Hari terakhir Puti Aini di tempat Datuk-nya ia habiskan dengan melamun. Semua orang kecuali Ramdan merasa gadis itu bertingkah aneh. Menjadi begitu kalem dan diam. Tapi sebetulnya yang demikianlah sifat asli sang Putri.
Ayunan tua tenpat pertama kali ia bicara dengan laki-laki yang Nia sukai selalu menjadi tempat favorit Aini, masih sama seperti dulu. Sedang tak jauh dari tempatnya berada, Aini melihat Arif mondar-mandir sibuk berbicara dengan telepon.
“Bang Arif?” panggilnya ragu.
Arif tersentak. Kalau semua orang di rumah ini tau bahwa Arif masih sempat mengurusi wanita yang rewel di sana, ia pasti sudah tinggal nama. Bagaimana mungkin ada wanita yang menyedor seluruh perhatian Arif selain wanita yang baru saja memanggilnya barusan? Begitu ‘kan kira-kira pertanyaan semua orang? Tapi wanita itu benar-benar ada. Bahkan di mata Arif, Keysha lebih berharga dari Putri Sumatera ini. Mengatakan pada Key bahwa ia tidak bisa bicara lagi dengannya, Arif kemudian memutuskan sambungan ponsel hanya untuk mendekat pada Aini.
“Hai. Besok kalian kembali ya?” jawab Arif ramah lengkap dengan pertanyaan yang sebetulnya sudah ia ketahui jawabannya.
Aini menganguk. Setelah sekian lama tertidur, ia kembali merasakan sensasi seperti ini. Sensasi di mana saat ia ingin menyampaikan sesuatu, terlebih dahulu jantungnya berdebar kencang dan telingnya memanas. Kalau saat ini ia berdiri, Aini yakin kakinya akan gemetar. Hal ini selalu ia rasakan sepanjang masa pendidikannya. Saat mengetahui bahwa apa yang ditulis oleh temannya di papan sana salah, Aini langsung berperang dengan dirinya sendiri antara membiarkan saja atau memberitahu Bu Guru. Bilang tidak bilang tidak bilang tidak. Tau-tau Aini sudah mengangkat tangan kanannya ke atas atau berseru memanggil Bu Guru. Saat menyadari bahwa perhatian semua orang tertuju padanyalah semua sensasi ini mendera tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Hm, Bang?” Tuh, Aini belum siap tapi mulutnya sudah keburu terbuka dan memanggil Arif.
“Ya?” tanya Arif yang kali ini memberikan seluruh perhatiannya pada Aini seorang.
“Benar Abang mau menjadikanku istri?” dalam hatinya Aini bertanya pada dirinya sendiri, ‘Apa yang barusan kamu katakan, Ai?’
Arif terpekur mendengar kalimat tanya tanpa basa basi ini. Ia memutuskan untuk duduk di samping Aini sebelum menjawab pertanyaan bernada serius sekaligus enggan itu. Namun belum sempat ia menjawab, Aini kembali menyela.
“Kembalilah Bang, aku tau Abang sibuk. Kalau berjodoh..” Aini sengaja menjeda ucapannya karena tiba-tiba saja ia merasa seperti sedang menelan batu tak kasat mata. “Kita pasti akan menikah, seperti yang Datuk dan Abang mau.” Terlanjur, begitu pikirnya jadi Aini mengatakan semua yang ia rasakan. Bukannya ia tidak mendengar ucapan Kakek soal pria ini adalah pria sibuk. Dia menyempatkan datang kemari hanya untuk berkenalan langsung dengannya. Aini merasa terbebani dengan fakta tersebut.
Hari sudah lumayan larut saat Aini meninggalkannya. Arif bisa merasakan kedatangan embuh yang ia nanti karena dingin udara mulai menusuk tulang. Tiba-tiba saja Arif merasakan ketakutan dalam hatinya. Bagaimana dengan Keysha jika nanti benar ia menikahi Putri ini? Apakah ia akan membuat hidupnya sendiri kacau atau hanya hidupnya Keysha saja?
“Ai..”
Aini menoleh dan mendapati Abang Ramdannya menatap tidak senang. Apa Abangnya ini mengetahui pembicaraannya dengan Arif barusan?
“Apa yang dia katakan? Kalau kamu merasa dia membebanimu, Abang akan-” Aini yang berjalan mendekat pada sang Abang langsung disuguhi pertanyaan bernada penuh kecurigaan seperti barusan. Pria ini sekalinya tidak suka maka ia akan terus mencari celah untuk menjatuhkan orang itu. Ai tidak suka dengan sifat Abangnya yang satu ini.
Tidak ingin memancing masalah di tengah malam seperti ini, Aini menarik lengan sang Abang menjauh. Akibatnya ucapan Bang Ramdan jadi terpotong begitu saja. “Cuma bicara biasa, Bang,” ucapnya tersenyum lemah.
Aini masih sedih karena menjadi penyebab punggung Abangnya harus terluka. Lagi-lagi semua karena dirinya. Beginilah keadaan Sultan dan Puti Sumatera yang orang luar sangat inginkan. Yang mereka pikir memiliki hidup sempurna. Datuk mereka keras, Azka yang suka membuat masalah, Aini yang bersembungi di balik topeng bernama Nia, hanya Ramdan yang normal diantara keluarganya.
Jelas-jelas semuanya tidak begitu indah dan tidak begitu berharga sampai mereka menginginkan hidup seperti yang Ramdan, Aini, dan Azka jalani. Pun Aini sadar tidak ada yang berusaha memoles keadaan tersebut hanya untuk terlihat baik di depan masyarakat. Mungkin karena mereka hanya melihat dari jauh saja, begitu pikir Aini.
“Ai, jangan melamun!” ucap Ramdan pada sang adik. Aini terus membawanya berjalan dan kalau Ramdan tidak ngeh, adiknya ini akan menabrak tiang di depan mereka.
“Astaga, Abang ga apa-apa?” tanya Aini pada sang Abang.
“Kamu yang aku khawatirkan,” ujar Ramdan pada sang adik. “Kenapa melamun? Ada yang mau kamu sampaikan?”
“Nia gimana?” tanya Ai yang tidak tau harus menyampaikan apa. Alih-alih menyampaikan kekhawatirannya soal menikah dan seseorang yang tiba-tiba muncul kembali, Aini justru menanyakan Nia. Seseorang yang sebenarnya tidak benar-benar muncul, hanya kabarnya saja yang Aini bisa dengar ketika dirinya tertidur.
“Kenapa dengan Nia?”
“Apa nia menyusahkan? Dia kan gadis manja.”
Ramdan terkekeh, entah siapa yang manja di antara Aini dan Nia. “Dia manja tapi cukup bertanggung jawab. Dia mengerjakan semua kewajibannya dan akan mengamuk kalau haknya terlambat diberikan. Ah, ya.. dia garang sampai tidak ada yang berani mendekatinya apalagi mejilat padanya.”
Aini terdiam menyadari bahwa Nia begitu becus. Dia melakukan semua yang Aini sendiri tidak yakin bisa melakukannya. Aini ingin Nia menghilang saja tapi hanya Nia seorang yang bisa melakukan semua yang harus ia lakukan.
“Kakak sudah makan?” tanya Azka saat melihat Kakaknya tidak mendebat Bang Ramdan seperti biasanya. Padahal jelas-jelas barusan Bang Ramdan mencela Kakak terang-terangan.
“Sudah,” jawab Aini pelan disertai senyum manisnya.
“Kakak agak aneh,” gumam Azka yang masih bisa didengar oleh Aini.
Gadis itu menjadi sedih karena Nia benar-benar membuat semua orang nyaman dengannya hingga tidak ada yang tersisa untuk Aini. Bahkan saat Aini kembali berkuasa atas tubuhnya sendiri, tidak ada yang antusias, tidak ada yang gembira. Mereka hanya merasa bahwa diri Aini yang asli ini aneh. Hal ini membuat Aini mempertanyakan sesuatu. Apa selama ini sudah benar keputusannya untuk membiarkan Nia mengambil alih semuanya?
Lalu, apakah Nia juga akan mengambil alih hatinya dan menghapus seseorang yang bertahta di sana?
