Icha belum sanggup membalas sapaan Andra. Dia sibuk mengatur deru napasnya yang memburu diikuti detak jatung yang tidak beraturan, antara sedih, malu dan kecewa, kembali mengingat momen memalukan di apartemen Andra. “Icha?” suara Andra kembali terdengar. Kali ini lebih pelan dan terdengar serak. “Iya, Pak Andra,” balas Icha pelan. Bibirnya gemetar, tangan kanan yang memegang ponsel juga terlihat gemetar. Icha tidak bisa menggambarkan suasana hatinya sore itu. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia senang kembali mendengar suara Andra. “Bab lima kamu gimana, Cha? Ada perkembangan nggak? Ini sudah satu bulan lo. Kok belum ada kabar dari kamu.” Tenggorokan Icha langsung terasa kering, dia tidak tahu harus menjawab apa, karena dia memang sama sekali belum memulai bab lima skri