Pelet, part 17

1049 Words
Keringat dingin mengalir deras membasahi tubuh Udin. Tubuhnya kaku dan lidahnya kelu. Dia ingin berteriak sekuat tenaga tapi tak bisa. Di depannya, sebuah bayangan putih berdiri diam. Sosok putih itu memiliki tinggi lebih dari dua meter dengan beberapa ikatan di bagian tubuhnya. Wajahnya hitam terbakar dengan mata menatap tajam ke arah Udin. Sekalipun memiliki wajah menghitam menyeramkan, Udin masih mengenali sosok pocong di depannya itu. “Ha… Ha… Haji Imron?” Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya Udin bisa mengeluarkan suara terbata-bata dari bibirnya. Tak ada sahutan dari sosok pocong di depannya. Dia masih tetap saja berdiri diam dan menatap tajam ke arah Udin. Tubuh Udin masih tetap membeku meskipun lidahnya tak lagi kelu. Dia berusaha sekuat tenaga membaca semua do’a dan ayat yang dia bisa. Sekalipun hanya suara desisan dan bibir berkomat-kamit saja yang berhasil dia capai dengan usahanya. Setelah sekian lama dicekam ketakutan karena sosok pocong mendiang Haji Imron, Udin terkulai lemas di tempatnya ketika sosok itu menghilang dan tak lagi menampakkan wujudnya.Udin tersengal-sengal dengan nafas memburu, mencoba untuk kembali memenuhi rongga dadanya dengan udara dan berharap bisa meredakan ketegangan yang barusan dia alami. Beberapa menit kemudian, Udin berhasil menenangkan diri. Dia mencoba berpikir, apa alasan kenapa tiba-tiba sosok pocong Haji Imron tiba-tiba menghantui dirinya. Apakah ini adalah efek samping dari ilmu pelet yang dia praktekkan? Kalau lah memang ini efek sampingnya, kenapa dia baru mengalaminya sekarang? Apa yang istimewa dari hari ini? Saat itulah Udin tersadar, hari ini ke-empat puluh sejak kematian mendiang Haji Imron. Ingatan Udin lalu kembali melayang ke ritual yang dia lakukan empat puluh hari lalu. Sejak hari itu, Udin sudah melalui banyak hal, termasuk hubungannya dengan Mbak Ida dan Bu Lurah. Apa yang Udin alami selama empat puluh hari ini, begitu berwarna, mengalahkan kehidupan masa remajanya dulu. Tapi… Teror dari sosok pocong Haji Imron kembali membuat bulu kuduk Uding merinding berdiri. Dia juga mulai curiga jika ini adalah awal dari teror panjang yang mungkin akan selalu dia alami setiap empat puluh hari, seumur hidupnya. Membayangkannya saja membuat wajah Udin pucat pasi. ===== “Besok aku mau ijin, Kang Bas,” kata Udin ke arah Basari. “Mau ke mana?” tanya Basari galak. “Ada urusan keluarga dikit, harus ke luar kampung,” jawab Udin. “Kamu itu!!” sungut Basari. Jelas saja dia kesal, tanpa Udin, Basari sudah membayangkan dirinya harus bersusah payah menuang gabah ke mesin selep dan mengangkut sekam ke atas pick up besok. “Terima kasih, Kang,” jawab Udin tak lama kemudian. ===== Udin memperhatikan sekelilingnya. Dia kini berada di tengah kebun singkong yang sudah memasuki masa panennya. Tinggi pokok singkong di sekitar Udin melebihi tinggi badannya sendiri. Kebun ini terawat rapi dan rumput-rumputnya rajin disiangi. Tak lama kemudian, Udin berjalan di sela-sela pokok singkong menuju ke arah sebuah rumah kayu yang berukuran tak terlalu besar di tengah-tengah kebun. Sesampainya di depan rumah kayu itu, Udin hendak mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat tapi urung melakukannya. Di sebelah samping kanan rumah, Udin melihat seorang kakek-kakek sedang mengasah cangkulnya sambil duduk di atas sebuah kursi yang hanya terbuat dari batang pohon yang dipotong pendek. Udin lalu berjalan menuju ke arah kakek itu. Sesampainya di dekat sang Kakek, Udin menghentikan langkahnya dan menunggu. Dia membiarkan kakek itu menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian, sang Kakek menyadari kehadiran Udin dan mengangkat kepalanya. Dia tersenyum ke arah Udin sambil bergumam pelan, “Maaf, tadi Mbah nggak memperhatikan kalau ada tamu datang.” “Mboten nopo-nopo, Mbah. Dilanjut saja,” jawab Udin. “Sudah, nanti saja, Mbah lanjut lagi. Ayo masuk ke dalam,” jawab si Kakek sambil berdiri dan mengajak Udin masuk ke dalam rumahnya. Udin mengikuti si Kakek masuk ke dalam rumah kayu. Meskipun dari luar terlihat sederhana, tapi bagian dalam rumah terlihat rapi dan bersih. Udin duduk di sebuah kursi yang terbuat dari bambu setelah dipersilahkan oleh si Kakek. “Jauh ya perjalanannya? Maklum rumah Mbah di pelosok,” kata si Kakek sambil keluar dari ruang belakang dengan nampan di tangannya yang berisi dua buah gelas minuman dan sepiring singkong rebus yang masih mengepulkan uap panas. “Mboten kok, Mbah,” jawab Udin sambil berdiri dan menyambut nampan dari tangan si Kakek. “Monggo dicicipi,” kata Si Kakek mempersilahkan Udin menikmati hidangan yang dia sajikan di atas meja. “Terimakasih Mbah, malah ngrepoti,” jawab Udin berbasa-basi. Tak lama kemudian, Udin dan si Mbah yang bernama Wongso itu pun mulai bercakap-cakap untuk memperkenalkan diri. Setengah jam berlalu, Udin dan Mbah Wongso asyik membicarakan hal-hal yang sebenarnya tak penting dan lebih sekedar untuk mengakrabkan diri saja. Udin sendiri juga sungkan untuk mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah Mbah Wongso yang dikenal sebagai orang pintar itu. “Jadi gini, Le. Kata orang-orang tua dulu, wong nandur iku bakal ngunduh,” kata Mbah Wongso tiba-tiba dan agak melenceng dari obrolan mereka sebelumnya yang sedang membahas tentang berkebun singkong. Udin terdiam dan terlihat berpikir. Sekalipun dia bisa menebak maksud kata-kata Mbah Wongso barusan, dia memilih untuk diam dan mendengarkan penjelasan dari si Kakek di depannya. “Seseorang akan mendapatkan balasan yang setimpal dari perbuatan yang dia lakukan. Baik ketika dia masih hidup, atau jika tidak, setelah dia mati. Semua ada balasannya. Perbuatan baik atau buruk,” lanjut Mbah Wongso. “Yang terpenting adalah keseimbangan. Tak seperti hukum manusia, yang mungkin tak adil, hukum Gusti itu adil. Balasan yang kamu terima, akan sesuai dengan perbuatan yang kamu lakukan.” “Sekarang, Mbah mau tanya, Le. Masalah yang kamu hadapi sekarang, apakah sudah setimpal dengan perbuatan yang kamu lakukan?” tanya Mbah Wongso. Udin terdiam dan berpikir. Ritual pelet yang dia lakukan adalah sesuatu yang keji. Ditambah lagi, apa yang telah dia lakukan kepada dua orang wanita yang sebenarnya bersatus sudah berkeluarga. Jika dibandingkan dengan gangguan dari sosok pocong mendiang Haji Imron, tentunya tak sebanding. Udin seharusnya akan merasakan karma yang lebih berat. “Yang saya alami mungkin tak sebanding dengan perbuatan yang telah saya lakukan, Mbah,” jawab Udin pelan sambil menundukkan kepalanya. “Lha terus kalau masih nggak sebanding, kenapa kamu masih datang ke sini, Le?” tanya Mbah Wongso tajam. “Saya…” Udin tak bisa menjawab pertanyaan kakek tua di depannya itu. Mbah Wongso menarik napas dalam lalu meraih gelas teh hangat di atas meja dan meminumnya. Dia lalu meletakkan lagi gelas minuman itu dan melihat ke arah kebun singkong di luar rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD