Ketika pemeriksaan Stevi selesai, aku keluar dan menemui Argan. Barulah saat itu mataku bertemu dengan tatapan Lean yang seperti ingin membunuhku. Aku tidak pernah menginginkan memiliki musuh, sejak awal aku bertemu Moana aku sungguh tidak tahu bahwa Lean dan Moana pernah berpacaran. Aku baru tahu bahwa keduanya memiliki hubungan setelah aku berpacaran dengan Moana tiga bulan. Saat itu aku mengalami kebimbangan yang sulit untuk ku ambil jalan keluarnya.
Satu sisi aku mengenal Lean dan tahu bahwa dia tidak bisa move on dari mantan pacarnya, dan di sisi lain aku juga tidak bisa memutuskan hubungan begitu saja dengan Moana dengan alasan tidak enak pada Lean. Karena itu, aku terus melanjutkan hubunganku dengan Moana hingga saat ini karena sudah terlanjur kenal dengan orang tua Moana. Tapi semua ini berlangsung, bukan tanpa usahaku untuk mengakhiri. Aku sudah pernah berusaha mengakhiri hubunganku dengan Moana beberapa kali dan semuanya tidak ada yang berhasil karena Moana selalu mengancam akan bunuh diri jika aku meninggalkannya.
Lean sudah maju hendak memukulku tapi ditarik Argan mundur. “Lo pulang sekarang! Adik gue lagi sakit dan gue benci ada keributan.” Ucap Argan memperingatkan. Lean mendengus kesal dan sejujurnya jika dia memukulku aku tidak akan melawan tapi tanpa aku sangka, Lean kembali mundur.
“Demi Stevi, apapun akan gue lakukan.” Ucap Lean kemudian pergi yang justru membuatku mengernyit tidak suka mendengarnya. Memangnya apa hubungan Lean dan Stevi? Kenapa demi Stevi dia akan melakukan segalanya? Entah kenapa membayangkan apa yang mungkin saja terjadi antara Lean dan Stevi membuatku kesal. Jika memang benar Lean ada hubungan dengan Stevi mungkinkah ini adalah karma yang dikirim tuhan padaku karena aku pernah mengambil orang yang sangat dicintai oleh Lean?
“Gimana keadaan Stevi?” Tanya Argan cukup tenang. Sekalipun dari raut wajahnya terlihat frustasi, tapi dia cukup hebat memisahkan antara urusan pribadi dan urusan pekerjaanku.
Aku terdiam cukup lama untuk menjawab pertanyaan Argan. Untuk aku secara pribadi mendengar keterangan Argan bahwa Stevi mengidap suatu penyakit yang menurutku cukup mengkhawatirkan sudah membuatku merasa seperti tertusuk pedang. Apalagi ketika aku memeriksanya langsung tadi.
“Apa belakangan ini dia kelelahan?” Tanyaku pelan-pelan. Argan mendesah lelah.
“Sulit menyuruhnya berhenti menulis karena dia terlihat bahagia ketika melakukannya.” Jawaban Argan seperti membuatku ikut merasakan sakit.
“Dia tidak boleh kelelahan dan tidak boleh stress lo tahu kan?” Ucapku lagi dan Argan mengangguk dengan terlihat begitu sedih. Karena mengetahui ini sekarang aku jadi mengerti kenapa Argan sangat posesif pada Stevi. Untuk pasien dengan diagnosis Kardiomiopati memang harus sangat hati-hati. Terutama dalam menjaga pola hidup. Sementara profesi sebagai penulis seperti yang Stevi gemari akan membuatnya sering begadang, stress dan kelelahan karena berjam-jam berada di depan komputer. Pekerjaan ini sangat beresiko bagi pengidap salah satu penyakit jantung itu jika pasien tidak mampu mengatur pola hidupnya dengan lebih baik.
“Gue nggak nyuruh lo buat nyuruh Stevi berhenti menulis karena gue juga tahu dia bahagia melakukannya tapi lo bantu dia buat atur pola hidup. Pola hidup sehat adalah tentang bagaimana cara kita mengatur waktu agar tetap produktif tapi juga tetap sehat. Jika selama ini dia menulis di malam hari dan membuatnya kelelehan karena begadang itu melelahan lo harus bantu dia agar bisa menulis di siang hari sehingga waktu tidurnya di malam hari tidak terganggu. Begitupun dengan pola makan, jika dia terus-menerus begadang dan siang hari dia gunakan untuk tidur maka pola makannya juga jadi tidak teratur. Ini kondisi yang serius Ar, lo dan gue sama-sama tahu bahwa kita tidak akan sanggup jika Stevi sampai kenapa-napa. Gue nggak bisa melakukan tugas itu karena gue bukan siapa-siapa, tapi lo bisa karena dia adik lu.” Ujarku panjang lebar dan lagi-lagi Argan mengangguk saja. Dia terlihat begitu sedih dan ketakutan. Aku tidak menyangka akan melihat sisi Argan yang seperti ini. Karena selama ini aku hanya melihat sisi Argan yang tangguh, mandiri, berprestasi, mudah bergaul dan banyak di kagumi wanita.
“Thank Rein, tapi ini bukan berarti gue akan biarin lo deketin Stevi lagi.” Ucap Argan diakhiri dengan lirikan penuh peringatan dan kali ini aku mengangguk.
“Gue mengerti, dan gue nggak akan campur adukkan antara pekerjaan dengan urusan pribadi. Ini jadwal periksanya jika lo mau gue yang tangani dia.” Ucapku menyerahkan lembaran kertas yang langsung di ambil oleh Argan.
“Gue pilih lo karena gue nggak punya pilihan.” Ujar Argan ketus dan aku mengangguk lagi. Sekaligus bersyukur di dalam hati karena kesempatan ini datang padaku seolah Tuhan sedang merestui usahaku untuk kembali mendekati Stevi karena dulu gagal dengan tragis. Tuhan seperti sedang memberiku kesempatan lagi untuk memperbaiki semua kesalahan yang aku lakukan dulu.
***
Aku cukup lama diam di dalam mobil ketika keluar dari Rumah Sakit. Merasa bersalah karena secara tidak langsung aku menambah beban Stevi dengan menuliskan kalimat-kalimat kritikan yang tergolong jahat itu hingga membuatnya harus datang ke tempat pertemuan kami dan mungkin karena itu dia kelelahan. Tapi Argan cukup hebat karena tidak memukulku lagi padahal aku yakin dia menyadarinya. Atau mungkin perasaan sedang kalang kabut sehingga dia tidak berpikir jernih? Aku tidak tahu apa harus bersyukur karena hal itu tidak terjhadi atau tidak karena perasaanku juga tak kalah buruk dari Argan. Membayangkan bahwa kejadian terburuk bisa saja terjadi pada Stevi entah kenapa membuatku sangat frustasi. Selama ini aku bertahan hidup karena aku tahu bahwa masih ada Stevi di dunia ini sekalipun aku tidak boleh menemuianya, tapi jika aku tahu bahwa di dunia ini tidak lagi ada Stevi aku tidak yakin bahwa aku masih sanggup untuk terus hidup.
Aku membuka ponsel dan membuka kembali akun Ranjani1201 milik Stevi. Kemudian aku sadar bahwa semua tulisan Stevi berisi tentang tokoh utama seorang pangeran dan tokoh wanita periang yang sehat. Konflik yang tidak terlalu berat dan kehidupan menyenangkan yang diisi dengan beberapa pekerjaan yang semuanya mungkin saja adalah pekerjaan yang diinginkan oleh Stevi tapi tidak bisa dia lakukan karena sakit yang dia derita. Cerita yang awalnya aku sebut membosankan karena semuanya seperti berpusat pada pangeran tampan yang bertemu orang biasa ini merupakan harapan dan mimpi Stevi yang mungkin tidak mampu dia ucapkan pada keluarga atau orang-orang di sekitarnya karena takut membuat mereka sedih. Dan bisa-bisanya aku menghina semua itu tanpa mau tahu bahwa Stevi menulisnya dengan mempertaruhkan nyawa.
Sebutir air mata jatuh membasahi pipiku. Aku seperti di sadarkan oleh kenyataan bahwa berbicara buruk tentang orang lain itu tidaklah benar. Karena kita tidak pernah tahu bagaimana orang itu menjalani kehidupannya, kita tidak pernah tahu bagaimana dia bertahan dengan masalahnya yang tidak dia beritahu pada orang lain dan kita juga tidak pernah tahu bagaimana usaha yang orang itu lakukan. Membayangkan sudah melakukan segalanya dengan segenap kemampuan yang dimiliki tapi masih di hina dan di caci maki oleh orang lain yang tidak tahu apa-apa pasti rasanya akan sangat menyakitkan sekali.
“Loh mas udah pulang, nggak jadi ketemu kliennya mas Rian?” Tanya ibuku ketika melihatku masuk ke dalam rumah.
“Di undur jam sembilan malam buk, jadi mas Rian aja yang mauketemu katanya.” Jawabku jujur dan ibu tersenyum saja. Ketika masuk ke dalam rumah aku menemukan Ayah sudah pulang kantor dan duduk di sofa depan ruang Tv sambil menggendong Riani.
“Kenapa ekspresi kamu kaya gitu?” Tanya ayah sangat peka. Aku terseyum tipis.
“Rein mandi dulu ya Yah, nanti Rein cerita.” Jawabku membuat ayah tersenyum puas. Beliau memang paling suka mendengar cerita anak-anaknya tentang apapun dan itu membuatku terbiasa menceritakan segalanya pada ayah.
“Ya sudah sana mandi terus makan dulu baru kita ngobrol.” Ucap beliau yang aku angguki sambil berjalan menuju kamarku. Mandi dengan cepat dan masuk ke dapur untuk mencari makanan. Tapi sungguh kenyataan tentang Stevi mengidap penyakit yang mengkhawatirkan itu membuatku selalu memikirkannya. Aku bahkan belum membuka ponselku kembali setelah pulang tadi padahal aku tahu Moana mengirimiku beberapa pesan.
“Kenapa? Orang tua Moana lagi?” Tanya Ayah ketika aku baru saja duduk di salah satu kursi sebelah ayah.
“Bukan Yah, tapi Rein bertemu lagi dengan Stevi.” Ujarku mulai bercerita. Ayah terlihat antusias dan berusaha mengingat tentang Stevi.
“Ahh, gadis yang kamu sukai jaman kuliah dulu?”
“Iya yah.”
“Terus?” Tanya beliau dengan penasaran dan setelahnya aku menceritakan segalanya.
“Ingat Rein, laki-laki harus bertanggung jawab. Kamu sudah memiliki Moana dan karena itu jika kamu menginginkan untuk mendekati Stevi lagi kamu harus menyelesaikannya dulu. Sejak awal ayah tahu bahwa perasaanmu pada Moana itu hanya setengah dan sisanya adalah rasa hormat kamu pada orangtuanya saja. Ayah hendak bilang tidak setuju kamu dengannya tapi takut melukai perasaan kamu. Jika kamu berusaha dekat dengan Stevi sementara kamu masih bersama Moana itu salah Rein. Itu akan melukai Stevi dan Moana serta melukai diri kamu sendiri.” Ayah memberikan wejangan panjang yang semuanya bisa aku mengerti dengan baik. Sejak awal aku memang tahu bahwa ayah dan ibu tidak begitu menyukai Moana karena cara kami hidup sangat berbeda. Moana yang terbiasa hidup mewah sementara keluargaku selalu hidup dengan sederhana. Tapi ayah dan ibuk tidak pernah mengatakannya karena menghargai pilihanku. Aku sungguh bersyukur memiliki orang tua seperti mereka.
“Rein tahu kok yah, Rein juga belum yakin dengan keputusan Rein ini. Tapi yang jelas Rein bersyukur karena sekarang profesi Rein adalah seorang dokter yang setidaknya bisa berguna untuk Stevi. Mungkin ini terlalu egois jika Rein menyebut bahwa ini adalah penebusan dosa atas apa yang Rein lakukan dulu pada Stevi tapi Rein senang karena seperti di beri kesempatan untuk memperbaiki kesalahan Rein.” Aku mendesah lega setelah mengucapkannya dan aku bisa merasakan bahwa ayah menepuk bahuku.
“Ayah masih tidak yakin bahwa kejadian dulu itu kamu yang salah. Tapi anggap saja begitu dan perbaiki semuanya tanpa menyakiti siapapun. Karena Rein yang ayah kenal adalah anak yang selalu bertanggungjawab.”
“Terimakasih karena ayah selalu berada di pihak Rein.” Ucapku tulus.
“Namanya juga orang tua, makanya cepet kasih ayah cucu dong biar kamu bisa merasakan apa yang ayah rasakan.” Balas Ayah membuatku tertawa karena lagi-lagi membahas soal ini padahal ayah sudah memiliki Riani. Tapi jika cucu yang ayah inginkan berasal dari rahim Stevi mungkin akupun akan merasa sangat bahagia. Karena sejak bertemu dengannya lagi entah kenapa mimpi-mimpi yang dulu hilang mulai bermunculan lagi, termasuk tentang mimpi-mimpi tentang pernikahan dan memiliki anak. Aku tahu bahwa mungkin prosesnya tidak akan mudah terlebih karena yang aku hadapi adalah Argan dan Lean. Tapi masalahnya adalah Moana. Bisakah aku melepaskannya dengan resiko mungkin pekerjaanku akan terganggu mengingat seberapa berkuasanya orangtua gadis itu di bidangku? Entahlah aku sendiri masih belum bisa memutuskannya.
***