Happy Reading
Aluna masih memikirkan tawaran Tante Andini, apakah dia harus mengambil pekerjaan yang ditawarkan itu? Apakah dia sanggup harus sekantor dengan Alva dan Mutia?
Mengingat Mutia, wanita itu ternyata begitu licik. Dia selama ini ternyata membuat cerita bohong tentangnya dan Aluna tahu semuanya karena Tante Andini yang bercerita. Ya, Andini menceritakan masalah Mutia dan perceraiannya dengan Alva. Padahal Aluna tidak ingin mendengarkan kisah mereka, tetapi tante Andini tetap saja menceritakan hal tersebut sampai pada akhirnya Aluna mengetahui jika Mutia ini adalah orang yang licik bak ular berbisa.
Kalau dipikir-pikir, jadi Alva menceraikan Mutia karena dia telah dibohongi mentah-mentah oleh istrinya itu. Kalau Alva tidak mengetahui cerita yang sebenarnya, mungkin bisa jadi rumah tangga mereka masih tetap harmonis dan romantis. Seharusnya mereka berdua itu berjodoh saja karena yang satu licik dan yang satu tidak punya hati.
Namun, dari cerita itu akhirnya Aluna tahu kalau Mutia memang berniat mendapatkan Alva dengan cara yang tidak bersih alias kotor. Mutia selalu menceritakan keburukannya kepada Alva agar sahabatnya itu ilfeel, bahkan sampai memfitnah dengan mengirimkan foto-foto gambar dirinya yang tidak senonoh kepada pria itu. Apakah karena hal itu juga Alva sedikit menjauh darinya dan juga terlihat berbeda 2 tahun terakhir sebelum dia akhirnya memberikan obat perangsang pada minuman Alva dan menjadikan malam kelam itu sebagai alasan di mana dia juga sangat membenci pria tersebut.
Bukankah saat itu Alva sudah berhubungan dengan Mutia dan mungkin bisa jadi Mutia memerankan peran seorang wanita yang lemah lembut bagai seorang putri salju di hadapan pangeran berkuda dan menginginkan cintanya. Entahlah, dia juga tidak tahu dan sebenarnya tidak ingin tahu.
Karena menurut Aluna, hubungannya dengan kedua penghianat itu sudah putus sejak 6 tahun lalu. Meskipun sekarang Alva mengetahui jika dia membesarkan putra yang tidak dianggapnya itu sendiri, tetapi Aluna tidak akan dengan mudah memaafkan pria tersebut dan juga tentunya dengan sang mantan istrinya.
"Apa aku terima saja, ya pekerjaan itu? Apakah aku harus balas dendam pada Mutia dan Alva? Apakah mereka harus merasakan apa yang aku rasakan?" batin Aluna menatap kosong ke arah lantai.
Sejujurnya dia benar-benar sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan kedua penghianat tersebut, dia bahkan sudah merasa kehidupannya jauh lebih bahagia dengan seperti ini saja tanpa melibatkan orang-orang masa lalunya masuk. Meskipun perasaan luka dan sakit tidak mudah dihilangkan dari hatinya, bahkan lukanya belum lama mengering sekarang harus basah kembali ketika dia harus bertemu dengan pria yang menyakitinya di masa lalu.
Kali ini memang sikap Alva berbeda, dia jauh lebih perhatian dan juga tatapannya yang sarat akan penyesalan dan permohonan. Alva bahkan mengatakan jika dia mencintainya kepada hampir semua orang meskipun Aluna sendiri belum pernah mendengarnya secara langsung.
Apakah perasaan itu benar dari hati, apakah hanya karena rasa bersalah? Ataukah Alva baru sadar jika dirinya merasakan cinta padanya karena wanita yang dicintainya atau sang mantan istri bukan wanita baik-baik.
Ah, kepala Aluna rasanya ingin pecah ketika memikirkan hal itu. Biar saja apa yang ingin mereka lakukan, toh Aluna sekarang sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan mereka. Rasa cinta yang begitu besar untuk Alva di masa lalu pun terkikis habis di hatinya dan sekarang di penuhi oleh kebencian.
"Mamiii ... Valen udah wangi!" Aluna tersentak ketika putranya berlari ke arahnya dan langsung menghambur ke pelukan.
"Hemm, putra Mami udah ganteng," ujar Aluna mencium pipi Valen kanan kiri. Tadi Aluna sedang menunggu putranya di mandikan oleh Sintia di kamar sebelah karena nanti malam kakek dan neneknya akan mengajak Valen jalan-jalan ke rumah saudara.
"Anak Mami udah ganteng, sekarang siap-siap ya, Kakek sama Nenek udah nunggu Valen mau diajak ke rumah eyang Ilyas." Valen mengangguk antusias.
Dia senang sekali bisa diajak jalan-jalan di kota ini karena sejak dulu dia tinggal di London. Aluna jarang sekali mengajaknya jalan-jalan karena waktunya tersisa untuk kerja dan bekerja.
"Horee ... Valen mau jalan-jalan, Mi. Apa mami nggak ikut?"
"Nggak, sayang. Mami akan keluar, jadi nanti Valen sama kakek dan nenek, ya?"
"Oke, Mi. Oh ya, Valen mau tanya, kenapa Om Alva bilang sama Valen dia itu Papinya Valen. Kan kata Mami, Papi Valen udah ada di surga?"
Aluna hampir menyemburkan tawanya mendengar pertanyaan sang anak. Memang sejak dulu Aluna selalu mengatakan kepada Valen jika papinya sudah ada di surga. Valen awalnya tidak mengerti, surga itu tempatnya di mana? Tanyanya waktu itu. Akan tetapi, setelah Aluna menjelaskan jika kalau orang di surga itu artinya sudah mati, akhirnya Valen mengerti dan tidak menanyakan lagi di mana papinya karena menurut Valen, papinya sudah meninggal.
Padahal saat itu Aluna mengatakan jika Alva sudah mati bukan raganya melainkan hatinya yang sudah mati. Alva sudah mati perasaannya, jadi jangan salahkan Aluna kalau dia bicara seperti itu pada putranya. Sejak awal sudah jelas jika Alva tidak menginginkan anak yang dia kandung, bukan?
"Nah, kalau menurut Valen, Om Alva gimana orangnya?"
Valen mengangkat jemarinya dan mengetukkan pada dagu, seakan sedang berpikir. Aluna gemas sekali sama putranya ini, yang sayangnya sangat mirip dengan Alva.
"Om Alva baik, suka kasih Valen mainan, dia juga terlihat sayang sama Valen. Om Alva bilang kalau dia adalah Papinya Valen dan ingin bisa bersama Valen dan Mami setiap saat." Aluna melotot mendengar ucapan sang putra.
Kali ini Aluna merasa geram, ternyata Alva sudah mendoktrin sang putra dengan kata-kata seperti itu. Apa Alva tidak ingat bagaimana dulu dia memintanya untuk menggugurkan kandungannya hanya karena Mutia.
Entah kenapa, hati Aluna seolah merasa membara. Terbakar oleh ucapan Alva yang jelas-jelas tidak tahu malu itu. Apakah memang sebaiknya dia membalaskan dendamnya pada dua orang tersebut? Apakah dia boleh meminta jika kedua pengkhianat itu merasakan apa yang dia rasakan?
***
Aluna melambaikan tangannya pada mobil yang di kendarai Jean. Mobil yang membawa Mama, Papa, dan Valen pergi ke rumah Eyang Ilyas yang merupakan kakak kandung papa Bima. Setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Dia akan mengabari Andini jika dia akan menerima tawaran pekerjaan itu.
Namun, matanya menyipit saat melihat nomor asing mengirimkan pesan.
+6285557xxxx : Malam Lun, ini nomorku. Save ya? Aku sayang kamu Lun. Sayang banget. Aku harap kamu masih membuka pintu maaf buatku. Aku ingin menebus semua kesalahan dulu. By, Papi Valen.
Aluna kali ini mengerutkan keningnya ketika membaca pesan tersebut dan ternyata itu dari Alva. Aluna tidak rela jika Alva melabeli dirinya sebagai Papi Valen.
"Enak aja udah mengklaim jadi Papinya Alva, jangan harap!" Aluna langsung memblokir pesan tersebut. Dia tidak mau berhubungan dengan Alva lagi
Setelah itu dia menulis pesan pada Tante Andini jika dia siap bekerja di perusahaan Om Jack.
***
Aluna akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan salah satu sahabatnya. Bukan Mutia, tetapi Dila. Luna ingin meminta maaf pada sahabatnya itu. Dulu, Aluna sempat marahan dengan Dila gara-gara Mutia, saat itu Aluna lebih percaya pada Mutia daripada Dila. Hal itulah yang membuat persahabatannya dengan Dila jadi renggang.
Namun, ternyata dia salah besar telah membela Mutia, sejak Tante Andini mengatakan jika Mutia itu bermuka dua dan licik, akhirnya Aluna teringat tentang Dila. Tadi Aluna mencoba menghubungi nomor Dila yang sudah dia blokir dan dia buka kembali blokiran nya, ternyata nomor itu masih aktif.
Aluna langsung menghubunginya dan ternyata Dila juga selama ini mencari dirinya. Rasanya ingin menangis ketika dia teringat ucapan Dila yang mengatakan jika dia minta maaf dan ingin bersahabat kembali dengannya, padahal di sini yang jahat adalah Aluna. Ternyata sahabatnya itu begitu tulus padanya.
Dila sempat pergi keluar kota setelah pertengkaran mereka dan selama dua tahun Dila tidak kembali karena ternyata dia dipindahkan tugas dari kantornya ke daerah cabang.
Aluna akan ke pergi ke apartemen Dila, sebelumnya dia mampir dulu ke supermarket untuk membeli beberapa makanan yang nantinya bisa di makan ketika mereka ngobrol. Aluna masih ingat cemilan kesukaan Dila dan dia membeli banyak makanan.
"Luna?" Aluna menatap datar wanita di depannya yang tadi memanggilnya namanya. "Lo-lo kembali? Sejak kapan?" tanya Mutia dengan wajah terkejut, seperti syok karena melihat Aluna di depannya dengan membawa dua troli belanjaan.
Aluna menatap Mutia dengan tatapan tidak minat, menatap ekspresi wajahnya yang entah kenapa terlihat aneh. Tiba-tiba Mutia berjalan maju ke arahnya dengan senyum di paksakan. Aluna langsung tahu apa maksud wanita itu.
"Maaf, gue buru-buru Mut, selamat ketemu kembali, ya?" Aluna tersenyum tipis. Senyuman yang memiliki arti dan Mutia merasa takut melihatnya.
Bersambung.