Chapter 1

1071 Words
Devanio Arkan Emeraldi Utama dan Devanio Arlan Emeraldi Utama adalah putra kembar yang dilahirkan Inka beberapa bulan pasca Gibran meninggal. Arkan mempunyai rambut hitam legam serta wajah yang benar-benar memperlihatkan ciri khas orang Indonesia, sedangkan Arlan berambut pirang, alis tebal, hidung mancung, bibir kemerahan, tak terlihat seperti kembaran Arkan justru wajahnya akan sanggup mengingatkan siapapun pada sosok Gibran saking miripnya. Setelah mendengar penuturan dokter yang menyatakan kalau Arkan sang kakak jauh lebih lemah dari adiknya membuat Inka juga Devan ketakutan, takut kalau mereka akan kehilangan putra mereka lagi. Rasa takut itu pula yang menyebabkan Arlan diasingkan ah–– dititipkan tepatnya dengan alasan ingin fokus mengurus Arkan. "Adek jangan nakal, ya, sama Nenek. Bunda marah kalau dengar Ade nakal. Bunda ke Bandung satu bulan sekali." "Kenapa Adek nggak boleh sama Aa, Bunda? Adek juga mau sama Bunda sama Ayah di Jakarta." "Aa sakit. Bunda harus fokus mengurusi Aa, nanti kalau Adek sudah besar baru boleh ke Jakarta." Arlan yang pada waktu itu baru berusia tujuh tahun hanya bisa mengangguk pasrah. Sambil menunduk bocah laki-laki itu menghampiri sang kakak kemudian menggenggam tangannya,"Aa, cepat sembuh, ya? Adek pasti doain dari sini." Dengan satu tarikan Arkan memeluk erat kembarannya,"Adek jaga diri di sini. Harus sayang sama Nenek dan Kakek." Arlan mengepalkan tangannya. Emosinya kerap kali tersulut ketika mengingat semua kenangan itu. Nyaris sepuluh tahun Ia hidup terpisah dari ayah, bunda, juga kembarannya. Satu bulan sekali yang dijanjikan sang bunda tak kunjung ditepati. Setiap dihubungi mereka selalu beralasan, entah Arkan sakit, ayahnya sibuk, juga alasan-alasan lain yang sanggup memupus keceriaan Arlan. "Adek .... " Arlan menoleh dan mendapati Salma sang nenek sudah berdiri di belakangnya,"Ada apa, Nek?" "Adek kenapa melamun? Adek teh kangen, ya, sama Bunda, sama Ayah?" Salma mengusap puncak kepala Arlan. Arlan menggeleng cepat. Sebisa mungkin Ia menghapus kerinduan yang ditujukan kepada orang tua juga kembarannya. Mereka jahat dan Arlan benci mereka semua. "Adek jangan bohong sama Nenek. Nenek tahu apa yang Adek rasakan sekarang." Arlan tersenyum getir. "Adek nggak perduli lagi sama mereka semua, Nek. Mereka nggak sayang sama Adek. Jadi untuk apa Adek mengharapkan mereka?" "Hush ... Nggak boleh begitu, pamali durhaka sama orang tua. Nenek nggak pernah ajarin Adek bicara seperti itu." "Adek sudah cukup senang punya Nenek sama Kakek." "Nanti biar Nenek telfon Bundamu, ya?" "Nggak usah, Nek. Adek pamit dulu, ya, mau ke rumah Gilang." "Mau apa? Sudah mau magrib, Dek. Nanti Kakek marah." "Sebentar," setelah mencium punggung tangan Salma, Arlan langsung ngabrit meninggalkan rumah neneknya. *** Inka mengapit sebuah ponsel dengan kepalanya. Kedua tangannya sibuk memeras sebuah handuk kecil untuk mengompres Arkan. Karena tidak sengaja kehujanan ketika pulang sekolah, akhirnya Arkan jatuh sakit. "Iya, Ma, Inka tahu. Tapi Arkan lagi sakit. Inka nggak bisa ke Bandung sekarang. Ada apa emang, Ma?" "Arlan butuh kamu, Inka! Sudah sepuluh tahun kamu tidak pernah menjenguknya. Kamu pikir seperti apa perasaan Arlan saat ini?" Menyadari Bundanya terdiam cukup lama, Arkan langsung mendongak memperhatikan perbincangan sang Bunda dengan Neneknya. "Inka paham bagaimana perasaan Arlan, tapi mau bagaimana lagi, Ma? Nanti kalau sempat Inka pasti ke Bandung." "Bergerak sedikit lebih cepat sebelum Arlan benar-benar memutuskan untuk menjauh dari kamu. Mama heran kejadian Gibran 17 tahun yang lalu rupanya tidak jadi pelajaran berharga. Semoga kamu tidak menyesal dengan apa yang akan terjadi pada Arlan suatu hari nanti." Klik! Inka menatap ponselnya. Sambungan langsung diputus begitu saja oleh sang bunda. Inka memang merindukan Arlan, tapi takdir memang belum mengizinkan mereka kembali berjumpa. "Bunda kangen sama Adek?" Inka menggeleng,"Aa tidur aja, jangan banyak pikiran." "Bunda, Adek udah besar. Apa nggak sebaiknya Adek di sini juga?" "Nanti Ade nggak keurus kalau tinggal di sini. Pokoknya Bunda cuma mau fokus sama Aa." Arkan benar-benar tidak habis pikir kenapa Bundanya sangat tidak ingin fokusnya terbagi. Apa penyebabnya, sampai sekarang Arkan tidak tahu. "Bunda, apa Bunda nggak kangen sama Adek? Kalau nggak, coba Bunda bayangkan gimana kangennya Adek sama Bunda. Sepuluh tahun, Bunda. Bunda melewatkan banyak hal tentang Adek. Bagaimana Adek tumbuh, sekolahya, semua tentang Adek Bunda nggak mau tahu." "Aa lagi sakit. Adek kan sehat-sehat saja di sana." Arkan bangkit, melempar asal handuk kecil yang semula menempel di keningnya,"Bunda itu kenapa, sih? Demam aja nggak bakal bikin Aa mati! Bunda sama Ayah benar-benar egois," Arkan langsung keluar dari kamarnya meninggalkan sang bunda. Inka tertegun mendengar kata mati yang dengan luwes dilontarkan Arkan. Benarkah selama ini Ia egois? Tapi bukan itu maksudnya, Inka hanya takut kalau Apa yang terjadi pada Gibran akan terulang pada Arkan yang kondisi tubuhnya lemah. Inka mengambil ponselnya kembali kemudian mengetik sebuah pesan untuk Arlan. To : Devanio Arlan Adek, gimana kalau Adek pindah sekolahnya ke Jakarta? Adek pulang ke sini. Tinggal sama kita ============================ Tak berselang lama ponselnya bergetar. From : Devanio Arlan Plg? Rmh Ad dsni. ============================ Inka menghela napas berat. Sepertinya Arlan marah padanya. Ya, sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar. To : Devanio Arlan Adek marah sama Bunda? ============================ From : Devanio Arlan Ga. ============================ Inka memang tidak pernah mendengar kenakalan apapun dilakukan Arlan di sana, entah di tutup-tutupi oleh mamanya karena sang Mama hanya melaporkan prestasi-prestasi Arlan. Mungkin kenakalan Gibran hanya menurun pada Arkan, dalam sebulan ini saja Inka dipanggil beberapa kali ke sekolah karena Arkan nakal. To : Devanio Arlan Maafin Bunda, ya, Dek? Bunda janji kapan-kapan Bunda jenguk Adek ke Bandung. ============================ From : Devanio Arlan Gpp. Jgn janji! ============================ *** Arlan yang saat ini berada di rumah sahabatnya mendengus sebal membaca pesan terakhir yang dikirim bundanya. From : Bunda Inka Maafin Bunda, ya, Dek? Bunda janji kapan-kapan Bunda jenguk Adek ke Bandung. ============================ "Janji aja terus. Aku gede kok makan janji doang." Janji-janji yang diucapkan sang bunda membuat Arlan muak. Janji hanya tinggal janji, sama sekali tidak ada pembuktian dari janji itu. Gilang, sahabat Arlan meringis sedih. Ia tahu sejak pindah ke Bandung Arlan tak pernah lagi bertemu dengan orang tuanya. Tak jarang pula Arlan diejek teman-temannya karena dianggap tidak punya orang tua. "Sabar, Lan." Arlan mengangguk. "Kenapa kamu teh nggak ke Jakarta aja? Kan kalau kamu ke sana jadi bisa kumpul lagi sama orang tua kamu. Bandung-Jakarta teh kan dekat." "Buat apa aku ke Jakarta? Mereka udah titipin aku di rumah Nenek, jadi harus mereka juga yang ajak aku pulang langsung ke sini." "Kalau misalkan nanti Arlan pergi ke Jakarta, Gilang teh cuma minta jangan lupain Gilang di sini." Arlan menggeleng cepat. Baginya Gilang itu segalanya. Gilang yang selalu hadir ditengah kesedihannya, rasa sepinya, Gilang juga yang selalu menjadi penolongnya ketika Ia jadi bahan ejekan teman-temannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD