Risma memanggil Arini yang baru saja masuk ke dalam rumah setelah mengantar Devan ke mobil. Arini berbalik dan mendekati Risma, duduk dengan tatapan tertunduk.
Sambil mengaduk teh panasnya, Risma bertanya. “Ada apa, Rin. Kamu masih keberatan dengan pernikahan Devan dan Hening?”
Arini menggeleng, mengambil tisu dan melap pipi dan hidungnya yang berair. “Nggak, Ma. Bukan itu yang bikin aku kecewa. Aku kesal dengan Devan. Tadi pagi aku mendengar dia menghubungi Karen di dalam kamar mandi. Dia membujuk Karen, lalu dia bilang bahwa dia sangat mencintai Karen dan nggak bisa jauh darinya.”
Risma menghela napas berat, dan dia berhenti mengaduk. Ingin menenangkan diri, dia menyesap tehnya. “Devan memang sangat keterlaluan,” gumamnya.
“Aku nggak ngerti lagi, Ma. Tapi aku sangat berharap dan selalu berdoa, Devan menyadari kekeliruannya.”
Risma seolah kehabisan ancaman, merasa tidak berdaya melarang Devan berhubungan dengan Karen, karena Devan sudah mengikuti arahannya, menikah dengan Hening, dan dia yang tidak mau berlebihan.
Arini menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri dari emosi yang bercampur aduk. “Apa aku menyerah saja, Ma—“
“Jangan,” potong Risma cepat. “Jangan pernah kamu menyerah, Rin. Mama tahu kamu sangat mencintai Devan.”
“Ma. Saat ini bukan Devan lagi yang aku sesalkan, tapi Karen. Dia … dia semakin menjadi-jadi dan bebas. Aku membaca pesan-pesannya yang memaksa Devan untuk melakukan sesuatu untuknya. Dia yang mengejar-ngejar Devan, Ma.”
Risma mengusap-usap bahu Arini, memaklumi Arini yang sangat mencintai putranya, sampai menyalahkan Karen.
Arini menggeleng, “Aku … aku bingung. Ya, aku baru saja bilang menyerah, tapi … aku juga nggak sanggup membayangkan seandainya aku—“
“Ssst. Rin, sudah. Jangan menangis.”
Arini menatap nanar wajah mertuanya, mengingat Devan yang juga menyuruhnya untuk tidak menangisi keadaannya. “Karen … aku menghubunginya beberapa hari sebelum Devan menikah dan dia langsung bilang kepadaku bahwa Devan sedang sibuk. Lancang sekali dia, seenaknya menguasai suamiku.”
Risma mendekap bahu Arini dan mengusap-usapnya penuh rasa sayang. “Kita liat saja sejauh mana mereka bisa bertahan,” ucapnya menggeram.
***
Pagi-pagi Devan sudah mengadakan rapat di ruang kerjanya, memanggil semua petinggi perusahaan dan membicarakan hal-hal penting. Dia terlihat bersemangat, dan menerima dengan mudah usulan-usulan dari peserta rapat.
“Mungkin karena menikah lagi,” gumam seorang pria setelah rapat berakhir. Dia menilai semangat Devan pagi ini adalah karena baru saja menikah.
“Ha? Menikah lagi? Dengan selingkuhannya yang sering datang ke mari itu?” tanya pria lainnya yang duduk di sebelah pria yang bergumam.
“Aku nggak tahu dengan siapa. Aku juga baru tahu dari orang-orang yang bergosip di dapur.”
“Ah, gosip murahan. Berkali-kali aku mendengar isu Pak Devan menikah lagi, tapi nggak terbukti.”
“Tapi kali ini gosipnya gencar. Ada yang melihat selingkuhan pak Devan cemberut saat ke luar dari ruang kerja ini. Mungkin kesal karena isu itu."
Percakapan dua pria petinggi perusahaan itu terhenti karena Devan menghampiri, dia menyuruh keduanya nutuk menindaklanjuti hasil rapat barusan dan kedua pria itu mengangguk patuh.
Kedua pria itu ke luar dari ruang kerja Devan, berpas-pasan pula dengan seorang wanita cantik yang masuk ke dalam. Mereka saling pandang penuh makna, sampai pada akhirnya salah satunya menggerutu, “Ah, apa kubilang, isu saja itu. Selingkuhannya saja masih datang.”
Devan tersenyum kecil melihat Karen berjalan berlenggak lenggok ke mejanya.
“Hmmm.” Karen memeluk erat Devan dan melumat bibirnya penuh nafsu.
“Bentar, Karen,” tolak Devan pelan, sambil memperbaiki posisi duduknya.
Karen terkekeh sinis. “Baru saja menikah, sudah mulai berubah,” gerutunya.
“Hei, aku lelah sekali. Kemarin aku nggak beristirahat karena pernikahan itu dan semalam tentu aku sibuk.”
Karen berdecih, lalu mundur beberapa langkah dari kursi kerja Devan dan duduk di sofa dengan kaki menyilang.
Tak lama kemudian, Devan menerima telepon dari sekretarisnya. “Ya, kamu selesaikan laporan itu dan satu jam lagi kamu antar ke ruanganku,” ujar Devan melalui telepon.
“Satu jam, Devan? Mana cukup buatku,” gerutu Karen.
“Short time saja. Aku … kelelahan, Sayang.”
Karen ogah-ogahan berdiri dari duduknya, mendekati Devan.
“Biasanya kita melakukannya lebih dari dua jam. Satu jam? Yang benar saja.”
Devan tersenyum kecil, mendekap pinggang Karen. “Aku kelelahan,” ulang Devan. “Batin dan fisik,” keluhnya, meminta sebuah pengertian dari Karen.
“Oh ya?” delik Karen yang seolah tidak percaya.
“Iya, Karen. Aku … butuh dukunganmu. Aku lelah dengan semua ini,” ujar Devan, mengingat tangis Arini pagi ini.
“Oh, kasihannya.” Karen mendekap kepala Devan di dadanya yang kencang dan kenyal. Dia menepis bayang-bayang Devan yang menikah dan menghabiskan waktu semalam bersama istri keduanya.
Devan dengan perlahan berdiri dari duduknya, memegang kedua tangan Karen dan menariknya menuju sofa, mendorong Karen dengan kasar, lalu menindihnya dengan cepat. Dia menggeram, meremas rambut Karen dan menjambaknya.
“Akh,” erang Karen kesakitan, tapi setelahnya dia tertawa genit, membiarkan Devan melumat bibirnya sambil memegang kedua tangannya. “Tadi kamu bilang kamu lelah … tapi sepertinya, oh … haha,” tawa Karen, senang dengan sikap Devan yang selalu semangat menyambut kedatangannya. Devan selalu bisa memenuhi hasratnya.
Devan yang sesak, melepas sabuk celana dan menurunkannya, dan Karen dengan semangat melepas celana dalamnya.
Namun, tiba-tiba saja Devan menarik kembali celananya dan memakainya. Dia mundur dari tubuh Karen yang rebah mengangkang di atas sofa , melangkah menuju kursi kerjanya dan duduk dengan memangku tangan, tatapannya kosong ke hamparan meja.
“Hei, Devan. Ada apa?” tanya Karen, heran dengan sikap Devan yang tiba-tiba berubah.
Devan melirik Karen sekilas, menggeleng tanpa berkata-kata.
Karen mendekati Devan dan duduk di depannya. “Dev. Pagi tadi kamu bilang kamu nggak bisa jauh dariku, kamu bilang selamanya mencintaiku, tadi barusan apa? Kamu pikir aku nggak berkorban selama ini, ha? Mati-matian berkorban demi kamu. Aku mengorbankan namaku buruk demi kamu, demi memuaskan kamu.”
Devan menghela napas panjang, lalu menutup penuh wajahnya dengan kedua tangannya. “Kamu pulang saja, Karen. Kamu butuh uang berapa?”
“Buls**t! Kamu pikir selama ini aku bersamamu hanya butuh uang, ha? Aku mencintaimu, Dev.” Karen memburu Devan dan memeluknya.
“Hei, iya … aku … aku juga mencintaimu.”
“Kenapa gugup? Kamu selama ini nggak pernah gugup bilang cinta. Devan—“
Sambil menangis, Karen melumat bibir Devan, tapi Devan tidak bereaksi.
Karen berdecak kesal, mundur dari Devan dan pergi ke luar.
Devan menatap nanar pintu yang tertutup. Mengumpat dengan kasar dengan apa yang terjadi barusan, dan dia tidak berdaya.
Bersambung