulu. Biar surat resign kamu langsung saya acc jika sudah jadi."
"Nggak mau!"
"Kenapa lagi?"
"Saya tuh masih kesel sama Bapak! Saya masih marah sama Bapak! Saya nggak bisa ikhlas maafin bapak untuk sekarang ini."
Rivaldo mengerjapkan mata beberapa kali saat setelah Alin berucap. Setulus itulah wanita ini? "Oke-oke saya nggak akan maksa."
"Pak?" Panggil Alin.
"Iya?"
"Ganti rugi yang satu M itu masih berlaku, ya?"
Mata Rivaldo melebar. Ganti rugi satu M? Sejak kapan? Tapi alih-alih menggeleng, Rivaldo justru mengangguk. "Masih." Katanya.
Alin melengos nelangsa.
"Ehmmm, tangan kamu nggak keram pengangan kayak gini terus?"
Alin yang tersadar segera melepas lengan Rivaldo dan berbalik membelakangi.
Lucu. Sehingga kedua sudut bibir Rivaldo terangkat membentuk seulas senyum.
Tubuh Alin berbalik. Dengan ekspresi wajah murung ia menatap atasannya itu. "Bapak nggak ada niatan untuk pulang sekarang juga?"
"Nggak."
"Terus mau ngapain?"
"Lihat kamu."
Ambigu. Itu jawaban ambigu yang tidak ingin Alin dengar. Saat bibir Alin hendak memprotes jawaban ngawur itu, Rivaldo justru mencondongkan tubuhnya sehingga membuat Alin serta merta menutup bibir dengan kedua telapak tangan.
"Bafak mau ngafain?" Tanya Alin masih dengan menutup rapat bibirnya agar terhindar dari serangan cipok dadakan.
"Mengulang kegiatan saat kita di pantry kantor, dulu." Jawab pria itu seolah-olah hal ini adalah kegiatan yang sudah biasa keduanya lakukan.
Alin menelan ludah susah payah. Tak mau kejadian itu terulang kembali, ia bergegas untuk lari. Tapi sayang sekali, tangannya di cekal oleh Rivaldo. Tentu saja pria itu tidak akan membiarkan Alin pergi begitu saja.
"Katanya kamu mau antar saya pulang?"
"I-i-iya, ini-ini saya mau mandi dulu, Pak."
Rivaldo menggeleng tak percaya. "Kamu pasti mau kabur."
"Nggak! Saya beneran mau man...—," bantahannya terhenti ketika sebuah mobil yang Alin kenali milik sang Ayah kini memasuki pekarangan rumah.
Sial! Lagi-lagi situasi seperti ini hari terjadi lagi!
Dan alangkah sialnya lagi Rivaldo tak mau melepas tangannya. Sekarang ia bingung, harus bilang apa pada Ayahnya?
"Lhoh, Rivaldo?" Sapa Arsan kaget kala menyadari pria yang kini mencekal lengan anak sulungnya adalah Rivaldo. "Kalian lagi ngapain?" Tanyanya setelah tiba di dekat mereka.
"Enggak Om, ini Alin nggak tau kenapa minta di pegangin."
Arsan melirik anaknya. Rasa marah teramat besar terkobar di matanya. Siang dirinya mendapat telepon dari sang istri bahwa Alin berbuat masalah di kantor orang yang mengakibatkan banyak kerugian.
"Yaudah, ayo-ayo kita masuk. Kamu kesini pasti mau ketemu sama saya kan?"
"Iya Om, juga pengin ketemu Alin."
Sekali lagi Arsan melirik sang sulung yang terlihat melototkan matanya pada Rivaldo. Benar-benar tidak ada sopan santunnya anaknya ini. Padahal sejak dulu ia selalu mendidik dan mengajarkan Alin sopan santun. Tapi entah kenapa setelah dewasa anaknya ini jadi hilang sopan santun.
"Ayo kita ke dalam." Ajak Arsan. Tangannya merangkul bahu Rivaldo dan menggiringnya untuk masuk ke dalam.
Alin yang melihat itu sontak terdiam. Ia memperhatikan langkah keduanya hingga masuk ke dalam rumah.
Sedang seseorang yang sedari tadi berdiri diatas balkon kamarnya kini menaikkan kedua alisnya melihat Alin berdiri sendiri di pekarangan rumah gadis itu. Ilham. Pria ini sudah sejak awal memperhatikan interaksi Alin dengan pria yang entah siapa itu. Dari mulai Alin yang menarik-narik paksa lengan Rivaldo.
Rasa penasaran tentu tak bisa Ilham pungkiri. Dalam benaknya ia bertanya-tanya siapa gerangan pria yang Alin tarik-tarik bak domba itu. Apa pria itu kekasih Alin? Kepala Ilham menggeleng. Alin tentu tidak akan mencari cinta yang lain selain dirinya.
Atau, pria itu boss Alin? Tidak mungkin. Tidak mungkin seorang atasan mau-maunya di tarik-tarik begitu saja oleh karyawannya sendiri. Ya. Lalu siapa dia?
Tunggu dulu, kenapa dirinya jadi sepenasaran ini pada kehidupan Alin? Kemana perginya rasa tak peduli terhadap Alin? Sekali lagi Ilham menggeleng dan mulai menghilangkan rasa penasarannya terhadap Alin.
Berdiri terdiam selama beberapa detik membuat Alin kini tersadar. Ia harus memantau pembicaraan Rivaldo dengan Ayah. Cepat kilat Alin berlari memutari rumahnya untuk masuk lewat pintu dapur.
Tiba di dapur, dilihatnya sang Mama tengah menata bolu untuk di hidangkan pada tamu.
"Mbak, tolong anterin minuman dong."
Alin berhenti dan berbalik badan. "Nggak mau!" Lantas kembali melanjutkan langkahnya.
Kini Alin berdiri di balik dinding dekat ruang tamu.
"Saya tau kesalahan anak saya. Dia benar-benar melakukan tindakan yang sangat ceroboh. Saya benar-benar minta maaf Valdo."
Rivaldo menggelengkan kepala. "Saya kesini bukan untuk membahas soal itu Om. Untuk yang itu semuanya sudah diatasi. Saya kesini justru mau minta maaf ke Alin."
"Minta maaf?"
"Iya. Tadi pagi saya memarahi Alin secara berlebihan sampai membuat dia menangis."
"Dia pantas mendapatkan itu, jadi kamu nggak perlu merasa bersalah. Juga untuk denda yang satu M."
"Saya nggak pernah memberi dia denda senilai satu M."
"Lhoh, katanya Alin di denda satu M. Mamanya yang bilang."
"Nggak Om."
Alin melototkan matanya kala mendengar jawaban Rivaldo.
"Ehmm.." seseorang tiba-tiba saja berdehem.
Alin menoleh ke belakang dan saat itu juga ia melihat Mamanya dengan tangan membawa nampan berisi dua cangkir teh manis dan sepiring bolu. Alin segera menempelkan jari telunjuknya di depan hidung dan memohon agar Mamanya tutup mulut.
Tanggapan Nawang hanya menggelengkan kepala dan berlalu melanjutkannya langkahnya.
"Jadi, apa tindakan yang akan kamu lakukan untuk Alin? Kamu berhak memecatnya." Suara Arsan kembali terdengar. Alin semakin menajamkan pendengarannya.
"Kalo di pecat kesenangan anak kita, Yah. Dia kan pengin banget keluar dari sana." Celetuk Nawang.
Dibalik dinding Alin memaki kuat-kuat pada sang Mama. Bisa-bisanya si Mama bilang begitu. Tak kuat mendengar suara-suara yang tengah membicarakannya, Alin menyerah dan berlari masuk ke kamar. Ia benci situasi seperti ini. Tak ada yang berpihak padanya. Kecuali Seesaw.
"Ya mau gimana lagi? Kalo dia kerja disana terus, aku takutnya kejadian ini terjadi lagi." Balas Arsan lalu menyeruput teh buatan istrinya.
"Nggak Om, saya nggak akan memecat Alin. Justru saya akan lebih memperhatikan kinerja Alin di kantor."
"Beruntung dia punya atasan kayak kamu."
Rivaldo menundukkan kepala dan mencipta seulas senyum. Oke, ia berhasil merebut hati Om Arsan.