When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Lia Dingin. Itulah yang dari tadi kurasakan begitu menginjakkan kaki di atap rumah sakit tanpa alas. Meski di sini sukses membuat badanku menggigil, tapi setidaknya, di sini aku bisa menangis sepuasnya tanpa khawatir ada orang lain yang melihat. Setidaknya juga, di sini tidak akan ada orang lain yang melihatku dengan penuh rasa kasihan. Aku benci dikasihani karena aku benci terlihat rapuh. Aku mendongak, menatap langit di atas sana yang malam ini tampak indah karena terdapat banyak bintang, juga bulan yang terlihat begitu bulat dan terang menyala. Aku beringsut ke kiri untuk mengambil potongan kardus yang tergeletak tidak jauh dariku, lalu kugunakan sebagai alas duduk. Air mataku kembali menetes, meski tidak sederas beberapa saat ya