7. Petaka

2065 Words
Pertemuan tidak disengaja yang terjadi antara dirinya dengan Nate, membawa pengaruh yang cukup besar terhadap semangat kerja Luna. Gadis itu kini merasakan hari-harinya lebih berwarna. Dia akan selalu mencuri-curi waktu untuk mendatangi studio tari di sore hari, demi bisa melihat pemandangan indah yang dapat menyegarkan matanya. "Hai! Suntuk lagi?" sapa Nate ceria ketika menyadari kehadiran Luna. "Hmm." Luna pura-pura memasang wajah lelah, padahal hatinya sedang kesenangan karena Nate belum pulang dan mereka dapat bertemu kembali. "Hari ini ada acara?" tanya Nate tiba-tiba. "..." Luna menggeleng. "Kenapa?" "Jalan, yuk!" ajak Nate tanpa basa-basi. "..." Luna menatap Nate dengan heran. Terkejut karena Nate tiba-tiba mengajaknya pergi. Luna senang karena sudah beberapa hari ini dia memang memikirkan bagaimana caranya untuk mengajak pria manis nan tampan ini untuk pergi bersama. Meski sudah cukup sering terlibat obrolan singkat di studio tari, namun Luna belum memiliki keberanian lebih. Tetapi kini, tanpa perlu bersusah payah, ternyata malah Nate yang lebih dulu mengajaknya. "Nggak mau, ya?" tanya Nate sedih. "Bukan gitu!" ujar Luna cepat. Takut Nate berubah pikiran dan membatalkan ajakannya. Gadis centil yang pura-pura pemalu ini tidak mungkin melewatkan kesempatan baik yang tiba-tiba menghampirinya. "Cuma aneh aja tiba-tiba kamu ngajak jalan." "Kan katanya kamu lagi suntuk. Saya ajak kamu jalan biar suntuknya hilang." Nate bergerak untuk merapikan barang-barang yang dibawanya ke dalam tas. "Jadi mau nggak?" "Hmm." Luna mengangguk antusias sambil melirik jam tangannya. "Tapi saya belum bisa pulang sekarang, masih setengah jam lagi." "Nggak masalah, saya tunggu. Saya juga mau ganti baju dulu, masa jalan sama cewek cantik tapi lusuh begini." Nate menertawakan penampilannya sendiri. Padahal Luna sangat suka melihat penampilan Nate yang seperti ini, baginya terlihat seksi.     Jaim Luna! Jangan sampe Nate tau lo ini malu-malu tapi mau. Malu ketauan mau nyosor! Luna menghardik dirinya sendiri yang tidak bisa berhenti tersenyum bahagia hanya karena ajakan sederhana dari Nate. *** "Kenapa mau jadi guru dance?" tanya Luna penasaran. "Suka aja. Saya suka dunia tari, saya suka anak-anak," jawab Nate sambil menikmati potongan Blueberry Cheesecake di piringnya. "Kenapa nggak jadi penari pro aja?" Luna sudah cukup sering melihat Nate menari, dan menurutnya pria itu berbeda. Ada sesuatu dalam tariannya yang membuat orang tidak bisa melepaskan pandangannya dari Nate, terlepas dari kenyataan bahwa Luna memang memiliki ketertarikan khusus padanya. "Memangnya kalau jadi guru nggak pro ya?" balas Nate terkekeh. "Maksud saya jadi penari yang suka tampil gitu." "Saya lebih suka jadi orang di belakang layar, Lu. Saya suka menari, tapi saya kurang suka tampil." "Kok aneh?" Luna mengernyit heran. "Kamu mau tahu apa yang sangat saya ingingkan?" Nate balik bertanya. "Apa?" Luna mencondongkan tubuhnya. "Saya berharap suatu saat bisa jadi koreografer terkenal." "..." Luna tidak tahu harus berkomentar apa. "Kamu sendiri, kenapa mau jadi guru kalau nggak suka anak kecil?" Nate balas bertanya. Heran melihat Luna terjebak di Nada Pesona, dengan background pendidikan yang berbeda. Belum lagi gadis itu terlihat tidak menyukai pekerjaannya. "Ceritanya ribet, Nate." Luna menggeleng malas. Terlalu membosankan untuk menceritakan perihal hidupnya pada Nate. "Cerita dong! Saya juga mau tahu soal kamu, masa saya terus yang ditanya-tanya."         "Bahas yang lain aja ya? Gak penting Nate bahas soal saya." Luna masih berusaha menolak. "Luna, kita ini berteman kan?" tanya Nate memastikan. "Hmm." Luna mengangguk ragu. Maunya sih bukan jadi temen, Nate. "Kalau gitu, boleh saya mengenal kamu lebih jauh?" Kata-kata Nate berhasil membuat degup jantung Luna berdetak tidak beraturan. Maksud kamu apa sih? "Lu?" Nate melipat kedua tangannya di atas meja, menatap Luna penuh harap, menunggu gadis itu mulai bercerita. Pada akhirnya, Luna menyerah dengan tatapan dari sang makhluk seksi di hadapannya.   "Congrats ya, Cantik!" Rissa memeluk Luna dengan erat, mengecup kedua belah pipi gadis itu penuh sayang. "Mama! Thank you!" seru Luna senang. "Mama sendirian?" Luna mengedarkan pandangannya ke sekeliling hall tempat acara wisudanya diadakan siang itu. "Nggak. Mama datang sama Mami juga. Tapi dia lagi bawa Claura ke toilet, adikmu itu mendadak sakit perut." "Ohh. Terus yang lain di mana?" Luna menahan napas, berdoa dalam hati adik-adiknya yang lain tidak ikut menyerbu ke sini. "Yang lain nunggu di rumah Mama. Kan jatah undangannya cuma untuk dua orang, kalau Claura sih bisa dibawa karena masih kecil." "Kak Luna!" jeritan Claura terdengar nyaring. Gadis kecil itu berlari mendekat dan segera menubruk tubuh Luna. Luna yang ketika itu memakai kebaya lengkap dengan kain jarit dan selop, langsung limbung seketika. "Claura!" seru Luna terkejut. Untung saja Rissa masih memeluk tubuh Luna, sehingga gadis itu tidak sampai terjengkang karena tubrukan Claura yang bertubuh gempal. "Kakak kok udah lama gak pulang? Cla kan kangen," rengek Claura manja. "Maaf ya, Kakak kan sibuk belajar di sini." Khusus untuk gadis kecil ini, Luna bisa bersikap lembut. Karena Claura adalah adiknya yang paling manis dan penurut. "Luna, selamat ya! Akhirnya anak Mami udah ada yang lulus jadi sarjana." Clare memeluk tubuh Luna penuh haru. Diciuminya pipi Luna dengan bersemangat. "Mami, pipi aku basah semua." Luna protes sambil berusaha mengurai pelukan Clare. "Luna, ini acaranya udah selesai?" Rissa menyela pembicaraan mereka. "Udah, Ma." Luna mengangguk. "Kalau gitu kita berangkat sekarang aja." "Mau ke mana, Ma?" tanya Luna heran. "Mau makan siang bersama buat rayain wisuda kamu." Perjalanan membelah kemacetan ibukota memakan waktu hampir dua jam sebelum mereka tiba di tempat yang dituju. Ternyata semua keluarganya sudah menunggu di restoran yang dipesan oleh Rissa. "Kak Lunaaa!" teriak adik-adiknya yang lain. Ya, Tuhan. Kalau delapan pengacau ini udah ngumpul, pasti bakal ada kerusuhan. Luna menutup matanya dengan pasrah ketika ketujuh adiknya yang lain berhamburan memeluknya secara bersamaan. "Udah-udah, ayo duduk!" Rissa berusaha mengurai kekusutan di depan meja makan yang sudah mereka pesan. Luna menatap kedelapan adiknya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa rindu, juga rasa kesal. Karena belum apa-apa si kembar Claudia dan Claudio sudah berkelahi memperebutkan sepiring keripik kentang yang disediakan sebagai welcome snack. Keluarganya memang kacau, karena itulah Luna tidak betah tinggal di rumahnya sendiri. Rumahnya selalu penuh jeritan dan teriakan, pertengkaran dan kekacauan terjadi setiap saat. Maka ketika Rissa menawarkan untuk membantu membiayai kuliah Luna dan memboyongnya ke Jakarta, Luna dengan senang hati langsung menerimanya. Apalagi, sejak kecil Luna memang dekat dengan kakak dari ibunya itu. Rissa yang terpaut usia tujuh tahun dengan Clare, begitu menyayangi Luna dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Di tengah acara makan yang meriah itu, satu perkataan dari Rissa sukses membuat Luna sakit perut. "Luna, kamu mau kan kerja di sekolah Mama?" Rissa adalah seorang dosen yang juga duduk dalam jajaran pengurus yayasan di sekolah Nada Pesona. Luna membeku. Kepalanya seperti dihantam oleh dua nampan besi yang dibawa waiter untuk mengantarkan minuman dari arah kiri dan kanan. Pening dan berdengung. "Luna, kok diam aja? Jawab dong," ujar Clare tidak sabar. Dia tentu senang jika Luna bekerja saja di sekolah Rissa, itu jauh lebih aman dibandingkan jika Luna terjun ke dalam dunia broadcasting. "Tapi, Ma, Mi. Luna nggak pengen jadi guru." Luna merajuk. "Emang apa salahnya jadi guru?" balas Clare cepat. "Mami kan tau Luna gak tahan ngajarin anak-anak belajar, pusing kepala Luna." Luna mencoba memasang wajah semelas mungkin. "Tapi ini kan beda, Luna. Ini kan ngajar di sekolah, bukan ngajarin adik-adik kamu." Clare bukan tidak tahu jika salah satu alasan Luna meninggalkan rumah mereka di Bandung adalah untuk menghindari keusilan adik-adiknya. "Lagipula ini hanya sementara, Sayang. Ini urgent, karena ada satu guru yang tiba-tiba resign di tengah tahun ajaran. Coba dulu aja. Mau ya?" bujuk Rissa. "Luna kan mau jurnalis, Ma," protes Luna sedih. "Luna, kalau kamu nggak mau kerja di sekolah Mama Rissa, kamu pulang aja ke Bandung. Kamu boleh jadi jurnalis di Bandung. Mami tuh khawatir kalau kamu di Jakarta nggak ada yang mengawasi." Dan ancaman Clare sangat ampuh untuk membuat Luna tidak berkutik. Luna mengedarkan pandangannya ke sekeliling meja. Baginya ini adalah pilihan yang sulit, keduanya sama-sama tidak menguntungkan untuknya. Bertahan di Jakarta dan harus menjadi seorang guru, atau kembali ke Bandung dan berbesar hati menerima semua kegaduhan seperti yang sedang berlangsung di meja ini setiap harinya. Mungkin bagi orang yang tidak tahu, pemikiran Luna ini jahat dan keterlaluan. Namun bagi yang sudah mengenalnya, mereka bisa sedikit memahami alasan keberatan Luna. Begitu pun dengan Rissa yang mencurahkan banyak kasih sayang untuk Luna, karena Rissa tahu gadis itu merasa kesepian. Karena bagaimana pun, dari sembilan bersaudara, hanya Luna yang berbeda ayah. Luna terlahir dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang cukup kacau. Clare, ibu kandungnya, melahirkan Luna saat usianya baru 17 tahun. Clare hamil dengan teman sekolahnya, dan terpaksa berhenti sekolah. Sementara ayah kandung Luna yang namanya tidak pernah diketahui itu, melarikan diri dari tanggung jawabnya, Clare bertemu dengan seorang pemuda baik hati yang bersedia menikahinya dan menjadi ayah bagi Luna. Davin adalah pria baik yang bersedia menerima tanggung jawab itu dan menikahi Clare saat usianya 20 tahun. Setahun setelah mereka menikah, lahirlah Lovin, adik pertama Luna. Lovin adalah gadis pendiam yang cenderung anti sosial. Tiga tahun berikutnya lahirlah Arvin dan Ervin, adik kembar Luna. Adik kembarnya yang sangat nakal, sangat usil, sangat suka membangkang, dan otak dari segala kekacauan yang terjadi di rumah mereka. Dua tahun berikutnya lahirlah Gavin. Adik Luna yang satu ini memang tidak senakal si kembar, namun sangat emosional. Karena itu, Gavin adalah sasaran empuk dari kenakalan si kembar. Keduanya akan dengan senang hati menjahili Gavin, sampai anak itu menangis dan tantrum. Satu tahun berikutnya, lahirlah Grivin. Grivin ini adalah jelmaan Arvin dan Ervin dipadukan dengan Gavin, masih ditambah dengan sifat cengeng dan pengadunya. Ketika Clare terus menerus melahirkan, ingin rasanya Luna mengajukan aksi protes. Namun apalah daya, ketika itu Luna hanyalah seorang gadis kecil yang tidak bisa apa-apa. Dia hanya bisa berdoa agar kutukan 'Vin' bersaudara berakhir di Grivin. Karena bahkan mereka sudah kehabisan ide untuk memberi nama, makanya nama si kecil yang seharusnya Griffin dipaksakan menjadi Grivin. Doanya terkabul, meski untuk itu Luna merasa sangat menyesal. Davin yang berprofesi sebagai pelaut, meninggal dalam sebuah kecelakaan. Setelah tiga tahun berduka, Clare yang ketika itu masih berusia 30 tahun, kembali menemukan cintanya yang baru. Ricko, pria baik hati berikutnya yang bersedia menerima Clare dengan keenam anaknya yang masih kecil-kecil. Setahun setelah mereka menikah, Luna kembali mendapatkan adik barunya. Claudia dan Claudio, si kembar yang selalu bertengkar. Namun Luna bersyukur karena Ricko tidak seperti Davin yang memberi nama anak-anaknya mengikuti namanya sendiri. Jika Ricko seperti Davin, mungkin adik-adik Luna akan bernama Disko, Twistko, atau Bricko. Masih belum cukup dengan semua itu, tiga tahun berikutnya lahir lagi adik baru Luna, Claura. Beruntung adik terkecilnya ini cukup manis dan menyenangkan. Dan setelah memiliki delapan orang adik, Luna mengajukan protes keras kepada Clare untuk berhenti berproduksi. Meski Luna cukup beruntung karena memiliki ayah-ayah tiri yang baik, namun kedua ayahnya itu tidak mengenal tentang istilah keluarga berencana. Mereka menganut paham beranak cucu untuk memenuhi bumi. "Jadi gimana?" tanya Clare tidak sabar menunggu jawaban Luna. "Oke, oke! Luna coba. Tapi Luna jadi guru apa, Ma? Di unit mana?" tanya Luna pada Rissa. "Sementara sih kamu di SD dulu, menggantikan guru kelas 1 yang resign itu.  Selanjutnya kita lihat lagi nanti." "What? Di SD, Ma?" Luna berseru tertahan. "Iya, kenapa?" Rissa balas bertanya dengan heran. "Kenapa nggak SMA aja, Ma?" Menurut Luna, lebih mudah berinteraksi dengan anak-anak SMA, usianya tidak terpaut jauh dengannya. "Jangan! Muka kamu masih unyu-unyu gitu, yang ada malah kamu dipacarin sama murid-murid kamu." Seru Clare tidak setuju. "Atau SMP deh, Ma?" bujuk Luna. "Jangan! Nanti kamu ajak berantem terus murid kamu. Umur-umur segitu kan lagi labil-labilnya." Clare kembali menyela. "Mi, Luna nanyanya sama Mama lho." Luna mendelik sebal pada Clare. "Tapi benar kata Mami kamu, Luna. Atau kamu mau coba di TK?" Rissa menawarkan pilihan terakhir. "Hmm. Kayaknya boleh juga tuh. Di TK kan pelajarannya gak susah-susah amat." Luna manggut-manggut senang. "Jadi guru TK kan yang penting bisa nyanyi sama joget." "Kata siapa? Emang yakin kamu bisa? Ngurusin Claura aja kamu nggak becus." Clare mencibir perkataan putrinya. "Ma?" Luna meminta pembelaan Rissa. "Ya, di TK sih pelajarannya memang lebih gampang. Tapi kamu juga harus kreatif, terus harus ekstra sabar, harus mau gendong-gendong murid kamu. Apalagi kalau kamu kebagian kelas PreNursery gitu, kan masih kecil-kecil sekali anak-anaknya." Rissa memberi pemahaman pada Luna. "Siap-siap kamu dimuntahin tuh, atau diompolin, atau kalau anaknya pup kamu harus mau cebokin!" Clare menakut-nakuti Luna. Karena dia tahu Luna sangat jijik terhadap hal-hal semacam itu. "Mami!" jerit Luna kesal. Rissa hanya mampu tergelak mendengar perdebatan ibu dan anak yang lebih mirip kakak beradik itu. Luna memang lebih cocok jadi anak Rissa ketimbang anak Clare. Bukan Luna tidak menghargai Clare, namun usia mereka yang tidak terpaut jauh membuat mereka jadi seperti teman main. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD