Happy Reading.
Sebelumnya.
"Pokoknya Mama harus ke rumah Aluna sekarang!" Andini pagi-pagi setelah selesai mandi, dia bicara pada putranya yang tengah menikmati kopi paginya sebelum sarapan di ruang keluarga.
"Jangan! Mama nggak tahu gimana Aluna sekarang! Dia benci banget sama aku."
"Pastinya yang dia benci itu kamu, bukan Mama!" Andini mendengus kesal dengan putranya itu. Kok, ya bodoh di pelihara. Bodoh masalah hati, wanita, dan perasaan. Jika memang sudah mencintai Aluna sejak dulu, kenapa malah menerima si Mutia, cewek jadi-jadian yang jelas levelnya kalah jauh dari Aluna. Mutia itu di bawah, di bawahnya lagi dan di bawahnya lagi Aluna. Jelas sama sekali nggak selevel.
Alva bahkan berani nantang dengan melamar dan menikahinya, tetapi untung saja kedoknya terbuka sebelum jauh melangkah membina mahligai rumah tangga.
Kalau mengingat itu, Andini masih kesal sekali. Padahal dia sudah memberikan Alva pelajaran dengan menarik semua fasilitas yang suaminya berikan setelah mengetahui masalah rumah tangga anaknya. Alva selama setahun tinggal di apartemen dan dia mulai hidup menggantungkan pekerjaannya di kantor sang papa. Sebelum akhirnya bisa kembali mendapatkan posisinya sebagai CEO Xanders Corp berkat kecerdasannya yang bisa membuat perusahaan melambung tinggi hingga ke mancanegara.
"Tapi Ma—"
"Dari semalam Mama nggak bisa tidur, Al. Mama jadi kepikiran Luna dan cucu Mama. Masa selama enam tahun ini Mama nggak tahu kalau ternyata udah punya cucu!" Mama Andini mencebik, ingin nangis.
Alva mengacak rambutnya frustasi melihat Mamanya yang seperti itu. Tentu saja dia tidak tega apalagi mata Mamanya sudah berkaca-kaca. Sejujurnya bukan hanya Mama yang ingin sekali bisa bertemu dan bicara baik-baik dengan Aluna dan Valen, Alva juga. Namun, melihat betapa bencinya Aluna padanya membuat Alva merasa perih sekali dan dia tidak bisa menerobos pintu hati Aluna lagi. Wanita itu sudah menggemboknya rapat bahkan kini mungkin hanya tinggal kebencian yang tersisa dihatinya.
Andini menghiraukan ucapan sang putra, pokoknya dia harus bertemu dengan Aluna dan sang cucu. Andini langsung berdiri dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua, mengambil sesuatu yang sejak beberapa tahun lalu telah dia simpan.
Benda yang sejatinya dia peruntukan untuk Aluna, Andini membelikan sebuah gelang cantik pada saat Andini tengah membelikan cincin nikah Alva dan Mutia. Ketika itu, Andini merasa suka sekali dengan gelang cantik dengan bentuk daun kecil yang terhubung satu sama lain tersebut.
"Tante harap, kamu mau memaafkan Tante dan keluarga Tante ya, Lun," gumam Andini mengingat wajah cantik Aluna.
Andini membuka laci perhiasannya dan mengambil sebuah dompet kulit yang berisi gelang itu. Kalau Alva tahu jika gelang itu harganya lebih mahal dari dua cincin pernikahan Alva dan Mutia, mungkin saat itu Alva tidak akan terima. Tetapi, beda dengan sekarang di mana putranya pasti akan memberikan yang lebih berharga lagi dari gelang itu. Alva setelah bercerai dari Mutia selalu koar-koar jika dia mencintai Aluna dan tengah menunggunya kembali untuk mengejar cintanya.
"Ma, ini pagi-pagi sekali, loh. Bahkan mereka belum sarapan," ujar Alva saat mereka menuju ke rumah Aluna.
Tadi papanya ingin ikut, tetapi Alva mencegahnya. Nanti saja katanya, papa datang saat melamar Aluna.
"Nggak apa-apa, sekalian kita sarapan bareng, Mama udah bawa beberapa lauk dari rumah yang di masak simbok pagi tadi." Alva hanya bisa menghela napas pasrah.
Dalam hati berdoa semoga dengan kedatangan sang Mamanya, hati Aluna bisa sedikit melunak.
***
Andini memeluk Aluna dengan begitu erat bahkan wanita paruh baya yang masih cantik di usianya itu menangis sesenggukan di dekapan Aluna.
"Luna, ini beneran kamu, sayang? Tante kangen banget. Kamu selama ini pergi kemana? Kenapa nggak pamitan sama Tante?"
Aluna hanya mengelus punggung Tante Andini ketika wanita yang telah melahirkan Alva itu memberondong pertanyaan yang sangat sulit Luna jawab.
"Maaf Tante." Hanya itu yang bisa Luna jawab.
"Nggak apa-apa, sayang. Kamu nggak perlu minta maaf." Andini masih terisak, dia merasakan perasaan yang campur aduk. Antara senang, bahagia, terharu, sedih, dan masih banyak lagi. Apalagi setelah Alva cerita semalam jika dia memiliki anak dari Luna. Saat itu yang ingin mama Andini tahu, kapan mereka melakukan itu dan kenapa berani melakukannya kalau akhirnya tidak bisa bersama.
Alva hanya menjawab jika keduanya saat itu mabuk parah sampai melakukan hal tersebut dan Alva langsung menolak mentah-mentah janin yang ada di dalam rahim Aluna ketika dua bulan kemudian Aluna datang membawa sebuah tespek padanya.
"Tante, apa kabar?" tanya Aluna saat pelukan mereka lepas. Andini masih terisak tetapi bibirnya tersenyum.
"Tante sehat, gimana keadaan kamu, nak?" Aluna tersenyum canggung karena melihat mamanya Alva menangis sambil memegang bahunya. Terlihat jelas sekali jika Tante Andini memang benar-benar menyayanginya.
"Luna sehat, Tante. Mari masuk." Aluna mempersilahkan Andini masuk dan tidak menatap ke arah Alva sama sekali, padahal sejak tadi pria itu berdiri tidak jauh di belakang sang Mama. Alva sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Aluna–mengabaikannya. Aluna berhak melakukan itu.
Di dalam, Papa Bima dan Mama Indira ternyata langsung menemui sang tamu yang baru saja duduk di sofa ruang tamu.
"Loh, Andini? Pagi-pagi sekali," ujar Mama Indira ketika baru ketemu, setelahnya mereka cipika-cipiki karena memang sudah menjadi kebiasaan.
"Kamu nih, sakit nggak kasih tahu. Sekarang gimana keadaanmu?" tanya Andini duduk di sebelah Indira.
"Alhamdulillah, udah sehat. Apalagi Luna sudah kembali," jawab Indira.
"Iya, loh. Aku kaget banget saat Alva mengatakan kalau Aluna kembali, makanya pagi-pagi aku langsung ke sini untuk bertemu dengan Aluna dan juga melihat keadaanmu."
Aluna menatap Tante Andini ketika wanita itu juga menatapnya. Dia tidak kaget lagi, Alva pasti akan cerita tentang kepulangannya dan juga tentang Valen.
"Mamiii ...."
Nah, kan. Baru saja dibatin, putranya itu sudah muncul.
Semua orang dewasa langsung menatap Valen yang berlari ke arah Aluna dan memeluk Maminya yang sudah duduk di sofa single.
Andini dan Alva langsung terpaku di tempatnya. Sedangan Bima dan Indira saling memandang dan ketegangan pun terjadi karena dengan pasti akhirnya keluarga Xanders cepat atau lambat pasti akan tahu jika mereka memiliki penerus atau pewaris.
***
Aluna merasa tidak nyaman, apalagi ketika melihat Tante Andini sejak tadi membuat Alva tidak berkutik. Meksi tidak main tangan, tetapi kata-kata Tante Andini berhasil membuatnya merasa merinding.
"Kamu b***t, Alva! Aku tidak pernah melahirkan seorang anak yang b***t sepertimu!"
Alva hanya menunduk dan Valen sudah dibawa papa Bima masuk ke dalam. Di sana hanya tersisa Aluna, Mama Indira, Tante Andini dan tentunya Alva yang sedang di sidang.
"Maaf, Ma. Alva salah, Alva menyesal!"
Aluna sebenarnya malas sekali melihat drama ini. Seperti dia harus segera menghentikannya.
"Tante, anu ... sebaiknya kita sarapan dulu. Udah jam 7 lebih," ujar Aluna yang membuat Andini langsung mengalihkan pandangannya pada wanita yang telah memberikannya seorang cucu itu.
Senyum manis terbit di bibir Andini. "Iya, sayang. Aduh, maaf ya aku jadi marah-marah nggak jelas gini. Habisnya kecewa banget sama Alva."
"Ya, tapi jangan di sini juga kalau mau marah sama anak Tante itu," batin Aluna. Tentu dia tidak mungkin mengatakan hal itu karena biar bagaimanapun dia masih sangat menghormatinya Andini.
***
Setelah sarapan, Alva bermain dengan Valen di halaman depan, main bola katanya dan Andini ingin bicara empat mata dengan Luna.
Aluna mengajak Andini ke ruang keluarga dan di sana juga ada Indira. Papa Bima sudah berangkat ke kantor karena memang jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Alva sendiri memilih untuk bolos dan meminta Angga untuk menggantikannya bertemu klien hari ini. Dia berharap jika mamanya bisa membujuk Aluna, paling tidak untuk memaafkannya atau bahkan lebih dari itu, mama melamar Aluna untuknya.
"Luna, sebagai mamanya Alva, tante minta maaf karena kebejatan anak tante membuatmu jadi merasa tersakiti selama ini. Jujur, Tante bener-bener baru tahu tentang Valen dan selama ini Alva menyembunyikannya secara apik, Alva cuma bilang sama keluarga besarnya kalau dia sedang mencari mu karena dia sadar jika telah mencintaimu. Tapi, Tante tetap tidak membenarkan tindakannya yang lepas tanggung jawab begitu saja."
Aluna hanya diam, dia tidak merasa sedih ataupun senang. Biasa saja dan tidak ada rasa apa-apa lagi. Luna memang sudah dalam fase mati rasa. Jika Tante Andini meminta Aluna untuk memaafkan putranya, jawabannya dia belum ingin memaafkan.
"Luna, Tante tidak akan meminta kamu memaafkan anak Tante. Bahkan jika kamu ingin mencarikan Papa untuk Valen, Tante akan sangat mendukung. Biarkan dia menyesal seumur hidupnya karena telah menyakiti kamu, Nak. Tante nggak bisa bayangin gimana keadaanmu saat mengandung Valen selama 9 bulan dan melahirkan sendirian."
Alva mendengar apa yang diucapkan Mamanya dan entah kenapa rasanya hatinya perih sekali, sesak. Akan tetapi, dia tidak rela jika Aluna harus bersama dengan lelaki lain.
Bersambung.