Reason to Weapon 2

1032 Words
“Selamat siang, Miss Raicheal,” sahut Liam dan Ishana berbarengan. “Maaf ya kelamaan. Tadi saya sekalian makan siang dulu,” pinta Miss Raicheal seraya menaruh tasnya di atas meja. “So, udah siap?” tanya wanita itu. Ballade no. 4 in F Minor, Op. 52 played by Liam Parama and Ishana Balakosa. “Ishana, tangan kamu keseleo ya pas baris ke…” tegur Miss Raicheal. “Maaf, Miss,” pohon Ishana mengakui kesalahan yang tanpa sengaja habis ia lakukan. Again. “Liam, coba perhatian lagi langkah kamu saat…” ganti tegur wanita itu pada anak didiknya yang lain. “Maaf, Miss,” sahut Liam rendah hati sembari mengingat-ingat bagian apa yang baru saja salah tadi. Setelah percobaan beberapa kali dan penuh koreksi oleh Miss Raicheal. Sesi pematangan Ishana pun berakhir. “Ballade no. 4 ini adalah ballade paling sedih karya Choppin. Kalian harus memiankan ini sampai buat para penonton nangis semua. Ngerti?” nasihat Miss Raicheal berusaha serealistis mungkin. “Yes, Miss,” sahut kedua anak remaja itu. “Sekarang Ishana sudah boleh pulang. Liam, masih bisa lanjut? Tangan kamu nggak apa-apa?” tanya Miss Raicheal. “Tidak ada tiket ke Varsava kalau begini saja capek, Miss Raicheal,” senyum Liam. Membenarkan posisi kacamata yang ia kenakan. “Ohohoho, saya suka semangat kamu,” puji Miss Raicheal. “Saya pulang dulu, Miss. Assalamualaikum,” salam Ishana. “Wa’alaikumusalam,” balas Miss Raicheal. “OOOHH, istrinya nggak disalamin, ya?” tanya Liam beraut cemberut. PLTAK. Ishana langsung mengkatapel kepala Liam dengan sebutir permen Fox. “Makan, tuh!” “Astaga, Liam, kamu nggak apa-apa?” tanya Miss Raicheal khawatir. “Hehe, sudah biasa, Miss Raicheal,” sahut Liam santai seperti di pantai. Kembali ke pelajaran. “Ulang dari baris ketiga!” pinta Miss Raicheal. “Iya, Miss,” sahut Liam. Setelah satu jam latihan mengulang-ulang lagu yang sama. Miss Raicheal menurunkan kecepatan instruksinya dan membiarkan Liam sedikit bersantai. “Apa Miss Raicheal ini laki-laki?” tanya Liam. Masih melemaskan jari-jarinya di atas tuts piano. “Hahaha, kenapa kamu tanya seperti itu?” tanya Miss Raicheal balik. “Habis… saya merasa nyaman di dekat Miss Raicheal,” jawab Liam tetap bermain piano dalam tempo yang lebih lambat. Dengdengdeng. Tak memandang gadis berpakaian nude yang memunggunginya. “Apa hanya laki-laki yang bisa buat kamu merasa nyaman?” tanya Miss Raicheal. Liam berhenti bermain piano. Memandang ke sudut ruang musik klasik. “Sejauh ini sih sebenarnya begitu,” jawabnya. “Kamu sudah bicarakan ini dengan orang tua atau guru bimbingan konseling?” tanya Miss Raicheal. “Tidak akan ada gunanya,” jawab Liam. Tiba-tiba Miss Raicheal memeluk punggung Liam mesra. Di dekatkan bibir mungilnya ke daun telinga anak didiknya. “Apa hanya saya yang bisa kamu percaya untuk mengatakan soal ini semua?” tanyanya. DENG. “Benar.” “Orang tua kamu ke mana?” tanya Miss Raicheal. “Hmm… mereka tinggal di Jepang. Ayah saya sedang sakit saat ini. Dia adalah seorang pemilik sebuah usaha percetakan kecil di pinggir kota Tokyo. Walau kecil… sedang ada beberapa konflik di tempat usahanya. Sementara itu ibu saya seorang jeweler atau ahli perhiasan. Toko yang ia kelola ada di daerah Ginza. Cukup sukses sebenarnya. Lalu…,” jawab Liam. Melanjutkan ucapannya dengan menceritakan lebih banyak hal tentang kedua orang tuanya. “Saya suka batu permata. Opal. Jade. Ruby. Sapphire. Saya suka batu permata yang punya warna. Bisa kamu tunjukkan katalog atau rekomendasinya?” tanya Miss Raicheal. “Saya tidak terlalu ahli dalam pengetahuan soal dunia permata. Tapi, jika Miss Raicheal mau. Saya bisa menghubungi salah satu orang yang paling ibu saya percaya,” tawar Liam. “Saya percaya kalau itu akan sangat membantu. Lalu, bagaimana dengan ayah kamu?” tanya Miss Raicheal. “Dia hanya orang biasa sebenarnya. Seandainya tak ada masalah runyam itu,” jawab Liam. “Masalah apa?” tanya Miss Raicheal. Liam menjawab, “Masalah…” “Saya harap kamu tau kamu sekarang bisa mengatakan apa pun pada saya. Demi kebaikan kamu sendiri,” potong Miss Raicheal. “Saya sudah tau sejak awal. Terima kasih banyak, Miss,” balas Liam. Bagai terhipotis oleh aura dan kharisma instruktur muda itu. Miss Raicheal melanjutkan, “Itu kalau saya orang baik.” Reflek ia tolehkan wajahnya. Menatap dagu Miss Raicheal yang bertengger di pundaknya. “Maksud Anda?” tanya Liam. “Kelihatannya orang tua kamu punya kedudukan yang cukup penting. Bisa berabe lho sampai saya ternyata berdiri di pihak oposisi bisnis mereka. Sebaiknya kamu lebih berhati-hati dengan mulut dan orang-orang di sekitarmu,” nasihat Miss Raicheal. “Wuw, sebegitunya… kah?” tanya Liam dengan tatapan menggoda. “Seperti itulah,” sahut Miss Raicheal. “Miss Raicheal ini sebenarnya siapa?” tanya Liam. Sudah ia rasakan sejak pertemuan pertama mereka. Aura pemikat wanita muda ini terasa sedikit berbeda. “Kenapa mengatakan hal seperti itu pada saya? Seharusnya…” Miss Raicheal tersenyum dikulum. “Karena kamu sudah mengatakan banyak hal. Akan saya katakan juga beberapa hal soal diri saya sendiri.” “Sebenarnya Anda tidak harus melakukan itu,” balas Liam. “Orang tua saya adalah dua jenius s*****a biologi yang terpaksa pergi dari negara ini. Karena norma dan tradisi. Ah, tentunya juga karena orang-orang yang korupsi. Mereka lalu pergi ke planet gagak putih lewat suatu negara dingin di Eropa Utara,” cerita Miss Raicheal penuh metafora. “Apa Anda menjadi penduduk planet gagak putih?” tanya Liam. “Seharusnya begitu. Saya sempat masuk ke sekolah intelejen. Jadi calon mata-mata sipil. Meski akhirnya membelot, sih,” jawab Miss Raicheal. “Kenapa?” tanya Liam. “Saya tidak suka dingin. Saya juga tidak suka tidak punya sesuatu yang bisa disembah,” jawab Miss Raicheal. “Apa yang barusan saya dengar bisa saya manfaatkan. Untuk melakukan sesuatu yang akan merugikan Anda?” tanya Liam. “No. Saya tidak akan melakukan sesuatu yang punya kemungkinan merugikan saya,” jawab Miss Raicheal. “Ha-ha. Saya harap saya punya informasi yang akan membuat Anda jatuh cinta pada saya,” balas Liam tak gunakan nada bercanda. Miss Raicheal turut berkata, “Sayang sekali, Liam. Saya punya prinsip untuk tak akan memberikan sesuatu. Yang bisa digunakan untuk menghancurkan saya.” “Sepertinya ini kenapa… saya merasa sangat nyaman berada di sisi Anda,” komentar Liam selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD