9. Masih Denial

1021 Words
Ophelia ikut menyuapkan makanan ke mulutnya, meski setiap gerakan terasa hampa. Tatapannya tidak pernah benar-benar meninggalkan wajah kecil Alessio. Senyum samar terukir di bibirnya, nyaris tidak terlihat, seolah hanya menjadi selubung tipis yang menutupi hatinya yang koyak. Ia mengamati bagaimana pipi putranya sedikit mengembang setiap kali suapan kecil itu masuk, membuat wajah polos itu tampak semakin bulat dan manis, seakan-akan dunia tidak pernah berkhianat padanya."Lihatlah, Matteo, " bisik Ophelia dalam hati, matanya melembut meski ada air mata yang nyaris jatuh. "Lihat betapa kuatnya putra kita. Anak yang kamu bilang tidak boleh dimanjakan, anak yang kamu abaikan demi setan itu, dia tetap tumbuh dengan keberanian. Kamu pikir kamu kuat, Matteo? Kamu hanya keras di luar. Di dalam, kamu rapuh. Kamu menutupi kelemahanmu dengan amarah, melampiaskannya pada yang lemah. Dan sayangnya, yang paling kamu hancurkan adalah anakmu sendiri." Senyum tipisnya tetap ia pertahankan untuk Alessio. Tak boleh ada air mata di hadapan bocah kecil itu. Sementara itu, di ruang kerja Matteo, suasana berbeda menguar. Bau obat merah menusuk hidung, terdengar gesekan kain kasa dan bunyi kecil botol antiseptik yang dibuka. Marcus, tangan kanan sekaligus sahabat lamanya, tengah membersihkan luka di kaki Matteo dengan telaten. Balutan putih perlahan menutupi kulit yang memerah, namun bukan itu yang membuat udara menegang, melainkan percakapan mereka. "Tuan," ucap Marcus pelan, nadanya sopan namun sarat keberanian. "Maaf jika saya lancang. Tapi kenapa tuan begitu dingin pada tuan muda? Padahal selama ini, semua orang tahu tuan sangat memanjakannya. Jika alasannya karena Nona Katerina, bukankah sekarang beliau sedang mengandung? Bukankah seharusnya perhatian Tuan terbagi dengan adil, bukan malah mengabaikan yang lain?"Matteo mendengus kasar, pandangannya menusuk lurus ke arah meja di depannya, enggan menatap Marcus. "Dia harus belajar menghadapi segalanya sejak kecil. Tidak ada yang boleh terlalu dimanjakan. Dunia ini kejam, Marcus. Dan aku tidak akan membiarkan dia tumbuh lemah hanya karena kasih sayang berlebihan." Marcus menekan sedikit jempol Matteo saat membalut, membuat pria itu mendesis kesakitan. "b******k!" geram Matteo, rahangnya mengeras, sorot matanya menyalak ke arah Marcus. Namun Marcus tetap tenang, bahkan berani mengangkat wajah menatapnya balik. "Kalau gua jadi lo, Matt," ucapnya lirih tapi tajam, "Gua pasti akan memilih Estelle dibanding rubah betina itu." Ruangan hening sejenak. Hanya detak jam dinding yang terdengar, berdentang pelan, seolah sedang menghitung detik-detik kemarahan yang berputar dalam d**a Matteo. Sorot matanya bagai belati yang siap menebas siapa pun yang berani menentangnya. Namun, Marcus tetap bergeming. Tatapannya mantap, wajahnya tidak gentar meski berhadapan dengan pria yang bahkan ditakuti musuh sekalipun. "Dia lebih baik daripada Ophelia," ucap Matteo akhirnya, suaranya berat, serak, dan penuh bara yang ditekan. Marcus mengangkat alis, tubuhnya sedikit condong ke depan, tatapannya tidak kalah tajam. Matteo melanjutkan, seakan ingin mematahkan apa pun yang hendak keluar dari mulut sahabatnya itu. "Ophelia hanya memanfaatkan ibuku untuk bisa mendekatiku," suaranya terdengar menahan getir, meski ia berusaha menyamarkannya dengan nada dingin. "Kalau bukan karena permintaan terakhir ibuku, aku tidak akan pernah menikahinya. Dia bukan pilihanku. Aku bahkan tidak sudi hidup terus bersamanya." Marcus mendecak keras, nada geram bercampur kecewa. Ia menggeleng perlahan, matanya menatap Matteo seakan pria itu benar-benar sudah kehilangan akal sehat."Ck! Denial terus, Matt. Sampai kapan lo mau nutup mata? Gua enggak habis pikir, kenapa lo bisa cinta sama Kate? Perempuan itu memilih adik lo dibanding lo! Perempuan yang jelas-jelas menjebak Diego, lo tahu sendiri, tapi lo pura-pura buta. Apa lo udah segila itu?" Matteo mendengus kasar, wajahnya mengeras, rahangnya menegang seolah mencoba menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemarahan. "Itu hanya cerita palsu! Semua itu direncanakan teman-temannya dan teman-teman itu adalah suruhan Ophelia. Katerina terpaksa menikah karena Diego memaksanya sebagai bentuk tanggung jawab atas kehamilannya." Marcus sontak menepuk meja kecil di samping kursi kerja Matteo, membuat botol obat merah di atasnya sedikit bergetar. "Come on, Matt!" suaranya meninggi, kali ini tidak ada lagi sopan santun seorang bawahan pada atasannya. "Ophelia hanya seorang kasir pada saat itu! Dia bahkan tidak punya kuasa apa-apa. Bagaimana mungkin seorang perempuan sederhana sepertinya bisa menyewa orang untuk menjebak Katerina? Apa kamu tidak memakai logikamu sendiri? Semua itu omong kosong!" Matteo menoleh tajam, menatap Marcus dengan pandangan yang penuh amarah sekaligus frustrasi. "Nyatanya memang begitu, kan?" katanya, seolah sedang memaksa dirinya untuk tetap percaya pada cerita yang sudah lama ia genggam. Marcus menarik napas panjang, dadanya naik-turun, menahan amarah sekaligus getir yang tidak terucap. Tatapannya menusuk, menyorot langsung ke mata sahabatnya yang kini terlihat lebih seperti pria yang tersesat dalam labirin kebenciannya sendiri. “Nyatanya apa, Matt? Nyatanya lo menolak lihat kebenaran!” suara Marcus meninggi, tegas, penuh frustrasi. “Semua orang tahu Diego itu polos, terlalu polos sampai gampang diatur. Makanya bokap lo aja milih dia jadi pewaris, karena kepolosannya dianggap jaminan kesetiaan. Dan karena polos itu jugalah, hal sepele kayak tidur bersama bisa bikin dia percaya Katerina hamil. Itu Diego, Matt. Anak baik yang enggak pernah curiga sama siapa pun.” Matteo mengepalkan tangan di atas pahanya, jari-jarinya sampai memutih, pembuluh darah di pelipisnya menegang. Ia berbicara dengan suara rendah, dingin, tapi bergetar samar, seperti lava panas yang berusaha ia tekan di dalam kawah. “Semua sudah jelas, Marcus,” ucapnya, menahan bara. “Ophelia-lah dalangnya. Dialah yang menjebak Katerina bersama Diego. Adikku polos, dan Katerina saat itu diberi obat. Mereka terjebak dalam satu malam yang terkutuk itu dan semua karena kelicikan Ophelia.” Matteo menarik napas panjang, dadanya naik-turun keras, seakan tiap helaan nafasnya adalah usaha menelan kebenaran yang tidak ingin ia akui. “Kalau bukan karena dia, Katerina seharusnya jadi istriku, bukan istri adikku. Ophelia merenggut segalanya dariku! Aku membencinya, Marcus. Aku membencinya dengan seluruh jiwa!” pekiknya, suaranya bergema di dalam ruangan, membelah keheningan seperti cambukan cambuk yang berdentum di udara. Marcus terdiam sejenak, hanya menatap pria di hadapannya dengan sorot mata penuh pergolakan. Ada marah, ada kecewa, tapi jauh di balik itu, ada iba. Ia tahu, Matteo tidak sedang membicarakan kebencian murni. Ia hanya sedang bersembunyi, berlindung di balik tembok tinggi yang ia bangun dari dendam. “Matt,” suara Marcus merendah, seperti bisikan lirih yang mencoba merobohkan benteng baja. “Bukan Ophelia yang lo benci. Yang lo benci adalah kenyataan, kenyataan bahwa lo jatuh cinta pada perempuan yang lo anggap menghancurkan kebahagiaan lo. Kenyataan bahwa lo enggak bisa lepas darinya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD