Risma adalah sosok yang sangat pandai membujuk sehingga lawan bicaranya mau saja menuruti kehendaknya. Melalui pembicaraan yang cukup panjang, Hening akhirnya mau menikah dengan Devan, Risma pun langsung menghubungi beberapa pihak untuk mengurus keberangkatan Budi dan Lastri ke Singapore setelah pernikahan. Kedua adik Hening juga mendapatkan penjagaan di rumahnya di Bekasi.
***
Karen heran dengan sikap Devan yang tidak begitu antusias saat bercinta dengannya siang ini di dalam sebuah kamar hotel mewah yang lokasinya tidak jauh dari gedung kantor Devan.
“Ada apa, Dev? Kamu kayak sedang mikirin sesuatu,” ujar Karen bertanya, dia baru saja mengalami orga**e setelah Devan mengaduk organ intimnya dengan jari-jarinya. Devan melakukannya dengan ekspresi wajah datar, tampak memikirkan sesuatu.
Pandangan Devan tertunduk. “Nggak ada apa-apa,” jawabnya. Dia beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk dan mengikat ke pinggang, lalu pergi ke kamar mandi.
Karen memandang punggung Devan dengan pikiran bertanya-tanya. Dengan tubuh yang masih telanjang, dia mengekor Devan.
“Devan!” pekik Karen, menggedor pintu kamar mandi.
Devan membuka pintu kamar mandi dan memandang wajah penasaran Karen.
“Aku mau mandi bersama,” ujar Karen.
Devan menghela napas panjang. Dan dia membiarkan Karen masuk ke dalam kamar mandi.
Kini keduanya sudah berada di dalam kotak kaca, kedua tubuh mereka terguyur air hangat shower.
“Ada apa, Devan?” tanya Karen, sebab dia masih melihat wajah Devan yang tidak semangat.
“Aku akan menikah.”
“Ha?” Wajah Karen berbinar karena dia pikir Devan akan menikah dengannya. “Oh, akhirnya mamamu … menikah denganku?”
Devan menggeleng. “Menikah dengan anak pembantu.”
“Devan, kamu serius?”
Devan mengangguk.
Mendadak tenggorokan Karen tercekat. “Devan, kamu akan menikah dengan perempuan lain, hm … anak pembantu? Apa-apaan ini?!” Karen mendorong tubuh Devan geram.
“Hanya pernikahan bawah tangan, aku akan bercerai. Jangan khawatir, kita akan tetap bersama," bujuk Devan.
Karen menampar pipi kanan Devan.
“Atau aku akan kehilangan segalanya. Mamaku memaksa,” ujar Devan, menatap tajam wajah Karen yang penuh amarah. Sejak Karen bercerai beberapa tahun lalu, Devanlah yang membiayai kehidupan Karen dan anak tunggal perempuannya.
Karen sudah mengenal Devan sebagai “anak mama”, Devan selalu tidak berdaya jika dihadapkan mamanya.
“Kita masih beruntung, mama nggak pernah megusik hubungan kita,” ujar Devan, ingin Karen mengerti keadaannya.
Karen menggeleng tidak mengerti. “Arini?”
“Ya, dia terpaksa mengizinkan. Siapa yang sanggup menolak keinginan Risma Ambarwati.”
“Hm … siapa anak pembantu itu, Devan?”
“Namanya Hening. Mahasiswi Tata Boga kampus swasta murah,” decak Devan.
Karen yang melunak, mengambil sabun cair dan menggosokkannya ke punggung Devan dengan perlahan. Anak pembantu, gumamnya dalam hati, pasti jorok dan dekil. “Jadi kamu menikah dan bercerai.”
“Ya, hanya satu kali persetubuhan, setelahnya aku akan tetap bersamamu. Bagaimana?”
Karen menatap hangat wajah tampan Devan, dan dia tersenyum kecut, tidak yakin dengan kata-kata Devan.
Devan meraih dagu Karen dan berujar, “Hei, aku hanya singgah sebentar di sana, aku tidak akan mencurahkan perasaanku. Dia cukup tahu diri.”
Devan lalu mendekap pinggang Karen. “Kamu yang selalu terbaik luar dalam, nggak ada perempuan di dunia ini yang sanggup membuatku terkapar selain dirimu.” Devan lalu mengecup bibir Karen dan melumatnya penuh. Karen mendesah, menginginkan sentuhan Devan, tapi anggota tubuh bawah Devan tidak berdaya. Dia akhirnya pasrah menerima sentuhan serupa, yaitu dengan jari-jari panjang Devan.
Karen tidak tahu bahwa Devan tengah memikirkan pernikahannya dengan Hening, pernikahan yang tidak dia harapkan.
***
Budi awalnya tidak menyetujui putri sulungnya “dipaksa” menikah dengan Devan, anak majikan istrinya. Namun, Hening justru meyakinkan ayahnya bahwa dia akan baik-baik saja dan ingin ayahnya menerima tawaran Risma, menjalani pengobatan terbaik di Singapura. Hening menyinggung kedua adiknya yang masih kecil-kecil, juga dirinya yang juga membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari dan kembali kuliah berharap cita-citanya tercapai, yaitu menjadi chef terbaik di sebuah restoran ternama di Jakarta. Akhirnya Budi bersedia menjadi wali nikah Hening, setelah memastikan Hening yang tenang.
Meskipun pernikahan Hening dan Devan tidak resmi, acara ijab kabul di rumah Devan tetap berlangsung hikmad dan dihadiri beberapa anggota keluarga terdekat dan terpercaya. Risma tetap menjelaskan kepada keluarganya tentang pernikahan putranya yang kedua ini, yang tidak lain adalah untuk mendapatkan ahli waris yang jelas. Dan tidak ada yang menyalahkan niat Risma, sebaliknya mereka malah mendukung. Terlebih, mereka sudah mengenal Lastri, seorang asisten rumah tangga yang terpercaya dan setia pada keluarga besar Zainal Abidin, mendiang suami Risma.
Hening tampak sudah rapi dan cantik dengan riasan wajah tipisnya. Dia memang meminta dirias tipis saja dan tidak mau mencolok.
“Fokus, Hening. Kamu nggak usah terlalu banyak pikiran,” ujar Arini saat memperhatikan Hening yang sedang dirias. Dia tahu Hening sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi karena keadaan yang mendesak, dia menerimanya. Lagi pula, Risma bersedia “membayar” lebih kehidupan keluarganya.
“Ibu, saya … saya—“
“Hei, aku tahu kamu nggak menyukai keadaan ini.” Arini membelai pipi Hening yang menghangat karena gugup. Hening juga merasa tidak enak dengannya. Malam ini dia harus tidur dengan suami Arini.
“Bu—“
Ingin menenangkan perasaan Hening, Arini mendekap bahu Hening dan memeluknya, membiarkan Hening menangis sepuasnya. Satu hal, dia sebenarnya merasa sangat lega dengan pernikahan ini, setidaknya dendamnya kepada Karen akan terbalas. Wanita itu sejak dulu menganggap dirinya terbaik seolah Devan yang tidak akan bisa berpaling darinya sebagai cinta pertama dan cinta sejati Devan. Entahlah, Arini justru berharap Hening bisa menjadi sosok yang dia harapkan untuk mengalihkan perhatian Devan.
Semua mata tertuju ke Arini dan Hening yang berjalan bersama menuju meja pernikahan, kagum dengan sosok Arini yang tegar menghadapi kehidupan rumah tangganya yang rumit. Tampak Lastri dan Risma duduk berdampingan dengan ekspresi wajah yang bertolak belakang, Risma yang sumringah dan Lastri yang cemas.
Berulang kali Budi menenangkan diri saat menjabat tangan Devan, hingga akhirnya dia merelakan putrinya menikah.
***
Sebuah ruangan kosong di rumah besar Devan yang berada di lantai tiga sudah disulap menjadi sebuah kamar yang sangat nyaman untuk pasangan yang baru saja menikah. Kini Hening sudah berada di dalam kamar itu. Dia sudah mandi dan membersihkan wajahnya dari make up, sudah berpakaian rapi pula. Dia duduk di sofa, menunggu dengan cemas suaminya yang masih terlibat pembicaraan serius dengan mama mertuanya.
Tangan Hening yang berpangku terlihat bergetar. Dia tidak tahu apa-apa soal hubungan badan suami istri. Dia ingat pesan Risma dan Arini bahwa dia harus berpakaian lengkap saat melakukannya. Setelah selesai berhubungan di malam pertama, tidak ada lagi hubungan intim berdua, dan Hening langsung diungsikan ke sebuah rumah yang sudah disediakan Risma. Jika belum membuahkan hasil, Hening dan Devan harus berhubungan intim lagi. Hening berharap sentuhan pertamanya berhasil dan dia tidak menginginkan sentuhan lanjutan.
Pintu sudah dibuka dari luar tanpa diketuk, Hening terperangah melihat Devan yang masih berpakaian rapi. Devan masuk ke dalam kamar, melihat Hening sekilas dan bergegas ke dalam kamar mandi.
Jantung Hening berdetak sangat cepat, berharap malam ini berlalu dengan segera.
Hening menatap hampa hamparan kasur mewah dan luas, membayangkan tubuhnya ditindih Devan, dan entah kenapa dia sangat gugup sampai berkeringat dan pandangannya yang seolah kabur.
“Hening.”
Hening terkejut, Devan ternyata sudah berdiri di sampingnya, dan pakaian yang sudah bertukar, baju kaus oblong dan celana panjang.
“P … Pak.” Hening tampak berusaha tenang, tapi dalam hatinya luar biasa kalut.
“Aku nggak mau berlama-lama. Berbaringlah,” suruh Devan dengan wajah datarnya.
Hening cepat-cepat menuju tempat tidur dan merebahkan diri terlentang.
Devan tersenyum dalam hati melihat sikap gadis itu. Ini kali pertama dia berhadapan dengan perempuan yang benar-benar polos. Dia lalu menyusul Hening di atas tempat tidur dan duduk bersimpuh di depan Hening yang sudah pasrah terlentang.
Hening memejamkan matanya kuat-kuat dan kedua tangan mengepal, dan d**a yang berdebar-debar. Tak lama kemudian, dia merasakan jari-jari halus meraba-raba pahanya, mencapai dalamannya dan menariknya dari kedua kakinya.
Hening pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, bibirnya bergetar dan matanya yang masih terpejam kuat, tidak mau melihat apapun yang membuatnya mengingat kejadian malam ini.
“Relaks, Hening,” tegur Devan.
Bersambung