Pagi itu rumah Frans terasa tegang. Celine sudah bangun sejak subuh. Ia duduk di kursi ruang makan, menunggu, menanti janji yang keluar dari mulut suaminya semalam. Matanya sembab, namun sorotnya tajam. Hari itu ia tidak ingin ada lagi alasan. Frans harus menepati janjinya, kalau tidak, semua usahanya untuk percaya akan sia-sia. Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Frans muncul dengan sebuah nampan berisi tiga piring sarapan sederhana—roti panggang, telur mata sapi, dan segelas s**u hangat. Namun alih-alih meletakkan sarapan itu di hadapan Celine, Frans justru berjalan lurus menuju kamar tamu. Celine tertegun beberapa detik, lalu matanya membelalak. Ia berdiri dengan cepat, kursi bergeser keras menabrak lantai. “Frans!” suaranya pecah, menggema di seluruh ruangan. Frans terhenti seje