Langkah Pertama Sheilla Mencari Bella.

1567 Words
Menuruni anak tangga sebab lift rumah sepertinya sedang ada yang memakai. Sheilla melongok ke bawah, lumayan juga turun dua lantai, hampir seperti naik ke ruangan kelas di Universitas—tempat dia menimba ilmu. Belum di sana, tenaga Sheilla sudah lumayan terkuras. Anak tangga terakhir. Sheilla tertegun sejenak sembari menetralkan irama jantung dan tarikan napasnya. Rumah sebesar ini sepi sekali, batinnya. Hanya ada lalu-lalang asisten rumah yang sedang bersih-bersih. Sementara si pemilik entah ada di mana. Dhara, keponakan Narendra, putri semata wayang kakaknya—Dina Hasan—berlari ke arah Sheilla. Memeluk tante baru, gadis kecil itu mendongakkan kepala. Sheilla tersenyum menyambut. "Si cantik, kenapa lari?" "Aduh ... Dhara jangan kabur-kabur lagi, bunda capek, nih. Ayo cepet sini ... mandi." Terdengar suara Dina memanggil-manggil putrinya. Sheilla tersenyum, mengerti kenapa keponakan Narendra itu berlari. "Owh ... jadi ... lari sebab gak mau mandi, nih?” Sheilla berjongkok di hadapan Dhara. “Heum, pantesan ada yang bau!" serunya menggoda gadis berambut kriwil tersebut. Dhara menyengir kemudian memutar arah bersembunyi di balik punggung Sheilla begitu melihat sang bunda mendekat. “Aduh, Ara. Jangan peluk-peluk tantenya seperti itu, lho. Kamu belum mandi, nanti baunya nempel.” “Apa, sih, Bunda. Ara gak bau, ya.” Dhara semakin erat memeluk leher Sheilla. Kepala gadis itu melongok dari samping. “Gak bau gimana?! Itu kamu masih ada iler, tuh.” Dhara mencebik sementara Sheilla yang dipeluknya terkekeh. Masih posisi jongkok, Sheilla lantas berdiri membawa serta gadis 5 tahun itu dalam gendongan. “Dhara anak cantik, kan? Mandi dulu, ya, Sayang,” bujuknya. Dina sudah meminta Dhara turun, tapi anak itu malah semakin erat memeluk leher Sheilla. “Turunin, Shei. Dhara … walau kecil, dia berat juga, lho, gendong lama-lama.” “Gak apa-apa, Mbak. Dhara gak berat, kok.” Dina melihat Sheilla sama sekali tidak keberatan meski Dhara terus saja menempel. Padahal, Sheilla baru kemarin datang. Rupanya, istri Narendra itu sudah pandai mengambil hati putrinya. Dhara juga, anak itu jarang sekali bisa akrab secepat ini dengan orang lain. Bahkan dengan tunangan atau mantan-mantan Narendra sebelumnya, Dhara tidak pernah sedekat seperti pada Sheilla. “Tuh, gak apa-apa kata Tante Sheilla-nya juga, wle.” Dhara menjulurkan lidah ke arah Dina. “Tante mau ke mana?” Beralih lagi pada Sheilla, bocah itu melempar tanya sambil memainkan ujung rambut Sheilla. “Kuliah, dong, Sayang,” jawab Sheilla. “Tante masih kuliah?” Sheilla mengangguk sebagai respon dari pertanyaan berikutnya. “Bukannya tante sudah menikah sama om Narendra, ya?” Dhara gadis kecil yang pintar terlepas dari cara bicaranya yang masih cadel. Sheilla menurunkan keponakan suaminya itu dari gendongan. Lumayan pegal juga punggungnya, padahal hanya sebentar. Sheilla mengambil kembali beberapa buku yang sebelumnya dia letakkan di anak tangga terakhir—saat Dhara menghampiri. “Tante, kan, masih belum lulus kuliahnya, Ara Sayang.” Sheilla mengusap kepala Dhara seraya mengukir senyum. “Lulus itu apa?” tanya Dhara polos. “Hei … banyak tanya ini anak.” Dina menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan putri semata wayangnya yang mulai cerewet itu. “Mandi dulu, yuk! Nanti bunda jelaskan apa itu lulus kuliah. Lagi pula, memangnya Dhara tau kuliah itu apa?” “Enggak.” Dhara menggeleng sambil memperlihatkan deretan gigi kecilnya yang rapi dan putih bersih. “Tuh, kan!” Dina berdecak. “Kamu mau berangkat sekarang, Shei?” Kemudian beralih pada adik iparnya yang tengah tertawa kecil. “Eh ... iya, Mbak. Sheilla ada kelas pagi.” “Sepagi ini?” Sheilla mengangguk. “Ada yang mau aku ambil dulu, sih, di rumah.” Sementara itu, Dhara yang sudah setuju untuk mandi dijemput bibi pengasuhnya. “Mandi yang bersih, ya, Nak,” ucap Dina sambil melambai-lambai tangan ke arah sang putri. “Aku langsung berangkat aja, ya, Mbak. Om sama Tante … maksud aku, Mama sama Papa masih belum keluar, ya? Aku titip salam aja. Bye, Mbak Dina!” “Eh … berangkat pakai apa?” “Ojol, Mbak.” “Sopir, kan, ada.” Dina mengekor hingga ke pintu utama.” "Sheilla udah order. Dan ... ini kayaknya udah nunggu di depan." Sheilla melihat layar gawai yang dia keluarkan dari dalam saku celana jeans-nya. Tepat ketika Sheilla meninggalkan rumah, Narendra turun ke lantai satu bersama asisten pribadinya yang datang menggunakan lift. "Tuan, apa saya juga harus berangkat sekarang?" tanya sang aspri. "Iya. Jangan lupa apa yang kukatakan tadi di atas." "Baik, Tuan." Berlalu, asisten kepercayaan Narendra pergi mengikuti Sheilla sesuai perintah sang atasan. *** Benar saja, saat Sheilla muncul dari balik gerbang, ojol pesanannya sudah menunggu. Pengendara sampai heran melihatnya keluar dari rumah gedong. "Ini ... betul dengan Mbak Sheilla?" tanyanya. Helm tak segera dia angsurkan karena ragu. Sheilla tertawa kecil. "Ya, beneran, dong. Nih, lihat!" Dia menunjukkan layar ponselnya berada dalam aplikasi hijau. Titik pemesanan sudah tepat di tempat keduanya berada saat ini. "Aneh saja. Apa baru saya yang dapat orderan dari rumah semegah ini?" Abang ojol memandang takjub ke arah rumah. Lagi, Sheilla tertawa. "Ayo, berangkat!" Pengendara ojol segera menstater motor matic-nya begitu Sheilla duduk di belakang. "Kita ke titik pertama dulu, ya, Bang ojol. Nanti dari sana saya order ulang, lanjut ke kampus," imbuh Sheilla, Bang ojolnya lantas mengangguk. Motor bergerak keluar dari area perumahan menuju jalan raya. Keadaan cukup ramai meski tak sampai macet. Sheilla dan kendaraan yang ditungganginya hanya butuh kurang dari satu jam untuk sampai ke rumah Wira. Dia turun dan meminta ojol menunggunya. "Nanti saya lebihin ongkosnya kalo mau nunggu." Sheilla tersenyum seraya membayar biaya transportasinya. "Iya, Mbak. Gak lama, kan?" "Enggak, kok." Kembali, Bang ojol bengong melihat Sheilla memasuki rumah besar. Meski tak semegah rumah yang sebelumnya tetap saja itu bikin heran. Pemilik hunian seperti di hadapannya itu, biasanya kalau ke mana-mana pasti naik mobil lengkap dengan sopirnya sekalian. Beberapa menit kemudian, Sheilla sudah keluar lagi. Niatnya memang hanya ingin mengambil buku yang tertinggal di kamar Bella. Terakhir sebelum peristiwa pernikahan terjadi, malam harinya Sheilla masih menemani Bella sambil mengerjakan tugas kuliah. Sheilla hanya bertemu dan menyapa seperlunya pada Wira dan Alma. “Bang ojol, saya udah order ulang.” “I-iya, Mbak. Ini saya sudah terima.” Ojol mengangsurkan lagi helm untuk dipakai Sheilla. “Mbak gak malu, ya, naik ojol?” “Kenapa? Kenapa musti malu?” “Rumah Mbak-nya besar-besar.” Komentar pengendara ojol tersebut saat motor sudah kembali ke jalan raya. “Itu bukan rumah saya, Bang.” Sheilla menjawab sekenanya tanpa menjelaskan lebih detail. *** Sesampainya di pelataran Universitas, sudah ada yang menunggu Sheilla. Gadis itu melambaikan tangan. “Ini helm-nya. Ini ongkos serta lebihannya yang saya janjikan tadi. Terima kasih, ya, Bang.” “Sama-sama, Mbak.” Sheilla menyapa Jefri lebih dulu. “Masih marah?” “Kamu pikir apa? Aku harus gak marah saat lihat kamu nikah sama orang lain, gitu?” “Ya … maaf.” Sheilla menggigit bibir. Ribuan kali dijelaskan pun statusnya kini memang sudah jadi istri orang. “Coba kamu gak telat datangnya.” Jefri tersenyum miring. “Kalaupun aku gak telat. Memangnya kamu bisa nolak permintaan om sama tante kamu itu?” “Eum … nggak juga.” Jefri memutar bola mata. Sudah bisa dia duga jawaban Sheilla pasti seperti itu. Mana mungkin Sheilla berani membantah om serta tantenya. Setahu Jefri, kekasihnya itu gadis yang penurut, tak ubahnya seperti boneka. “Tunggu!” Sheilla menahan lengan Jefri ketika pemuda itu hampir berlalu. “Aku tau, aku salah. Pernikahan ini hanya sampai Kak Bella ditemuin, kok. Setelah itu … aku bakal minta pisah.” Jefri menatap Sheilla cukup lama seolah meragukan ucapan gadis di hadapannya itu. “Serius. Aku, tuh, lagi curiga kalau sebenarnya ….” “Sebenarnya apa?” “Kamu masih mau kita sama-sama, kan? Mau bantu aku gak?” tanya Sheilla tanpa menjelaskan ucapan dia sebelumnya yang masih menggantung. “Bantu … apa?” “Cari Kak Bella.” “Maksudnya? Cari gimana? Bukannya dia pergi sendiri, ya, gak mau nikah sama Narendra yang sekarang udah gak bisa jalan itu.” Sheilla menempelkan telunjuk di bibir. Tidak sedang berada di lingkungan keluarga Narendra, tapi tetap saja dia merasa harus waspada. “Sini, deh,” ajaknya pada Jefri. Menarik tangan pemuda itu ke tempat yang lebih sepi. “Justru itu, Kak Naren mencurigakan banget tau, gak? Aku curiga dia sebenarnya tau di mana Kak Bella. Apalagi, pas setelah akad aku dengar dia ngomong di telepon. Dia bilang, ‘sesuai rencana dan tepat sasaran’. Itu maksudnya apa coba?” “Dia sengaja ngejebak kamu gitu?” Sheilla mengangguk meski belum sepenuhnya yakin. “Aku harus tau apa alasannya, dan apa pula untungnya buat dia?” Sheilla berdecak. Masuk perangkap Narendra adalah takdir terburuk dalam hidupnya. Well, dia kaya raya, punya segalanya. Tapi, buat apa jika Sheilla tidak pernah mencintainya. Lebih-lebih, Narendra itu calon suami Bella kakak sepupunya sendiri. “Kalau untungnya aku gak tau pasti. Tapi … alasan, mungkin dia sebenarnya sukanya sama kamu, bukan Bella.” Sheilla lantas tergelak mendengar ucapan Jefri. “Kamu, tuh … lawak banget. Ya, jelas lebih Kak Bella ke mana-mana, Jef.” Jefri mengusap tengkuk. “Tapi, kamu, tuh, manis. Sadar gak, sih,” gumamnya. “Aku udah ada rencana cari Kak Bella ke apartemennya. Tadi sebelum ke sini, aku mampir ke rumah buat ambil Access Card. Kamu mau gak temenin nanti sepulang dari kampus?” Jefri mengangguk sebagai jawaban. "Tapi, Sayang. Kalau Access card nya aja gak dibawa kakak kamu, apa mungkin dia ada di sana?" "Kalaupun gak ada, seenggaknya aku bisa cari petunjuk di sana," tukas Sheilla.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD