Prolog
Aku duduk tersenyum memandangi hasil masakanku. Hari ini adalah hari spesialku namun tidak ada satupun yang mengingatnya. Aku mengangkat bahu. Tidak apa-apa. Sudah tua. Aku tidak mungkin merajuk. Lalu terdengar suara pintu rumah terbuka dan tertutup. Orang yang kutunggu sudah pulang rupanya.
Aku menyisir rambutku yang sudah mulai menipis dengan perlahan. Aku paham, aku tidak akan bisa kembali cantik lagi namun aku yakin, dia tidak akan pernah berpaling dariku. Kutata piring dan gelas dengan cepat. Aku tadi memintanya untuk segera pulang. Aku ingin makan berdua dengannya, sebelum yang lain datang besok ke rumah dengan membawa pasukan berkaki mungil yang berisik, akan tetapi begitu sangat kurindukan.
Suara deheman membuatku mendongak. Mataku berkedip menatap pria yang ada di hadapanku. Dua orang pria yang kuyakin tidak akan pernah akur itu berdiri seraya tersenyum padaku. Aku tahu, ini adalah hal yang sangat sulit kupercaya karena salah satu satu dari mereka begitu sangat membenci. Di tangan salah satu dari mereka terdapat sebuah kue dengan lilin kecil di atasnya.
“Selamat ulang tahun.” Ucap mereka berdua.
Mereka berdua menatapku. Menungguku untuk mengatakan sesuatu. Aku hanya bisa terdiam karena aku terkejut. Aku tidak menyangka mereka memberikan kejutan yang begitu manis menurutku.
Lilin itu tidak berangka. Lilin kecil biasa. Aku memang paling benci mengingat usiaku. Aku tidak suka mengingat bahwa usiaku terpaut jauh dari salah satu dari mereka dan terpaut lebih tua sedikit dari salah satu dari mereka pula.
“Semoga semakin bertambahnya usia, semakin bertambah pula keberkahan dan kebahagiaanmu.” Ucap salah satu dari mereka.
Senyum dia begitu tulus. Tidak ada yang namanya permusuhan atau kekecewaan terhadapku atau terhadap pilihanku yang kuyakini begitu menyiksanya.
“Harapanku dihari ulang tahunmu hanya ingin kebahagiaan mengelilingi tiap nafas dan langkahmu.” Balas salah satu yang lain.
Tatapan mata itu selalu menghipnotisku. Dengan dia pula kekecewaan dan penderitaan pernah kulalui. Dengan dia pula aku merasakan yang namanya jatuh cinta. Ah, bukan hanya dengan dia tetapi dengan yang satunya pula.
Kututup mataku lalu berdoa. Doa kecil yang kupanjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa semoga kami selalu dalam lindunganNya. Semoga tidak ada lagi air mata yang mengarungi langkah hidup kami. Semoga mereka berdua selalu ada untukku.
Aku pernah mengingat jelas bahwa mencintai dan dikhianati adalah hal wajar bagi setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini. Tetapi nyatanya aku pernah belum siap menerima hal itu. Berusaha mencintai orang yang tidak kucintai adalah hal yang sangat sulit. Apalagi pria tersebut sudah sah di mata hukum dan juga di mata Tuhan karena ikatan suci.
Satu yang kuharapkan, kisah cintaku berakhir seperti negeri dongeng. Namun itu tidak terjadi. Pengkhianatan itu terjadi dalam hidupku. Dua kali.
Kemudian, pikiranku terserap pada masa sebelum ini. Masa yang jauh ke belakang.
***