"Aku tidak percaya kalau hati Richard sekeras itu. Aku yakin kalau suatu saat nanti, Richard pasti akan jatuh cinta padaku dan meninggalkan Sarah, waktuku hanya tinggal sebulan lagi untuk mengambil hatinya. Aku pasti bisa!" monolog Queen saat dia berada di kamarnya.
Queen duduk di depan cermin, matanya menatap bayangannya dengan tekad yang bulat. Ia telah mencoba segala cara untuk memenangkan hati Richard, namun semua usahanya selalu gagal. Kali ini, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar, lebih berarti, dan berharap ini dapat meluluhkan hati suaminya.
Queen merencanakan sebuah malam istimewa yang diakhiri dengan malam panas. Queen berharap momen yang penuh kasih dan kehangatan ini bisa mengubah segalanya. Ia mulai dengan memesan restoran mewah di sebuah hotel berbintang untuk makan malam romantis dan menyiapkan hadiah yang unik dan menarik.
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Queen mengenakan gaun elegan tapi juga seksi yang membuat lelaki manapun yang melihatnya, pasti tidak akan sanggup menolak pesonanya.
Dengan bantuan staf, ia memastikan semua detail di restoran sudah sempurna. Meja dihiasi dengan bunga mawar merah, lilin-lilin yang memberikan cahaya lembut, dan musik klasik yang mengalun pelan.
"Kenapa gue jadi dag dig dug gini ya?" lirih Queen sambil memegang tangannya yang dingin.
Queen merasa gugup. Jauh di lubuk hatinya, dia yakin, usahanya kali ini akan berhasil. Ia tiba lebih awal di restoran untuk memastikan segalanya berjalan lancar. Ia bahkan menyiapkan surat cinta yang mengungkapkan perasaannya selama ini, berharap kata-kata tulusnya bisa menyentuh hati Richard
Richard tiba tepat waktu, seperti biasa. Ia terlihat sedikit terkejut dengan suasana romantis yang telah disiapkan Queen. Lelaki itu juga sedikit tergoda dengan penampilan Queen yang mebuat juniornya langsung bangkit seketika. Namun, wajahnya tetap datar dan tak terbaca.
"Queen, ada apa dengan semua ini?" tanya Richard, suaranya penuh hasrat. Sebisa mungkin, dia menahan junior sialannya yang tiba-tiba berdiri tanpa tahu situasi.
Queen tersenyum, berusaha menutupi kegugupannya. "Aku ingin kita memiliki malam yang istimewa, Richard. Malam ini, aku ingin berbagi kasih denganmu. Bisa dibilang, mungkin, ini adalah makan malam perpisahan kita, karena sebentar lagi kamu akan menikah bukan?"
Mereka duduk dan mulai makan malam. Queen mencoba menghidupkan suasana dengan berbicara tentang momen yang pernah mereka lalui bersama dan rencana masa depannya setelah dia berpisah dengan Richard. Namun, Richard tetap diam, hanya memberikan tanggapan singkat.
Setelah makan malam, Queen bangkit dan duduk di pangkuan Richard. Dia berharap, lelaki itu tergoda dan mau melakukannya. Dia lalu memberikan hadiah yang telah ia persiapkan—sebuah jam tangan yang diukir dengan inisial mereka dan tanggal pernikahan mereka.
"Bagaimana, kamu suka nggak hadiahnya?" tanya Queen sambil mengalungkan tangannya di leher
Berharap sang suami tersenyum, atau paling tidak memuji hadiah darinya. Namun yang terjadi, Richard hanya menerima hadiah itu dengan anggukan singkat, tetapi tidak menunjukkan banyak emosi dan menaruh kotak itu di meja.
Queen yang kesal pun menarik dagu suaminya. Dia lalu mencium bibir tipis sang suami. Richard yang sedari tadi memang sudah berhasrat menyambut ciuman sang istri. Ciuman panas pun terjadi. Saat Queen akan menarik kepalanya, Richard menahannya dia seolah tak rela ini cepat berakhir.
Richard baru melepaskan istrinya saat wanita itu kehabisan nafas. "Ohh iya, aku punya satu hadiah lagi untukmu," ucap Queen setelah menormalkan debaran jantungnya. Namun, Richard sudah terlanjur onfire, lelaki itu tidak peduli dengan hadiah qpapun lagi. Dia menggendong tubuh Queen layaknya karung beras kemudian membawanya ke hotel yang masih menjadi satu dengan restoran itu.
Lelaki itu pun melemparkan tubuh Queen di atas ranjang. Lelaki itu melakukannya tanpa peduli dengan penolakan Queen.
"Richard, jangan begini! Kumohon!"
Namun lelaki itu tidak menghiraukan teriakan sang istri. Yang dia inginkan adalah hasratnya terpenuhi. Tak cukup sekali Richard melakukannya, malam itu, lelaki itu begitu beringas. Seolah dia benar-benar menginginkan Queen dalam hidupnya.
Senyum tipis terbit di bibir Queen ketika mereka selesai dengan kegiatan panasnya. Dia berharap, setelah melakukan malam penuh gairah bersamanya, Richard akan berubah pikiran. Namun, ternyata dia salah. Lelaki itu hendak pergi dan meninggalkannya sendiri sesaat setelah dia melampiaskan hasratnya.
Queen kecewa, dia merasa diperlakukan seperti wanita malam oleh Richard. "Kamu tidak bisa melakukan ini, Richard! Kamu tidak boleh meninggalkanku setelah kita menghabiskan malam bersama," cegah Queen sambil mencekal lengan sang suami.
"Apa lagi yang kamu harapkan Queen? Hubungan kita memang hanya sebatas ini!" tekannya dengan nada dingin.
Queen merasa hatinya mulai hancur melihat respons dingin Richard. Dengan suara bergetar, ia mencoba satu kali lagi. "Richard, please! Aku mencintaimu. Aku ingin kamu sedikit membuka hatimu untukku. Setidaknya sampai bayi ini lahir. Demi kita dan juga bayi kita."
Richard menghela napas panjang, menatap Queen dengan mata dingin. "Queen, aku menghargai usahamu. Tetapi, perasaan tidak bisa dipaksakan. Pernikahan kita sudah berakhir. Tidak ada yang bisa mengubah itu."
Queen merasa dunianya runtuh. Ia telah mengeluarkan semua yang ia miliki dalam usaha terakhir ini, tetapi tetap gagal. Air mata mulai mengalir di pipinya saat Richard berdiri dan meninggalkannya sendirian di kamar mewah yang kini terasa sangat sepi.
"Kamu tega banget Richard! Tidak adakah sedikit rasa untukku di hatimu? Meskipun, itu hanya sebatas rasa kasihan!" lirihnya.
Setelah Richard pergi, Queen duduk diam untuk beberapa saat, merenungkan semua yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa semua usahanya selama ini, betapa pun tulus dan besar, tidak akan pernah bisa mengubah perasaan Richard. Dengan hati yang hancur, ia tahu bahwa ia harus menerima kenyataan pahit ini.
Queen masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya. Untung Richard tidak merobek gaunnya, sehingga ia bisa memakainya kembali. Dengan langkah gontai, Queen meninggalkan kamar yang menjadi saksi pergulatan panasnya dengan Richard tadi. Malam yang seharusnya penuh romansa, pada kenyataannya, hanya keputusasaan dan kesedihan yang dia rasakan.
Queen menekankan pada dirinya, bahwa ini adalah akhir dari usahanya untuk memenangkan hati Richard. Setelah ini, dia harus mulai berpikir tentang langkah berikutnya dalam hidupnya, meskipun itu berarti melanjutkan tanpa pria yang sangat ia cintai.
Queen mengambil gawai dari dalam tasnya. Malam ini, dia sedikit takut pulang sendirian. Wanita itu pun menghubungi sang sahabat.
'Loe dimana?" tanya Queen saat wanita itu mengubungi Alex.
"Di jalan, kenapa emang?" Alex balik bertanya.
"Jemput gue dong! Gue lagi di jalan X," pinta Quen dengan suara menahan tangis.
Tanpa menunggu jawaban sang sahabat, wanita itu pun mematikan panggilannya. Dia duduk di lobby hotel dan menangis di sana. Wanita hamil itu ingin meluapkan kesedihannya sebelum sang sahabat datang.
Queen segera menghapus air matanya saat melihat mobil sang sahabat telah memasuki parkiran. Queen langsung berdiri dan mendekat ke arah mobil Alex. Begitu mobil itu berhenti, Queen langsung masuk ke dalam.
"Queen, Loe ngapain sendirian di hotel itu?"
"Loe ditinggalin ama Richard?" tebak Alex.
Queen tak sanggup menjawab. Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya. Alex langsung mengusap rambut Queen kemudian menariknya supaya bersandar di bahunya. Tak lama, terdengar tangisan lirih Queen yang membuat hati Alex merasa pilu.
"Queen, stop crying. You know, a man like him doesn't deserve your tears." Alex mencoba memotivasi sahabatnya.
"I know, but ... hiks, hiks," Queen kembali menangis.
Wanita itu hanya ingin melampiaskan emosinya. Alex pun membiarkan sahabatnya itu mengeluarkan semua gundah di hatinya. Dia berharap, dengan menangis, wanita itu bisa sedikit lebih tenang.
Setelah puas menangis, Queen pun menarik dirinya. "Alex, Loe ada cara nggak, gimana supaya pernikahan Richard itu tidak terjadi, meskipun, gue dan Richard bercerai?"