Semua orang berkata bahwa masa depannya begitu gemilang padahal Aini justru merasa masa depannya begitu kelam. Dirinya begitu di penuhi oleh hasrat untuk bisa bersama seseorang tetapi tidak dengan usaha yang setara. Fatih Ardan Mubarack adalah satu-satunya hal yang sangat menarik perhatiannya. Ia tau bagaimana wajah pria itu, juga tau bagaimana matanya menjadi sipit karena tertawa bersama Kakak dan sepasang temannya. Aini tau betul bahwa Fateh hanya bergaul dengan Fay, Adri dan Voni semasa SMA. Meskipun sering menggoda adik kelas, hal itu hanya ia lakukan untuk mendapatkan perhatian sang Kakak tercinta. Ya, Aini bisa melihat bahwa Fateh begitu mencintai Kakaknya. Kalau tidak salah, sepasang kakak dan adik itu sudah kehilangan Bundanya dari lama, meskipun Aini lebih senior dalam hal kehilangan ini.
Dari pada memperhatikan pelajaran yang Guru berikan, rasanya Aini lebih sering memperhatikan Fateh dari jauh. Namun sampai saat ini Aini tidak pernah tau bagaimana suara pria yang sudah meny*satkan otaknya itu. Aini tidak punya keberanian bahkan untuk menyapa teman satu angkatannya apalagi cowok yang ditaksirnya itu. Ia hanya bisa memperhatikan dari jauh. Sejauh mungkin sampai Fateh tidak akan pernah tau bahwa setiap harinya ia diperhatikan oleh cewek cupu seperti dirinya. Hanya sampai kelas Sebelas saja Aini bangun dengan semangat setiap paginya dengan pikiran bahwa ia akan kembali melihat wajah tampan cinta pertamanya karena di tahun terakhir, ia dipulangkan paksa oleh Datuk Palembang dengan alasan Aini harus tinggal di tempat di mana seharusnya ia berada. Mempelajari Adat mereka, dan mencintai tanah mereka. Almarhum Kakeknya itu yang membuat Aini pulang tanpa banyak protes. Bukan tanpa protes juga sih sebetulnya, tapi memang dasarnya Aini tidak pandai dalam hal menentang apalagi pada pria-pria tua yang sebenarnya sangat mencintainya.
Kerinduannya untuk melihat Fatih membuat Aini sakit, psikisnya sekarat karena tidak bisa mendapati cinta pertamanya lagi. Aini ingin lupa tapi hatinya menolak keras. Ingin lari kesana, pada pria itu, dan mengatakan semua yang ia pendam selama ini, giliran otaknya yang menentang keras. Sampai pada suatu malam saat embun mulai meramaikan kegersangan bumi disaat rindunya sudah tak tertahankan lagi, Aini menghadirkan Nia ke dalam hidupnya.
Saat Nia muncul, ia tidak langsung tertidur sampai tujuh tahun lamanya. Aini menyadari dirinya yang aneh lalu untuk pertama kalinya ia mengadu pada Ramdan. Mengatakan keresahannya tentang menjadi gila. Lalu mereka mulai mengamati si sosok baru yang sangat percaya diri, berwibawa dan jauh dari kata pemurung seperti Ai.
Awalnya Aini tidak pernah menyangka ia memiliki kepribadian lain. Satu hal yang ia ketahui adalah bahwa dirinya telah benar-benar gila. Apa yang akan para Datuk katakan kalau mereka mengetahui Puti ini gila? Apakah Sumatera akan menjadi begitu hina karena memiliki bangsawan gila sepertinya? Banyak hal yang ia pikirkan dan hal itu sama sekali tidak membantu. Aini bahkan takut keluar dari rumah karena berpikir dirinya akan kehilangan kesadaran saat berada di tengah keramaian.
Tapi setelah mendapat pesan-pesan yang Nia tinggalkan untuknya melalui kertas memo berwarna merah itu, juga pada note di ponselnya, dan setelah mengetahui dari Bang Ramdan, keluarganya yang paling ia percaya, bahwa sosok ini sama sekali tidak mengacau tetapi malah sebaliknya, Aini mulai bisa menerima Nia. Dan bukan Aini yang menamai sosok itu. Dia yang menamai dirinya sendiri. Nia, tidak ada embel-embel Puti atau Jebat. Hanya Nia.
Awalnya Aini dan Nia hidup harmonis. Mereka membagi hari menjadi dua, siang dan malam. Nia akan bangun di siang hari dan Aini akan mendapatkan tubuhnya kembali di malam hari. Kemudian keputusan untuk membiarkan Nia berkuasa itu muncul karena ia tidak ingin ada kepribadian lain yang bisa membuatnya benar-benar terlihat gila. Apalagi kalau sampai kepribadian yang muncul adalah seorang laki-laki. Dan jika dia laki-laki dia pasti haus akan pasangan seperti Aini yang sangat menginginkan Fateh. Jika sampai itu terjadi, Aini bersumpah akan bunuh diri saja apalagi jika mendapati kepribadian itu menculik seorang perempuan lalu macam-macam padanya. Kalau sampai hal itu terjadi, Aini akan mendapat masalah yang lebih serius dari sekedar seorang Puti yang memiliki kepribadian ganda. Dia akan dicap sebagai Puti lesbian. Dan Aini tidak ingin hal itu terjadi.
Setelah tidur selama tujuh tahun lamanya, Malam ini Aini kembali terbangun seperti kemaren di rumah Datuk Medan. Jujur, saat di rumah Datuk kemaren Aini tidak terlalu memperhatikan tubuhnya. Baru kali ini ia menyadari begitu banyak perubahan pada dirinya sendiri seperti tidak ada lagi jerawat bandel yang muncul. Selain itu kulit wajahnya terasa begitu lembut dan kenyal. Entah apa yang dilakukan Nia pada tubuh mereka tapi Aini begitu menyukainya. Karena Aini merasa begitu cantik untuk pertama kalinya. Ia bahkan tidak melepaskan pandangannya pada pantulan wajahnya di cermin. Begitu ia menyukai apa yang cermin itu suguhkan. Namun untuk kuku tangannya, Aini terpaksa memotong pendeknya karena tidak menyukai betapa panjang organ yang satu itu. ia jari kesulitan untuk meraih apapun dengan kuku yang Nia cat dengan kutek merah itu. Yap Nia selalu identik dengan warna merah.
Kini, selain memandangi bayangannya sendiri, Aini juga menyisiri rambut bergelombangnya. Dari awal rambutnya memang sedikit bergelombang tapi agak megar. Kini rambutnya jatuh begitu saja, rapi dan mudah diatur. Astaga, lama-lama begini Ai bisa memuja dirinya sendiri. Bagaimana ini?
Memang tidak salah Ai memberikan kepercayaannya pada Nia. Dia bisa mengurusi semua hal bahkan sampai mengurusi tubuh mereka dengan sangat baik. Sebenarnya alasan Aini berontak sehingga bisa menguasai tubuhnya sendiri adalah untuk memastikan dirinya siap bertemu Fateh untuk pertama kalinya. Tapi ternyata dirinya khawatir untuk hal yang tidak penting. Toh Nia selalu merawat tubuh mereka setiap harinya.
Sama seperti cara mereka berkomunikasi tujuh tahun yang lalu, Aini kembali mengetikkan pesan untuk Nia bahwa dia tidak akan muncul di depan Fatih dan berakibat makin menginginkan pria itu. Aini akan tidur nyenyak dan mengabaikan dorongan untuk melihat wajah itu lagi. Besok pagi Ai berjanji Nia sudah bisa beraktivitas seperti biasa.
“A- Abbang,” ucap Aini gelagapan karena Ramdan masuk tanpa mengetuk pintu dan mendapatinya hanya dengan gaun tidurnya. Ia tidak tau saja bahwa Nia bahkan berkeliaran dengan gaun tipis itu ke sekeliling rumah tidak peduli ada Ramdan atau Azka. Aini sibuk mencari sesuatu untuk menutupi bagian depan tubuhnya tapi tidak ada benda yang cukup besar yang bisa digunakan untuk itu. Melirik selimut di atas ranjangnya sana melalui pantulan cermin, tiba-tiba Aini mengumpat di dalam hati. Kemudian Aini terkesiap dan meletakkan kedua tangan di mulutnya. Matanya melotot menyadari barusan dirinya benar-benar mengumpat.
Ramdan mengerutkan keningnya melihat sang adik. Tanpa perlu bertanya terlebih dahulu ia sudah tau bahwa yang ia temui sekarang adalah Aini. “Apa Nia membuat masalah?”
Aini memutuskan untuk melindungi dadanya dengan kedua tangannya saja. Dilihat-lihat lagi sepertinya Abang tidak menangkap maksudnya. Seolah Abang sudah biasa saja melihat penampilannya yang seperti ini.
“Tidak tapi aku tau dia marah besar. Tentang Abang juga tentang Bang Arif.”
“Kamu tau kalau Arif itu lebih tua darimu?” tanya Ramdan bingung. Nia lah yang menghabiskan banyak waktu dengan pria itu, dia juga sudah mengetahui bahwa calon suaminya itu lebih tua. Tapi tidak sekalipun Nia memanggilnya Abang. Ternyata memang tidak ada di dunia ini yang membuat Nia bisa merasa rendah sekalipun cinta pertamanya sendiri. Oh atau mungkin ada. Hanya pada Datuk yang dipanggil sopan oleh Nia.
Aini menggeleng pelan. Kini ia mendapat cara untuk melindungi d**a nya dari pandangan Bang Ramdan. Aini membagi dua rambutnya dan meletakkannya ke depan. Dengan begitu sekarang dadanya sudah terlindungi dengan sempurna. “Aku panggil begitu untuk menghormati dia saja.”
Ramdan mengangguk paham. “Nia menyebut-nyebut soal cinta pertama kamu, juga bilang bahwa dia pasti akan balas dendam.” Ramdan tidak peduli pada fakta sang adik memiliki cinta pertama karena ide balas dendam Nia justru membuatnya mengkhawatirkan Aini lebih dari apapun.
“Balas dendam pun tidak akan sampai menyakiti Ai, Bang. Nia hanya mengoceh,” tutur Aini sambil tersenyum samar.
“Kamu tampak lebih tenang dari yang kemaren, Abang senang,” aku Ramdan kemudian menepuk sayang kepala adiknya itu.
Mendapati dirinya sudah tidak membuat Abang cemas, Aini kembali menampilkan senyum lembut. Khas dirinya sekali.
“Temani Abang ngopi, ya? Abang tunggu di luar dan pakai pakaian yang tebal.” Angin di luar cukup kencang, sepertinya tidak lama lagi akan turun hujan. Tapi selama Aini bersama dirinya apalagi mereka akan pergi dengan mobil, Ramdan yakin tidak akan terjadi apa-apa pada si manja yang satu ini.
Begitu Bang Ramdan keluar dari kamarnya, Aini segera menyambar pintu lemari dan memeriksa apakah selama ini Nia memakaikan pakaian sejenis ini pada tubuhnya. Ia bisa bernapas lega karena masih ada baju kurung dari ujung kiri sampai ujung kanan lemarinya yang Aini rasa jauh lebih besar dari yang dulu.
>>>
Kedua saudara sepupu itu pergi tanpa sepengetahuan Diah, mereka mengunjungi sebuah tempat yang tampaknya baru. Aini bahkan tidak ingat jika dulu tempat ini sudah ada. Kalau di lihat dari ujung ke ujung, café ini dipenuhi oleh pasangan kekasih. Aini bisa mengetahui hal ini karena beberapa ada yang menyuapkan pasangannya, beberapa ada yang bersandar pada pundak cowoknya dan ada juga yang dipeluk sayang oleh cowoknya. Tiba-tiba Ai merasa ia dan Bang Ramdan mendatangi tempat yang salah.
“Kamu duduk dulu, Abang ingin menelfon seseorang,” ucap Ramdan mengelus lengan atas adiknya. Aini sudah sebesar ini tapi Ramdan tetap menganggapnya seperti bocah yang akan menangis kalau tidak mendapati sang Abang di sekitarnya.
“Bang???” panggil Ai, ia teringat sesuatu.
“Ya, Dek?”
“Abang belum menikah, ‘kan? Aku ga melewatkan pernikahan Abang, ‘kan?”
Ramdan tersenyum geli pada sang adik lalu mengacak rambutnya. Ketika muncul keinginan untuk mengerjai sang adik, Ramdan malah mendengar suara adiknya yang lain. Kali ini suara yang ia dengar berasal dari adik yang pekerjaannya selalu membuat masalah.
“Bang! Kak Nia!” begitu panggil Azka.
Ramdan dan Aini menoleh ke asal suara dan mendapati Azka dengan senyum lebar. Ramdan merendahkan tubuhnya ke arah Aini. ‘Tetaplah tenang dan jangan terlalu lembut pada bocah itu,’ bisik Ramdan pada sepupu perempuannya itu.
“Kalian benar-benar tidak membawaku ke pertemuan keluarga?” dengus Azka yang merasa tersisih. Apa Abang dan Kakaknya sering mengadakan pertemuan rahasia tanpa dirinya? Namun begitu ia tidak bisa untuk menunjukkan tampang kesalnya karena ia ingin mengenalkan beberapa orang pada Kakak dan Abang.
Aini gelisah. Azka terus menceritakan bahwa inilah Gilang yang sering membuat kekacauan bersamanya, menceritakan betapa mereka sudah seperti saudara kandung dan lain-lain namun Aini gelisah karena hal lain. Tanpa pernah ia kira sebelumnya, Aini dipertemukan oleh tetes-tetes hujan yang mulai membasahi bumi dengan pria itu. Fatih Ardan Mubarack sedang memperhatikannya. Benar-benar memperhatikan dirinya sampai Aini sangat ingin Nia muncul saat ini.
>>>
“Ammar shhenanghh?” tanya Fay setelah selesai berlari mengelilingi satu sisi piramid dengan ngos-ngosan.
“Belum selesai, Ma,” kekeh Ammar yang sebetulnya juga merasa sesak karena berlarian di tengah terik.
“Taoi Mama sudhahhh.. tidak kuat, Nak,” ucap Fay. Sumpah ia tidak sanggup kalau harus berlari lagi, lutut istri Denis Hardian itu terasa begitu lemas.
Ammar melirik jam tangannya dan kemudian membimbing Mamanya yang kesulitan untuk bernapas menjauh. Menghitung berapa menit yang ia butuhkan untuk berlari di sepanjang sisi piramid. “Ga apa-apa, Ammar tinggal kalikan empat dan anggap saja sudah kelilingi piramid.”
Fay mengacak-acak rambut anaknya dan menariknya mendekat. Ammar yang dibawa lebih dekat kemudian memeluk pinggang mamanya. Andai saja ia sebesar dan sekuat Papa, Ammar pasti sudah menggendong Mama yang kelelahan di punggungnya.
Ammar merasakan ponsel Mama bergetar tapi beliau tetap membawanya berjalan menjauh dari piramida. “Papa pasti marahi Mama,” ucap Ammar melihat untuk sekian kalinya Mamanya mengabaikan telepon Papa.
“Mama senang kalau Papamu masih marah, itu artinya dia masih sayang sama Mama.”
Ammar mengendikkan bahu lalu meraih ponselnya di dalam kantong celana. memastikan foto-foto mereka duduk manis di instagramnya juga sudah dilihat oleh Om Fateh. Helloww Ammar punya i********: juga lah, memangnya kamu saja yang punya.
Sementara itu, separoh dari keluarga Fay yang lain yaitu Denis dan Abizard sudah selesai menonton motocross dari beberapa jam yang lalu. Denis sedang kebakaran jenggot karena ia sangat tidak suka dengan cara berontak istrinya. Fay boleh marah dengan cara apapun asal tidak dengan menjauh darinya. Denis rasa sudah cukup mereka berpisah selama bertahun-tahun. Sedangkan Abi yang tidak tau apa-apa, ia masih bisa melihat motor-motor itu melambung di udara meskipun dengan memejamkan mata.
Denis mencoba menghubungi Runa dan Agam tapi tidak ada yang mengerti dengan kekhawatirannya. Mereka berkata seolah Fay liburan ke Padang. Kadang Denis ingin menjerit kemana perginya sepupu-sepupu Fay yang dulu begitu protektif bahkan sampai menghalanginya untuk malam pertama bersama sang istri.
Sekarang, menyusuli istrinya itu adalah satu-satunya solusi yang Denis punya tapi itu akan membuat Abi sedih. Ia sudah menjanjikan untuk berada di sini pada anak bungsunya itu sejak dua minggu yang lalu.
“Demi semua langkah Fay saat menjauhiku, semoga kalian semua mendapat istri yang akan membuat sakit kepala,” gumam Denis kesal.
>>>
Fateh memutuskan untuk ikut dengan Gilang karena ia bosan mendengar pertengkaran tiada henti Om Bayu dan istrinya mengenai calon menantu mereka. Sebenarnya, kalau boleh berkomentar, Fateh merasa istri Om-nya itu yang keterlaluan, orang belum jadi aja sudah dibawa ke rumah. Diajak masak barenglah, shopping barenglah, apa ga ngebet banget tuh Ibu Ratu pengen mantu?? Melihat hal itu Fay paham kenapa Fay selalu menyuruhnya untuk segera menikah. Dia ‘kan pernah tinggal dengan istrinya Om Bayu.
Saat mereka sudah hampir sampai, Gilang mengatakan bahwa yang akan bergabung dengan mereka menikmati malam ini adalah adiknya Puti Aini. Sia-sia rasanya Fateh keluar di malam yang heboh ini. Pantas saja angin mengamuk saat Fateh ke luar dari rumah Om Bayu. Rupanya mereka memperingatkan dirinya untuk tidak pergi atau ia akan bertemu dengan keluarga preman Sumatera itu. Lagian kenapa pula adiknya berteman dengan adik cewek sok ke putri-putrian itu?
“Azka, Bang, partner in crime-nya Gilang,” ucap Gilang yang memperkenalkan Azka pada Fateh. Dalam hati Fateh bertanya-tanya apakah ia harus memanggil Sultan pada bocah ini? Melukai harga dirinya saja.
“Daripada partner in crime, kami lebih seperti partner kena omel sih, Bang?” ucap Azka dan Fateh tau bahwa ia tidak perlu menunduk pada teman adiknya meskipun orang itu pangkatnya Sultan.
“Aku Fateh, sepupunya,” ucap Fateh tersenyum tipis.
Baru saja mereka berempat, termasuk Vio, ingin mencari tempat, si Sultan menemukan pemandangan menarik dalam caffe tersebut. Ia segera mendekati sepasang laki-laki dan perempuan yang tampak cukup serasi dimata Fateh kalau dilihat dari jauh.
“Itu bukan Ayah sama Ibunya, ‘kan?” tanya Fateh kepo.
“Itu Puti Aini dan Sultan Ramdan,” jelas Gilang.
Bagaikan mendapat angin segar di tengah gurun, Fateh segera mengikuti jejak Azka karena ia jadi sangat ingin menceramahi Puti Aini yang dengan seenak jidatnya membatalkan pertemuan mereka. Namun pemikiran itu hanya bertahan beberapa detik karena tepat pada saat Azka mengenalkannya pada dua orang itu, Fatih merasa semua alasannya untuk tidak menyenangi Puti Aini menguap begitu saja, seperti embun yang menghilang tanpa aba kala matahari mulai muncul.
Perempuan yang berada tepat di depan Fateh saat ini adalah perempuan tercantik yang pernah ia temui. Fateh mengumpat mengingat beberapa hari yang lalu ketika mencoba mengenali Puti Aini melalui fotonya. Foto-foto Puti Aini di internet jelas pembohongan publik. Kenapa orang Sumatera harus menyembunyikan kecantikan Putri mereka ini dengan foto-foto menor yang tersebar di internet itu? Oke, Fateh bohong soal riasan menor. Riasannya memang bagus tapi entah kenapa fateh ingin seluruh dunia melihat wajah asli putri ini. Atau tidak? Bagaimana kalau Fateh saja yang melihatnya?
Menyadari ia berhadapan dengan gadis bangsawan apalagi gadis ini sepertinya juga titisan dewa sepertinya, Fateh ikhlas untuk menjadi yang pertama mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Lagian Fateh ini cowok, jadi dialah yang harus membuat inisiatif untuk pertama kali. Astaga, bahkan hanya dengan mengenakan baju lurus ke bawah saja Fateh dibuat tidak berkedip.
Ngomong-ngomong, apa nama pakaian ini?
Aini dihadapkan oleh semesta pada pria yang sejak dulu ingin ia temui, ingin ia dengar suaranya dan ingin pria itu untuk menyebut namanya. Tapi ia merasa begitu tidak pantas. Satu hal yang ia pikirkan saat ini adalah pergi sejauh-jauhnya. Saat pria yang selalu ia buntuti di Bina Bangsa itu mengulurkan tangan padanya, Aini dengan segala kesadaran dirinya memilih untuk mundur dan berlindung di balik punggung Abangnya. Aini memegang lengan Abangnya itu untuk mengatakan bahwa ia merasa tidak nyaman tapi sang Abang tidak peka. Sejak kapan Abang Ramdannya menjadi tidak sepeka ini? Pikir Aini. Bang Ramdan justru berdeham, menegur dirinya di saat yang Aini inginkan adalah hal yang berbeda.
“Kenalan aja, Dek,” bisik Ramdan sambil melirik pada Aini.
Meneguk ludahnya, Aini segera menunjukkan dirinya kembali kemudian maju selangkah untuk menyambut uluran tangan itu. Satu hal yang Aini tau adalah tangan Fateh hangat dan memegang tangannya dengan begitu baik. Tidak terlalu menekan-kan tangannya pada tangan Ai. Aini sudah tau dari dulu kalau Fateh adalah pria yang sopan. Kembali melihat pada kedua tangan mereka yang terpaut satu sama lain, Aini merasa mukanya menghangat disertai dengan gedoran keras organ vitalnya di bagian d**a. Namun sesaat kemudian ia merasa kecewa. Fateh memustuskan untuk menarik tangannya. Pria itu kini berkenalan dengan Abang dan tampak bicara banyak hal dengan Abang. Apakah Aini semembosankan itu?
Setelah semua orang selesai berkenalan, mereka semua kemudian bergabung di satu meka. Aini kembali mendapat ujian dengan duduk tepat di depan Fatih Ardan Mubarack yang seumur hidupnya hanya ia lihat dari balik pilar-pilar kokok Bina Bangsa. Aini meneguk liurnya berkali-kali saking gugupnya. Ingin bernostalgia dengan melirik Fateh lagi tapi ia takut ketahuan sehingga pandangannya hanya tertuju pada meja yang membatasi mereka.
Dalam obrolannya bersama Sultan Ramdan, ketika Fateh yakin sang Sultan tidak terlalu memperhatikannya, diam-diam ia mencuri lihat pada Puti Aini. Fatih merasa cukup salah tingkah bahkan ketika gadis di depannya ini hanya menunduk dan tidak mengedip padanya sama sekali. Hati kecil Fateh menjerit meneriakkan kata-kata semacam: ‘Ini baru cewek, Teh,’ lalu ini: ‘Kalo lo lepas, d***u lo, The.’ Ia bahkan sampai mencibir dirinya sendiri yang tidak bisa mengajak Puti Aini bicara. ‘Wah, parahh! Ngomong begoooo!’
Rasanya beberapa hari yang lalu Fateh enggan menyebut Aini dengan embel-embel Puti tapi lihat sekarang, bicara dalam hati saja ia selalu menyebut Puti Aini Puti Aini Puti Aini.
“Abang!!!!” teriak Vio kesal pada Fateh yang sama sekali tidak menyahutinya. Dirinya sudah sangat ingin memesan tapi Gilang tidak mau membayari. Abang sepupunya, si anak satu-satunya Om Bayu ini terang-terangan mengabaikannya. Maka satu-satunya harapan Vio ya Bang Fatehnya yang jelas lebih kaya dari Gilang si b***k cinta.
“Apa Vio?” tanya Fateh. Nah seperti ini yang Fateh inginkan. Bagaimana ia bisa menoleh dan menatap bocah bawel ini tepat di mata, ia juga ingin melakukan itu pada Puti Aini.
“Aku Abang yang jajanin ‘kan?”
“Iya.”
“Ini boleh?”
“Boleh,” jawab Fateh yang sudah menatap objek paling indah di tata surya.
“Matanya itu tolong ke aku!!” sindir Vio karena ia tidak mau mencuci piring di tempat asing begini. Dengan Fateh itu biasanya jajan ada limit tertentu. Dan dengan Fateh ia juga beberapa kali berakhir dengan mencuci piring di restorannya Agam.
“Pesan saja sepuasnya!” Kalau saja tidak ada cewek tulen versi Fateh disana, sudah pasti telinga Vio sudah memerah kena jewer. Viona beruntung karena ada Puti Aini.
“Ai..” panggil Ramdan, Adiknya ini tidak di kamarnya sendiri tidak di tempat umum selalu saja sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Maaf Bang, Abang tadi... Bicara apa?” ucapnya malu, apa seisi meja tau bahwa dari tadi fokusnya hanya pada Fatih? Bagaimana kalau ia ketahuan? Ceroboh sekali Aini.
“Berhenti melamun, pesan yang kamu inginkan,” ucap Ramdan lalu kembali mencoba obrolan ringan dengan Abangnnya Gilang. Ramdan paham kalau Fateh belum melihat keseluruhan Sumatera. Karena itu ia menawarkan tempat-tempat indah pulau mereka pada Fateh. Kalau dia mau, Ramdan bisa memerintahkan Azka dan Gilang untuk menemaninya berhubung mereka tidak punya kegunaan di muka bumi ini.
“Terimakasih infonya, Pak, tapi Abangku ini pria beranak dua. Susah mah kalau mau pergi kemana-mana,” sindir Vio, mengingat betapa lengketnya Fatih dengan Abi dan Ammar. Ammar bahkan masih merajuk karena tidak dibawa kemari.
Siapapun tolong koreksi anak gadisnya Liana itu! Masa dia memanggil ‘Pak’ pada Sultan seganteng Ramdan.
Fatih menggerutu dan mengancam mengadukan kelakuan Vio di kampus pada Liana sedangkan Vio yang merasa tidak ada sikapnya yang berlebihan balas mengancam untuk melaporkan apa saja pembicaraan Runa, Agam dan Fateh saat mereka arisan. “Oh jadi kau sudah ikut-ikutan Fay..”
“Hohoho... iya dong! Kami cewek cuma berdua dan ga macam-macam kaya kalian.”
“Lo awas tidur di rumah gue ya!” ucap Gilang kesal, kalau sudah membeda-bedakan gender maka Gilang tentu ada di pihak Fateh.
Sementara itu Azka, Ramdan dan Aini yang persaudaraannya tidak sekacau milik Gilang agak tercengang melihat mereka yang tidak malu membuka aib masing-masing di depan khalayak ramai. Kini yang bicara di meja itu hanya Gilang, Vio dan Fateh dan itupun berbalas-balas ejekan. Mereka tidak tau bahwa ada satu hati yang hancur mendengar semua itu.
‘Sudah punya anak ya..?’ ulang Aini dalam hati. Lalu apa gunanya mereka bertemu bahkan sampai berjabat tangan kalau pada akhirnya fateh sudah menjadi milik wanita lain? Aini pernah begitu patah hati karena tidak bisa bertemu lagi dengan cinta pertamanya tapi tidak sesakit ini saat mengetahui dia telah menemukan wanita dan hidup bahagia bahkan memiliki dua buah hati.
Aini janji ia tidak akan muncul lagi di sisa hidupnya, biarlah Nia yang mengomandoi hidup mereka kedepannya.