>>>
Gilang tengah berdiri di belakang bapak-bapak yang sedang membeli nasi bungkus. Gilang ini tau budaya antri kok.
Etek* yang punya rumah makan ampera itu langsung menggerakkan kepalanya melihat siluet yang sudah ia kenal baik. Ampera miliknya ini tidak terlalu besar memang sehingga tidak banyak pula yang berkunjung. Rumah makannya ini baru akan ramai saat musimnya mahasiswa UNP (Universitas Negeri Padang) sidang skripsi. Makanya ia bisa mengenali para pelanggan tetapnya. *Etek = Tante.
Wanita bertubuh gemuk itu kemudian membuat kepalanya miring ke sebelah kiri. Menatap geram pada anak muda tampan yang kurang ajar itu.
Sebaliknya, Gilang yang melihat gerakan penuh drama Etek dibuat terperanjat. Tiba-tiba saja kepala Etek berada di balik kaca tempat barusan ia mengintip lauk yang masih tersisa malam ini. Mengagetkan orang saja.
“Apo? Pargede*? Kuah cancang*? Gulai pucuak ubi*? Dadak ayam bumbu? Dadak randang? Atau samba kapatang*?”
*Pargede = pergedel kentang, *Kuah cancang = kuah gulai cincang, *Gulai pucuak ubi = gulai daun ubi, *Samba kapatang = lauk sisa kemaren.
“Iko untuak Abang awak mah, Tek.. Sutan sedang dinas luar kota.” (Ini bukan untuk Sultan Azka, kok, Tek)
Gilang paham sekali kenapa wanita gemuk ini memberikan pilihan-pilihan tersebut. Jujur sejak berteman dengan Azka ia memang sering mengerjai sahabatnya itu. Salahkan Azka yang ringan sekali mulutnya itu untuk menyuruh-nyuruh Gilang membelikan makan. Mentang-mentang orang terpandang.
Makanya setiap Azka menitip nasi padanya, Gilang selalu memilihkan lauk yang sekiranya tidak akan temannya itu sukai. Ayam bumbu misalnya, alih-alih membelikan ayamnya Gilang justru meminta dedaknya saja. Azka juga tidak pernah mendapatkan daging sapi pada rendang karena Gilang sebagai teman yang setia kawan meminta Etek membungkuskan dedaknya saja berikut kacang atau ubi yang ada pada rendang. Gulai cincang juga begitu, Azka hanya bisa mencicip kuahnya saja. Pokoknya kalau Azka lagi-lagi menitip padanya, Gilang akan meberikan segala macam kuah dan dedak untuk sang sahabat sehingga nasinya sudah tenggelam di antara kuah-kuahan itu. Dan Etek pemilik ampera ini kenal betul bahwa Gilang berteman akrab dengan Sultannya. Makanya ia benci sekali pada Gilang yang setiap hari selalu mempermainkan Sultannya.
“Bato! Baa kok iko ang balian den, Lang?” begitu kira-kira pertanyaan yang akan Azka berikan.
“Sambanyo habis.” (Lauknya habis)
“Carilah di kadai lain.” (Kan bisa beli di rumah makan lain)
“Kadai ko paliang lamak sambanyo dek ang mah!” (Asal kau tau, rumah makan ini paling enak lauknya)
“Ang baa kok bisa dapek ayam?” tanya Azka melihat nasi bungkus sang sahabat. (Kamu kenapa ada ayamnya?)
“Iko penghabisan mah dek ang.” (Kebetulan ini Ayam terakhir)
Ah.. rindu sekali Gilang pada Sultan Azka-nya. Kapan bocah itu pulang dan minta dibelikan nasi lagi eh?
“Jadi kini apo sambanyo?” (Jadinya beli apa?)
“Dendeng lambok, Tek.” (Dendeng, Tek)
>>>
Cuaca hari ini begitu terik sampai orang-orang tidak bisa menatap jauh tanpa memicingkan matanya. Tampaknya cuaca hari ini berhubungan dengan suasa hati seseorang. Tepatnya di Bandara Internasional Minangkabau, tampak tiga keturunan terakhir kerajaan Pagaruyung. Aini berjalan membelah kerumunan bandara dengan wajah kesal sementara dua saudaranya yang lain mengikuti dari belakang. Tunggu, ini Nia. Tidak salah lagi, yang sedang eksis saat ini adalah Nia, buktinya Ramdan mengikuti gadis itu sambil berbicara dengan nada yang ketus padanya.
“Perhatikan dimana kau berada Nia! Atau aku akan lebih senang memasukkanmu ke dalam kardus lalu kuseret pulang.”
“Diam saja, Dan!” pekik Nia sambil melirik pada Ramdan yang makin lama semakin mensejajarkan langkahnya dengan dirinya. “Kau juga t***l! Bisa-bisanya kau berikan punggungmu untuk si cengeng itu. Lihat saja apa yang akan kulakukan pada cinta pertamanya nanti.”
“Nia!!! Jangan berperang dengan adikku, karena kau tau sendiri bahwa aku akan memenangkannya apapun yang terjadi.” Tidak hanya asal bicara, Ramdan menaruh janjinya di dalam kalimat yang ia ucapkan barusan. Tidak ada yang bisa mengusik Aini sekalipun Nia yang terlalu sempurna.
Nia menoleh pada Ramdan yang sudah berjalan sejajar dengannya, dilihat ke bawah pun demikian. Tidak hanya kecepatan melangkahnya saja yang sama tapi kaki yang diayunkan pun selaras.
“Try me, Dan! Mari kita lihat siapa yang akan menang. Aku akan menggila jika Arif menjauhiku karena Ai Ai sialanmu itu,” ucapnya sebelum meninggalkan Ramdan sendirian.
Azka berdecak kesal dan decakannya ternyata didengar oleh sang Abang. “Panas,” ucap Azka menunjuk pada matahari yang sedang berada di atas mereka kemudian menunjuk punggung Kakaknya yang hampir menghilang tertelan oleh mobil yang datang khusus untuk menjemputnya. “Dan penyakit Kakak kumat,” sambung Azka pada sang Abang.
Diah yang menjemput Puti Aini, majikannya, merasa bahwa lagi-lagi ia akan kebagian apes. Mendapati majikannya mengomel sepanjang hari adalah hal terakhir yang ia inginkan.
“Bagaimana calonnya, Puti?” tanya Diah riang. Meskipun mengetahui kalau suasana hati sang Putri tidak baik, Diah tetap harus menghadapinya dengan riang gembira.
“Tampan, mapan, perfect.”
Satu hal yang langsung singgah di benak Diah adalah baralek gadang. Tidak lama lagi Puti Indo Jalito akan baralek gadang. Apakah Diah belum pernah menyebut Puti Aini dengan nama yang satu ini? Memang benar bahwa Puti Indo Jalito adalah permaisuri yang hidup seribu tahun yang lalu. Puti Aini dinamai dengan nama beliau karena kecantikan yang ia miliki.
“Di, apakah Fatih Fatih sialan itu tidak jadi menemuiku?” tanya Nia pada dayangnya yang senyum-senyum sendiri setelah bertanya tentang calon yang Datuk sodorkan.
“Bukannya kemaren Puti tidak mau terlibat dengan orang ini?”
Lihat? Saking patuhnya Diah pada sang Putri ia bahkan tidak menyebut nama Fatih di depan beliau.
“Sekarang aku mau!”
Apa? Matilah Diah kalau begini caranya. Fatih yang beberapa hari lalu berbicara dengannya bukanlah orang yang sabar, persis sama seperti Puti. Baru beberapa kali berhubungan via telfon saja Diah sudah dibuat kapok. Lagian ya, apa Puti pikir Fatih ini barang yang boleh ia mau dan tidak mau sesuka hati? Beberapa hari yang dulu tidak mau eh sekarang mau? Bagaimana kalau tepat saat Fatih itu datang si Putri malah kembali berubah pikiran?
“Suruh dia menemuiku!”
“Baik Puti.” Duh, baru pulang saja Diah sudah dibuat migrain.
>>>
Ujian sudah selesai dan Ammar baru merasa jika ia sudah berbuat salah pada Mamanya. Bocah dengan seragam merah putih lengkap dengan kacamata minusnya itu berjalan menuju kamar orang tuanya. Mengendap-endap seperti maling.
“Ma..?” panggilnya setelah membuka pintu selebar tubuhnya. Ammar bisa melihat Mama sedang tiduran di atas ranjang.
“Ammar, kamu sakit???” tanya Fay cemas, tidak biasanya sang anak tampak tidak percaya diri begini.
“Aku baik. Mama sedih, ya, karena Ammar hm..” Sedikit tidak rela untuk menyebut kata ini tapi Ammar tetap mengucapkannya. “Durhaka?”
“Sayang,” panggil Fay kemudian menepuk ranjang di dekatnya. Bocah yang sudah bersamanya sejau umur tujuh belas tahun itu kemudian menurut dan berakhir dengan duduk tepat di samping sang Mama. Fay langsung memeluk dan menciumi wajah sang anak. Anaknya yang sangat ambisius untuk menjadi presiden, katanya. Tiga tahun lalu Ammar sempat mengatakan ingin menjadi astronot dan sekarang cita-citanya kembali berubah.
“Maaf, Ma,” ucap Ammar saat hampir semua wajahnya merah karena bekas lipstik sang Mama. Ammar bisa mengetahui hal ini meskipun sekarang ia tidak sedang bercermin. Hal ini sudah terjadi terlalu sering, maksudnya Mama yang mencium seluruh wajahnya.
“Dimaafkan.” Kontan saja ucapan Fay barusan membuat sang putra langsung memeluknya. Kini keduanya kembali menjadi pasangan ibu dan anak paling akrab di seluruh dunia.
“Daffa mana, Ma?”
Selalu disalahkan Papa karena ia dan Abi sering bertengkar, Ammar memutuskan untuk memanggil adiknya dengan nama tengah, pertanda Abi berada dalam bahaya sekarang. Bahwa posisinya sebagai adiknya Ammar sedang terancam.
“Abi sama Papa sedang nonton motocross,” terang Fay yang membuat anaknya melotot tidak percaya.
“Bukannya Papa sibuk ya, Ma? Papa sayang ya sama dia,” cibir Ammar dengan nada lesu. Bukan kali ini saja ia merasakan bahwa Papanya lebih sayang pada sang adik. Ternyata memang benar perkataan temannya bahwa adik itu pencuri kasih sayang orang tua kita.
“Eh? Ga gitu, Sayang. Papa kebetulan ada pekerjaan di sana.”
“Hm.. Ammar ganti baju dulu ya, Ma.”
Fay mencelos melihat dengan sangat jelas bahwa putranya cemburu. Ia segera menelfon Denis. “Denis,” ucap Fay ketika panggilannya pada suami tersambung. “Aku ga mau tau, pokoknya kamu dan Abi sudah harus di rumah makan malam nanti.”
“Sayang, ga bisa.”
“Harus bisa, ini Fay yang minta loh Den.”
“Aku sudah batalkan semua pekerjaan untuk tiga hari kedepan, kalau aku kembali-” Fay kesal dan segera memutuskan sambungan telepon.
>>>
Ammar sedang menggantung seragamnya dengan rapi seperti biasa dan di tangannya sudah ada baju rumahan berwarna hitam yang sangat kontras dengan warna kulitnya. Ammar emang lebih banyak memiliki kesamaan dengan sang mama. Satu hal yang tidak pernah lepas dari wajah kesayangan Bian itu adalah kacamata. Penglihatan Ammar semakin hari memang semakin buruk. Jika Ammar sudah dewasa nanti, Fay akan mengajaknya untuk operasi lasik.
“Mama mau kemana?” tanya bocah itu heran melihat Mamanya dengan sebuah koper.
“Paris? Belanda? Yunani? Mesir? Cina? Ammar mau kemana?” Tanya Fay dengan senyum yang selalu membuat Ammar merasa ia sudah mendapatkan dunia beserta isinya melalui sang Mama. Hanya sang Mama. Ia berlari dan memeluk Mamanya. Tidak pernah merasa lebih beruntung selain memiliki Mama sebagai Mamanya. Mama kesayangannya.