Part 1

825 Words
Menjadi janda muda, di usia pernikahan yang baru tujuh bulan bukanlah hal mudah. Terlebih, belum adanya anak kadang membuat hati ini mudah berputus asa dan ingin rasanya pergi menyusulnya. Mas Farhan, suamiku yang meninggal pasca gagal operasi lambung. Aku memang tau, bahwa dia memiliki riwayat penyakit maagh sejak kami masih pacaran dulu. Tapi, tidak menyangka kondisinya semakin memburuk setelah lima bulan pernikahan kami. Dua bulan lamanya, dia berjuang melawan penyakitnya. Tapi, ternyata Allah berkehendak lain. Mas Farhan, harus berpulang saat itu. Dan kini aku, Meyriska Putri telah resmi menjanda selama dua tahun. Namun, hatiku masih tertutup untuk menerima cinta lagi. Bukan berarti aku tidak laku. Berkali-kali, orang tuaku kedatangan pria yang hendak berkenalan denganku, bahkan ada yang sampai langsung melamar. Namun, dengan berat hati harus ditolak orang tuaku. Karna mereka tau, aku masih belum mampu membuka hati ini untuk orang lain. Dan meski Mas Farhan telah tiada, aku tetap rutin berkunjung ke rumah orang tuanya. Karna bagiku, tidak ada yang namanya mantan mertua. Mertua bagiku sudah menjadi orang tuaku, oleh sebab itu selamanya mereka tetap menjadi orang tuaku. Hari ini aku libur bekerja, aku pun memutuskan untuk berkunjung ke rumah mertuaku. Setelah, tiga pekan ini aku libur menjenguk mereka. "Assalamu'alaikum," ucapku sedikit berteriak karna jarak pagar dengan rumah cukup jauh. "Wa'alaikumsalam," jawab Bik Marni dari depan pintu. Wanita paruh baya itu segera menghampiri untuk membukakan gerbang. "Ya Allah Non, kok ga bilang bilang sih kalo mau dateng," ucapnya sambil membuka pagar. "Sengaja Bik, mau buat kejutan." Aku pun langsung masuk ke dalam rumah seperti kebiasaanku.  Namun ada yang aneh, rumah terlihat sepi. Padahal biasanya, hari libur seperti ini rumah selalu ramai. "Bik, mamah sama yang lainnya kemana? Kok sepi?" tanyaku heran. "Loh, memang Non Mey ga tau kalo non Ratih kecelakaan pagi tadi?" Sungguh kaget dengan berita yang ku dengar ini. Mbak Ratih, istri dari mas Arslan, kakak sulung mas Farhan. Lututku langsung lemas mendengar berita ini. Aku sangat terpukul. Karna aku, memang sangat dekat dengan mbak Ratih. "Trus, gimana keadaan mbak Ratih, Bik?" "Saya, belum denger lagi Non kabarnya. Den Arslan cuma bilang, kalau non Ratih luka parah." "Dirawat di mana, Bik? Aku, mau kesana sekarang." Bik Marni pun, memberikan alamat rumah sakit padaku. Dan aku, langsung meluncur menuju rumah sakit setelah berpamitan pada Bik Marni. *** Dua puluh menit berkendara, akhirnya aku sampai di rumah sakit tujuan. Beruntung, hari ini aku memutuskan memakai motor maticku. Padahal biasanya, aku selalu menggunakan taksi online agar lebih santai di perjalanan. Menuju resepsionis, aku pun bertanya di mana letak ruang mbak Ratih dirawat. Setelah berjalan dengan cepat, aku pun sampai didepan ruang ICU. Terlihat, semua keluarga berkumpul di depannya. Langsung, kuhampiri mamah mertuaku dan memeluknya. "Mey, kok kamu bisa ada disini" mamah mengurai pelukanku. "Mey tadi ke rumah Mah, trus Bik Marni ngasih kabar kalau mbak Ratih kecelakaan. Kenapa Mamah, ga langsung ngabarin Mey?" "Mamah ga kepikiran Mey. Yang Mamah pikirin, cuma kondisi Ratih aja." Mamah terlihat begitu terpukul. Tak jauh dari tempat Mamah duduk, terlihat ibu Desi, ibu dari mbak Ratih. Bergegas, aku mendekati dan memeluknya juga. "Bu." Kuusap punggungnya yang bergetar. "Ibu belum siap kehilangan Ratih, Mey" bu Desi terisak. Lagi, kuusap punggungnya lembut agar bisa sedikit tenang. Aku belum berani bertanya banyak, karna kondisi belum tepat. Semua terlihat begitu sedih saat ini. Jadi aku lebih memilih diam. Mas Arslan datang menghampiri kami, dan meminta semuanya untuk pergi sarapan. Sepertinya mereka memang belum sarapan, karna kecelakaan terjadi di pagi hari saat jam sarapan. Mas Arslan pun, memintaku membujuk mereka semua agar mau sarapan. Setelah banyak bujuk dan rayu, akhirnya mereka setuju untuk sarapan secara bergantian. Mamah dan papah mertuaku sarapan terlebih dahulu. Sedang bu Desi dan suaminya, menemani mas Arslan menunggu mbak Ratih. *** "Subuh tadi, Ratih masih ceria dan tertawa bareng Mamah. Dia bilang, ga sabar nunggu anaknya lahir," ucap Mamah sambil tersenyum getir. Mbak Ratih memang sedang hamil saat ini, tepatnya berusia 38minggu. Hanya tinggal menunggu hari, untuk mereka menyambut kehadiran malaikat kecil dalam rumah tangga mereka. Namun nahas, kecelakaan itu terjadi pagi tadi. Ketika mas Arslan dan mbak Ratih melakukan kegiatan rutinnya di hari libur, berjalan keliling komplek. Mbak Ratih, yang tidak sabar menunggu mas Arslan yang sedang antri membeli sosis bakar, berniat menghampiri suaminya itu. Namun, tanpa diduga dari arah kanan motor melaju kencang. Dan, mbak Ratih yang berjalan di belakang mobil yang terparkirpun tak mengetahui jika ada motor melaju kencang. Hingga, mbak Ratih terserempet dan jatuh di trotoar. Beruntung, motor yang menabrak juga ikut terjatuh, hingga pelakunya bisa digiring ke kantor polisi. Usut punya usut, ternyata pemotor itu seorang jambret yang baru saja beraksi dan melarikan diri dari korban jambretnya. Ga heran, kalo laju motornya sangat cepat. Dering telepon menghentikan cerita mamah. Tak lama setelahnya, raut wajah mamah terlihat bahagia. "Cucu Mamah udah lahir Mey, alhamdulillah." Air mata, mengalir di pipi mamah. Aku pun, tak dapat menahan haru. Berkali kami mengucap hamdallah. Buru-buru kami membayar makanan kami, dan lekas kembali ke rumah sakit dengan perasaan bahagia yang membuncah. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD