bc

RAINA (Masih Ada Esok)

book_age18+
1.0K
FOLLOW
12.7K
READ
goodgirl
drama
bxg
small town
realistic earth
abuse
betrayal
cheating
surrender
friends
like
intro-logo
Blurb

(Spin off Maybe I Love You)

Cerita sudah TAMAT

Raina makin histeris, menarik-narik rambutnya. Beberapa helai rambutnya putus.

“Duh, Gusti. Jangan, Non. Nanti rambutnya rontok semua.”

Bi Asih iba melihat itu. Beliau kasihan melihat Raina yang begitu depresi. Dicobanya menarik kedua tangan itu namun kekuatan wanita itu lebih besar, bahkan dia berhasil lepas dari pelukan bi Asih.

Raina berlari keluar kamarnya masih berteriak-teriak. Bi Asih mengejar, berusaha menangkap namun gagal.

“Non, ini bibi Asih. Non!” Bi Asih mengatur napasnya. Ketika Raina berhenti berlari, beliau dengan cepat menarik tangan kanan wanita itu. “Non, sudah.” Beliau tidak tahu lagi harus melakukan apa.

Raina menangis. “Mati. Saya mau mati.”

Ucapan itu membuat Bi Asih sedih.

“Jangan, Non.” Bisiknya, “nanti bibi sedih. Nanti mas Rizal juga sedih.”

===

Pernikahan hasil perjodohan antara Raina Shanika—wanita berusia 25 tahun dengan Aidil Halim, sang pengusaha berusia 30 tahun hancur berantakan dengan alasan tidak ada cinta. Raina mencoba bunuh diri namun digagalkan oleh pertolongan Rizal Setiawan—Pria berusia 28 tahun yang berprofesi sebagai petinju. Raina yang tidak kuat menahan cobaan bertubi-tubi terpaksa masuk rumah sakit jiwa.

Pertolongan Rizal pada Raina malah membuatnya seakan kembali pada masa lalunya yang buruk dan tidak menyenangkan.

Rizal yang memiliki hati pada Raina, memilih untuk melepaskan wanita itu. Kemalangan yang menimpanya membuatnya menarik diri dan takut gagal lagi.

Dua orang patah bertemu. Bagaimana hubungan mereka selanjutnya? Apakah Raina dapat melewati depresinya? Apakah Rizal dapat menerima kehadiran Raina?

Sampul cerita : instagram @lanamedia

chap-preview
Free preview
Bab 1 Tragedi
Raina menatap surat yang berada dalam genggamannya. jantungnya berdetak tidak karuan. Emosi melanda dirinya. Akhirnya inilah yang dia khawatirkan. Ternyata keputusannya selama ini salah. Seharusnya dia benar-benar mengikuti hati nuraninya, tetapi itu tidak dilakukannya. Raina mendongak menatap orang yang sudah membuatnya kacau selama empat tahun hidup bersama. Aidil Halim. Pria itu berdiri di hadapannya. “Kenapa?” bisik Raina, “apa salahku?” “Aku tidak mencintaimu, Raina. Itu alasannya.” Raina melempar surat gugatan cerai tersebut ke atas meja ruang tamu rumah orang tua Aidil. Matanya berkaca-kaca. Jika masih ada kedua mertuanya, Aidil pasti tidak akan melakukan itu. Mertua Raina meninggal setahun lalu. Awalnya ibu mertuanya meninggal karena kanker, lalu menyusul bapak mertuanya lima bulan setelah kepergian ibu mertua karena gagal ginjal. “Aku sudah serahkan semuanya, Aidil. Semua.”  Ucapan Raina dengan suara bergetar. Aidil menggeleng. “Kamu tidak bisa berikan aku anak, Kamu tahu itu! aku butuh anak!” Raina menatap nanar Aidil. Jadi semua ini karena kehadiran seorang anak? Apakah hal itu menjadi salahnya? Bukankah yang harusnya disalahkan pun pria itu yang tidak mau memeriksakan diri ke dokter? Dia tidak bisa memaksakan kehadiran seorang anak pada Tuhan. Semua pasti ada maksudnya mengapa sampai saat ini tidak ada anak dalam kehidupan rumah tangganya. “Kita bisa angkat anak.” Raina mencoba mencari solusi.  Pria itu menatap Raina. Mata itu menyiratkan segalanya; kemarahan, kekecewaan, dan kebencian.   “Aku tidak butuh anak angkat. Aku mau anakku sendiri dan kamu tidak bisa memberikan itu padaku.” Raina menangis. Dia sudah menyerahkan dirinya pada Aidil. Bahkan sudah menyerahkan seluruh hatinya namun pria itu tidak sungguh mencintainya. Ada banyak orang yang rumah tangganya tidak dikaruniai anak seperti dalam rumah tangga ibu mertuanya Kala yang merupakan kakak angkatnya namun mereka hidup harmonis hingga tahun-tahun berlalu, atau seperti rumah tangga Kala sendiri. Kala dan Cinta pun belum memiliki keturunan dari hasil pernikahan mereka namun Kala begitu sangat mencintai Cinta—istrinya. Banyak dari orang-orang yang sudah sepuluh tahun menikah namun tidak mempunyai anak, mereka hidup penuh cinta. Mereka menganggap bahwa Tuhan belum bersedia memberikan anugerah itu pada mereka dan mereka tidak mempermasalahkan itu. Raina menggeleng tidak percaya. “Papa dan Mama pasti kecewa sama kamu, Aidil. Sangat kecewa.” Katanya. Dadanya begitu sesak terasa. Dia benar-benar kecewa pada pria yang sudah menjadi suaminya selama empat tahun ini. Aidil mendengkus, “Mereka sudah meninggal. Jangan diungkit lagi.” Raina mengusap air matanya yang berlinang. Mana ucapan Kala yang mengatakan bahwa Aidil orang yang baik hati? Mana ucapan itu yang mengatakan bahwa Aidil sangat dewasa? Mana ucapan itu yang mengatakan bahwa Aidil adalah pria yang dapat membimbingnya dalam  segala hal? Aidil ternyata pria yang temperamental. Ringan tangan padanya namun wanita itu tetap berusaha menjadi istri yang baik. Kini Raina benar-benar tidak mengenali pria yang ada di hadapannya. Aidil semakin tidak dia kenali sebagai suaminya lagi. Dia seperti melihat orang lain dalam rumah tangganya. “Tanda tangani surat itu dan kita resmi cerai.” Kata Aidil lagi. Raina memandang pria itu. Wajah tampan yang membuatnya semakin lama semakin mencintai, hingga kini pun masih mencintainya. Tetapi pria itu tidak mencintainya kembali. Aidil tidak sungguh-sungguh mencintainya. Raina mengepalkan kedua tangannya kemudian mengambil surat cerai itu. Ditatapnya surat gugatan cerai itu lalu menatap Aidil. Dalam surat gugatan itu, seolah dia yang meminta cerai pada Aidil. Seolah dialah yang salah. “Apa tidak bisa kita perbaiki? Apa tidak bisa kita bicara baik-baik?” Raina masih mencoba membujuk suaminya untuk tidak bercerai. Dia tidak ingin berpisah dengan pria yang dicintainya itu. Ddia masih berharap ada oase dalam rumah tangganya. Aidil menatap Raina marah. Wajah putihnya merah padam. Tangan pria itu terulur mencengkeram tangan Raina. “Cepat tanda tangani surat sialan itu!” bentaknya. Raina menatap tajam Aidil. “Bunuh saja aku,” bisiknya. Dia tidak ingin melakukan itu, “lebih baik aku mati sekalian, dengan begitu, kamu tidak perlu repot-repot memintaku tanda tangani surat sialan ini.” Satu tangan Aidil yang lain bergerak mencengkeram leher Raina, hampir mencekiknya. Tatapan itu begitu sangat membenci istri yang dinikahinya secara terpaksa itu. “Aku tahu, kamu masih mencintai Kala,” ucap Aidil dengan gigi terkatup, “aku sering mendengarmu menelepon Kala, dan itu menggangguku.” Raina megap-megap. Pasokan udaranya mulai berkurang. Dia menggeleng mencoba berargumen. Dia tidak pernah mencintai Kala lagi. Dahulu memang dia mencintai Kala namun setelah pria yang dikaguminya itu memilih menikahi Cinta, Raina berusaha mengubur mimpinya. Dia sebenarnya menelepon Kala agar dapat berbicara dengan Cinta. Cinta mengetahui sebagian besar permasalahan dalam rumah tangganya. Walau Cinta tidak bisa berbicara atau bisu, Cinta merupakan orang yang dapat diajak berkeluh kesah dan dapat menyimpan rahasia. Itulah yang dia senang dari wanita seperti Cinta. Wanita berhijab itu begitu lembut hatinya, selembut wajahnya yang cantik. Raina dapat merasakan Aidil mengangkatnya lalu melemparkannya ke sisi lain ruangan. Perlakuan itu membuat pandangannya berkunang. Kepalanya sakit begitu pula punggungnya yang menabrak lampu sudut. Sebuah pukulan mendarat di pipi kanannya yang membuatnya menangis hebat. Suami yang sangat dicintainya itu semakin berubah. Suaminya kasar dan menzoliminya. Tangan pria itu mencengkeram kedua sisi celana katun pendek yang digunakan oleh Raina lalu menariknya paksa, akan tetapi dia tidak menyadari itu. Dia sibuk meredakan rasa sakit pada punggungnya. Kembali tangan itu merobek paksa celana dalam yang dipakainya. Bunyi robekan celana dalam itu membuatnya tersadar. Dia meronta sekuat tenaga namun Aidil lebih kuat. Pria itu mengikat tangan dan kakinya menggunakan gorden yang ditariknya paksa. Raina menggeleng kuat. Dia tidak ingin Aidil mengasarinya. Aidil menatap garang Raina. “Kalau kamu tidak mau cerai, biarkan aku memakaimu sepuasku.” Raina dapat melihat Aidil berdiri melepas celana panjang yang dipakainya, “aku senang melihatmu luka-luka seperti itu.” Mata itu berbeda menatapnya. Mata itu penuh dengan kebencian. Aidil dengan perilaku yang menyimpang itu membuat dia semakin takut setengah mati. Ditutup matanya erat-erat dan akhirnya pasrah dengan apa yang dilakukan padanya. Dia hanya berharap semoga Tuhannya mengampuni segala dosa-dosanya dan juga dosa suaminya. Dia hanya berharap, semoga semuanya segera berakhir. *** Aidil pergi begitu saja. Pria itu bahkan membiarkan saja Raina begitu tergeletak di lantai, kedinginan, dan tidak sadarkan diri selama satu jam lamanya. Tidak ada yang membangunkannya, tidak ada yang menolongnya karena mereka hanya tinggal berdua saja dalam rumah besar itu. Pria yang dipanggil suami itu memang tidak suka menyewakan asisten rumah tangga, padahal rumah itu begitu besar. Semua harus dilakukan oleh Raina seorang diri. Itu dilakukan selama mereka menikah. Dan Raina tidak masalah sekalipun asalkan suaminya mencintainya. Namun ternyata harapan tinggallah harapan. Suaminya menggugat cerai hanya karena alasan tidak mencintainya.   Perlahan mata Raina terbuka lalu pandangannya tertuju pada kedua pangkal pahanya yang berdarah. Dia menangis hebat. Tidak menyangka Aidil dapat sekasar itu hingga membuatnya terluka. Ikatan dikedua tangan dan kakinya mulai mengendur yang dapat memudahkan untuk melepaskan diri. Tertatih menahan sakit yang dia rasakan di bawah perutnya, digapainya pakaian yang dilemparkan Aidil kemudian memakainya. Matanya menatap nyalang sekitar, mencari-cari surat gugatan cerai yang dilayangkan untuknya. Surat itu tergeletak di bawah meja ruang tamu. Raina beringsut susah payah menuju meja tersebut. Setelah berhasil, dia menggapai pulpen yang ada di atas meja. Dengan tangan bergetar, ditanda tanganinya surat gugatan cerai itu. Air mata masih membasahi pipinya. Dia sudah bertekad bercerai dengan Aidil setelah apa yang dialaminya saat ini, walau hatinya masih menyimpan cinta. *** Raina berhasil keluar dari rumah Aidil menggunakan motor matiknya. Meringis menahan sakit di perutnya dan membiarkan darah pada pangkal pahanya mengering, dihentikan motor di tepi jembatan yang sering dilewatinya setiap pagi ketika berolah raga. Raina masih menangis seraya memanggil kedua orang tuanya. “Ibu, Bapak, bawa aku bersama kalian. Aku sudah tidak tahan lagi.” tangisan itu begitu pilu sekali. Dia tidak bisa mengubah takdir. Begitu pula kehadiran seorang anak. Dia sudah berusaha meminta pada Tuhan agar dapat dikaruniai seorang anak namun Tuhan tidak mau mendengar pintanya. Raina ingin melihat senyum di bibir Aidil yang selalu muram itu namun tidak pernah. Pria itu selalu memandang Raina sebagai pemuasnya saja. Di bawah jembatan itu terdapat air yang mengalir tenang. Jika sudah seperti itu, dia hanya ingin mengakhiri hidupnya. Jembatan yang biasanya ramai di sore hari itu, entah kenapa sepi. Seolah semesta mendukungnya untuk mengakhiri segalanya. Sudah tidak ada lagi orang yang dapat menjadi penopang hidupnya. Sudah tidak ada lagi semangatnya untuk menjalani kehidupan jika orang yang dia cintai ternyata tidak mencintainya dan hanya menginginkan anak saja. Jika sudah seperti itu, Raina yakin apabila dirinya hamil, Aidil tetap berlaku kasar padanya karena itu sudah menjadi pembawaannya. Raina mengangkat kakinya, menahan sakit, dia mencoba berdiri di atas pembatas jembatan itu. Dia memejamkan kedua matanya, tangannya terentang ke samping. Dia sudah siap bertemu dengan ibu dan bapaknya. “Ibu, Bapak, tunggu Raina. Sebentar lagi aku bersama kalian.” Kemudian dia mendorong tubuhnya. Tubuh itu dengan cepat melayang lalu jatuh menuju air yang tenang di bawah jembatan bercat jingga tersebut. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sweet Sinner 21+

read
887.0K
bc

Bastard My Ex Husband

read
383.1K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

HOT NIGHT

read
607.2K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.0K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

Broken

read
6.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook