Bab 11. Tega Sekali Papa

1095 Words
"Dengarkan aku itu tidak seperti yang kau bayangkan, aku punya banyak alasan untuk menjelaskannya, beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya," ucap Andre sambil menyetir mobilnya. "Jelaskanlah, jangan coba-coba berbohong, jika penjelasanmu tidak masuk logika dan terdengar mengada-ada aku marah!" ketus Sintia yang berada di sampingnya sambil melipat tangan di depan d*d*. "Jika aku sudah menjelaskan, berjanjilah agar tidak berlaku kasar seperti tadi." Andre mencoba meraih tangan Sintia namun segera di tepis. "Tergantung dengan penjelasan yang kau berikan!" Sintia masih dengan mode merajuknya. "Waktu kami berciuman, kau pasti dengar kalau semua orang bersorak memaksa kami berciuman? Dengan terpaksa aku melakukannya." Andre menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan kasar. "Di sana juga ada Ayahku, aku tidak mungkin membuatnya marah, dia tidak ingin aku tidak menganggap istriku" "Sekarang kau memanggilnya dengan sebutan istriku?" Sintia tersenyum miring. "Dengar dulu Sayang ... jika aku tidak memperlakukan dia dengan baik, maka aku akan jadi gembel di jalanan." Andre menjelaskan dengan sangat hati-hati. "Apa maksudnya kau akan jadi gembel?" tanya Sintia heran, membuat Andre kembali menghela napas beratnya. "Kau tahu kenapa aku tidak punya pilihan selain menerima perjodohan ini? Karena Ayahku mengancamku, dia akan mengusirku, memecatku, mencoret dari kartu keluarga serta dari ahli waris dan Ayahku tidak pernah main-main dengan perkataannya," ujar Andre. "Bagaimana bisa seperti itu? Kenapa ayahmu memperlakukanmu seperti anak tiri?" tanya Sintia sambil mendengus kesal. "Tidak Sayang, Ayahku itu baik cuma mungkin caranya salah, Ayahku hanya ingin aku mendapat yang terbaik tapi itu menurutnya sendiri," sahut Andre. "Jadi maksudmu aku tidak baik?" Sintia mulai terpancing untuk marah lagi. "Bukan maksudku Sayang. Tadi, 'kan aku bilang itu menurut Ayahku." Andre meraih tangan Sintia dan segera menciumnya. "Jadi hubungan kita tidak bisa lebih serius dari ini? Apa kau tidak mencintaiku? Kenapa tidak mengusahakannya?" Pertanyaan bertubi-tubi dari Sintia membuat Andre cukup kesulitan menjawabnya. "Aku mencintaimu. Aku, 'kan selalu mengusahakannya setiap waktu, bersabarlah. Dia tidak akan betah dan pasti minta bercerai." Andre mengelus kepala Sintia dengan lembut. *** Pintu di tutup, wanita itu berjalan menuju ranjang dan menyelimuti dirinya sendiri. Dia menyadari betapa menyedihkan dirinya, di tempatkan di posisi yang tidak dia inginkan, air matanya sudah mengalir tanpa dia setujui untuk turun. Alena menangis sesenggukan di dalam selimut meratapi bagaimana nasibnya yang akan terjadi kedepan, Alena sangat tidak biasa di bentak seperti itu, dia wanita yang lemah lembut, dan selalu bersikap sopan kepada orang lain maka dari itu orang lain pun memperlakukan dia dengan sangat baik. "Tega sekali Papa, bagaimana bisa dia menempatkan aku di posisi seperti ini?" gumam Alena di sela-sela tangisnya. Alena berniat mengurung diri di kamar seharian, dia sudah memutuskan untuk tidak akan keluar siapapun yang memanggilnya, mau itu Hana atau Fadil, apa lagi Andre. Tapi tak lama setelah dia mencetuskan niat itu, suara ketukan pintu pun terdengar oleh Alena. "Bunda ... ayo makan!" teriak seseorang yang dia kenali suaranya tidak lain adalah Hana, tapi Alena tidak menjawab teriakan itu karena dia sudah berniat tidak akan keluar. Setelah beberapa kali Hana memanggil, akhirnya Hana menyerah karena Alena tidak kunjung menjawab, suara langkah kaki milik Hana terdengar menjauhi pintu itu, kemudian tidak berselang lama ada lagi suara teriakan yang memanggilnya. "Keluar sekarang!" Suara laki-laki yang tidak asing lagi baginya. "Kau belum makan dari tadi, 'kan? Kalau sampai terjadi sesuatu padamu, Ayahku akan membunuhku," ujar Andre sambil terus mengetuk pintunya, namun Alena masih enggan berurusan dengannya. Akhirnya Andre juga menyerah seperti Hana, menyadari tidak ada lagi yang mengganggunya, Alena berniat mandi membersihkan dirinya karena wajahnya sudah sangat lengket karena air mata yang keluar tadi. Begitu selesai mandi, Alena langsung ingin memakai pakaian dalamnya tapi karena tangannya sakit, hal itu jadi lebih menyulitkan, belum sempat dia memakai bagian atas tiba-tiba pintu terbuka menampilkan pria yang tadi memanggilnya. Pria bertubuh tinggi dan berbadan kekar itu juga kaget melihat Alena yang tengah memakai pakaian dalam, tapi mata pria itu terus melotot tidak mengedip sama sekali membuat Alena spontan teriak histeris. "Keluar Andre!" Tanpa sadar Alena memanggil Andre dengan namanya bukan dengan panggilan yang di tetapkan. Andre yang sadar mengerti situasi sekarang keluar dengan cepat, menutup pintu setengah di banting, di balik pintu Andre membayangkan kejadian tadi sampai meneguk salivanya, bayangan bagaimana tubuh Alena yang dia lihat tadi tidak bisa di tepis dengan mudah padahal Andre sudah berusaha menyingkirkannya. Alena dengan cepat memakai semua pakaiannya, tangannya seperti tidak terasa sakit lagi, rasa sakitnya terganti rasa malu yang amat besar. Sekarang Alena sangat kesal, bagaimana bisa Andre masuk ke kamarnya tanpa izin setelah dia membuat kesepakatan untuk tidak mengacau kehidupan satu sama lain. Alena membuka pintu dengan perasaan kesal dan malu yang bercampur aduk, rasanya sekarang dia sudah berani pada Andre karena semakin lama semakin terasa terganggu. "Bisakah kau tidak masuk ke kamarku seenaknya?!" Tidak peduli bagaimana Andre akan menanggapinya, Alena sudah tidak takut lagi. "Maaf, aku hanya ingin mengajakmu makan bersama karena kau belum makan dari tadi," jawab Andre. "Begitukah? Bukannya kau lupa kalau kau tidak mau direpotkan?" Pernyataan Alena membuat Andre mengingat kejadian sebelumnya. "Tadi itu aku hanya emosi, aku tidak bermaksud sama sekali." Andre memberi Alena alasan yang sangat klasik. "Jangan ganggu aku, aku ingin sendiri seharian ini." Alena berusaha menutup pintunya kembali namun segera di cegah oleh Andre. "Makanlah dulu, maka aku tidak akan mengganggumu lagi," sergah Andre. "Aku tidak mau," tolak Alena "Setidaknya demi anak-anakku, mereka tidak mau makan dari tadi karena menunggumu." Kini Andre yang tampak memohon. Alena menghela napas panjang, dia sangat enggan berurusan dengan Andre dalam hal apapun, tapi dia tidak tega jika alasannya menyangkut anak-anak, walaupun dia bukan ibu kandung mereka tapi Alena sudah mulai menyayangi kedua anak Andre. "Ya, aku akan makan bersama." Alena menutup pintu kamarnya dan menuju meja makan bersama Andre, dia melihat Hana dan Fadil dengan mata yang tampak berbinar melihat ke arahnya, hatinya jadi terenyuh meluluh. "Bunda, kenapa tadi Hana panggil diam saja?" tanya Hana mengerucutkan bibirnya. "Bunda tidak dengar Sayang, tadi Bunda sedang mandi," jawab Alena memberi alasan. "Ayah, 'kan tangan Bunda sakit gara-gara Tante Sintia yang jahat, Ayah harus suapi Bunda," oceh Fadil pada Andre, sedangkan Andre yang mendengar itu hanya menghela napas kasar dan memejamkan matanya sejenak. Andre mengambil piring dan menyendokan makanan ke arah mulut Alena, seperti perintah Fadil sebelumnya, Alena yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya pertanda dia tidak mau di suapi oleh Andre. "Aku bisa sendiri," ucap Alena pelan Andre menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Alena, dia kembali mengarahkan makanan ke mulut Alena, tapi Alena masih tetap diam saja, Andre mendekatkan wajahnya ke wajah Alena seperti ingin mencium, tapi ... "Demi anak-anak." Ternyata Andre hanya berbisik. Alena menghela napas lelah, dia dengan sabar membuka mulutnya, membiarkan Andre menyuapinya, menuruti semua permainan sandiwara yang Andre berikan pada anak-anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD