bc

Kekasih Rahasia Pilot

book_age18+
124
FOLLOW
2.5K
READ
love-triangle
family
HE
arranged marriage
heir/heiress
blue collar
drama
tragedy
bold
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

“Aku akan menikah dengan Diana tapi aku hidup untukmu, Neva.”

Neva Ayu, pramugari yang selama ini menjalin hubungan rahasia dengan pilotnya, Vartan Kurniawan. Cinta mereka begitu dalam, namun terhalang oleh aturan dalam profesi mereka, juga status mereka yang berbeda.

Setiap Hari Neva mencoba untuk bertahan dalam kisah cinta mereka, namun ujian datang. Dalam waktu satu bulan ke depan Vartan menyatakan bila dirinya akan menikah dengan seorang dokter, Diana, pilihan orang tuanya demi kepentingan bisnis dan status keluarganya.

Tak ada pilihan, Neva ingin pergi dari hidup pria itu, Namun Vartan terus merengkuhnya sebagai belahan jiwa.

“Kenapa cinta harus sesakit ini?”

Mampukah Neva bertahan dalam keadaan ini? Bila setiap tawa dan kebersamaan Vartan bersama Diana adalah tangisan pedih untuknya?

chap-preview
Free preview
Eps. 1 Rindu Tertahan
Sebuah pesawat rute Singapura–Jakarta mulai merendah, perlahan meninggalkan ketinggian jelajahnya. Dari kokpit, deru mesin terdengar stabil, sementara lampu tanda sabuk pengaman telah menyala. Vartan, sang kapten, dengan tenang memantau panel instrumen, menyesuaikan kecepatan serta ketinggian agar sesuai jalur pendaratan. Udara di kabin terasa sedikit berbeda—penumpang sudah bisa merasakan guncangan lembut akibat perubahan tekanan. Di kabin utama, beberapa penumpang mulai merapikan barang, menutup laptop, menegakkan sandaran kursi. Pramugari berjalan dengan senyum profesional, meski semuanya berlangsung rutin, ada aura tegang setiap kali pesawat bersiap menyentuh daratan. Ketika pintu kokpit terbuka sebentar, Neva kebetulan lewat. Vartan menoleh, memanggilnya dengan suara yang tetap resmi, namun lembut. “Neva, beritahukan pada semua penumpang untuk bersiap sebelum pesawat mendarat.” Neva berhenti sejenak, menatap wajah pria yang begitu berarti baginya. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Baik, Kapten Vartan.” jawabnya sopan, dengan nada profesional mengiringi, menutupi rahasia yang ada di antara mereka. Namun di balik kalimat sederhana itu, ada sesuatu yang lebih besar, tatapan mata. Meski hanya singkat, waktu seolah berhenti. Pandangan Vartan bertemu dengan mata Neva yang hangat, dalam, dan penuh rahasia. Ada cinta yang membara, ada kerinduan yang tak bisa diucapkan dengan kata. Tatapan itu berbicara lebih dari seribu kalimat rindu, dan cinta meski dunia tidak tahu hubungan mereka. Neva nyaris lupa bernapas, merasakan jantungnya berdegup kencang. Tapi detik berikutnya, langkah kaki pramugari lain terdengar mendekat. Seketika Neva memalingkan wajah, menutup rapat kilatan perasaan yang baru saja tersingkap. Vartan pun menunduk lagi, berpura-pura sibuk memeriksa tuas dan monitor. Bagi orang lain, itu hanya interaksi biasa antara kapten dan pramugari. Tapi bagi mereka berdua, momen itu adalah pertemuan singkat di tengah langit, cinta yang hanya bisa diungkapkan lewat sorot mata dalam kerajasiaan, yang terpaksa disembunyikan di balik topeng profesionalisme. Pesawat terus meluncur menuju landasan. Di sana, cinta mereka tetap terasa, meski tak satu pun penumpang mengetahuinya. Neva melangkah ke kabin bersama rekan pramugari. Senyum profesional kembali terbit di wajahnya, menutupi gejolak batin yang barusan ia rasakan di kokpit. “Baik, kita mulai prosedur landing,” ujar Neva pada rekan pramugari lain. “Siap, Neva. Aku akan cek sabuk pengaman di sisi kiri,” jawab temannya sambil berjalan ke deretan kursi. Mereka berdua lalu bergerak menyusuri lorong kabin. Neva dengan suara lembut namun tegas mengingatkan, “Bapak, Ibu, mohon tegakkan sandaran kursi dan kunci meja lipat. Pastikan sabuk pengaman Anda sudah terpasang dengan benar.” Beberapa penumpang yang masih asyik membaca segera merapikan barangnya. Seorang ibu dengan anak kecil tersenyum pada Neva saat wanita itu membantu putrinya mengenakan sabuk. Rekannya di sisi lain memastikan semua kompartemen kabin atas tertutup rapat. “Semua sudah aman di sini,” bisik pramugari lain setelah selesai memeriksa barisannya. “Baik, terima kasih,” jawab Neva singkat, menoleh ke arah seluruh kabin untuk memastikan ketertiban. Pesawat lalu menurunkan roda pendaratan, suara bergetarnya terdengar jelas. Guncangan kecil terasa saat roda menyentuh landasan. Para penumpang menahan napas sejenak, lalu memberi tepuk tangan ringan begitu pesawat berhasil mendarat dengan mulus. Dengan teratur, penumpang mulai berdiri, mengambil barang, dan bersiap meninggalkan kabin. Neva dan rekan-rekannya tetap tersenyum, memandu dengan tenang, menjaga agar semuanya berjalan rapi hingga pintu pesawat terbuka. Satu per satu penumpang turun dengan rapi melalui pintu depan pesawat. Senyum pramugari masih terpampang meski tubuh lelah setelah penerbangan panjang. Setelah seluruh penumpang meninggalkan kabin, giliran kru pesawat turun secara bergantian. Suasana mulai lengang, tinggal langkah kaki yang beberapa orang di lorong. Neva berjalan ke pintu keluar, menoleh sebentar ke dalam untuk memastikan semua sudah beres. Rekan-rekannya sudah lebih dulu menuruni tangga pesawat. suara mesin pun mulai padam. Vartan, seperti biasa, menjadi orang terakhir yang meninggalkan kokpit. Saat ia keluar, tatapan mereka bertemu. Sekilas, tapi cukup untuk membuat da-da Neva bergetar hebat. Ada cahaya rahasia di mata sang kapten—hangat, mendalam, penuh pesan yang hanya mereka berdua yang mengerti. Vartan berdiri sebentar di tangga, menunggu Neva mendekat. Ia memberi isyarat halus dengan gerakan kepala, nyaris tak terlihat oleh orang lain. Neva menahan napas, melangkah mendekat. Dari jarak dekat, suara Vartan terdengar lirih, hampir berbisik. “Kita bertemu nanti di kafe kecil dekat hanggar barat bandara. Jangan biarkan yang lain tahu. Tetap waspada.” Hanya sebentar kalimat itu keluar, tapi membuat jantung Neva berdegup kencang. Ia membalas dengan suara pelan, nyaris tersamar oleh deru angin malam. “Ya, tentu saja. Aku sudah rindu padamu.” Senyum tipis terukir di wajah Vartan, lalu ia kembali melangkah turun dengan tenang, seakan tak terjadi apa-apa. Neva menunduk, menyembunyikan rona di wajahnya, membawa rahasia besar yang hanya mereka berdua simpan di tengah hiruk pikuk bandara. * Langkah-langkah pramugari terdengar beriringan menuruni tangga pesawat. Koper kabin mereka diseret perlahan, roda kecilnya berderit di lantai bandara. Usai beberapa hari penerbangan berturut-turut, wajah-wajah lelah terlihat jelas, tapi senyum profesional tetap terjaga. Di antara mereka, seorang rekan pramugari menoleh ke arah Neva sambil merapikan rambutnya. “Neva, bagaimana kalau kita keluar setelah ini? Ada mall baru dekat sini, katanya bagus sekali. Kita bisa makan malam di sana.” Suaranya penuh semangat, mencoba mengusir penat setelah perjalanan panjang. Neva tersenyum tipis, lalu menggeleng halus. “Tidak, rasanya aku lelah. Aku lebih ingin pulang dan berendam air hangat.” jawabnya, dengan nada yang terdengar wajar tapi menyimpan sesuatu. “Ah, sayang sekali. Kalau begitu aku pergi dengan yang lain saja,” balas temannya sambil tertawa kecil. Mereka pun berpisah di area kedatangan, masing-masing menuju arah berbeda. Begitu langkah rekan-rekannya menjauh, Neva menarik napas panjang. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena lelah, tapi karena janji rahasia yang baru saja terucap di tangga pesawat tadi. Ia menggenggam erat pegangan kopernya, mencoba menutupi kegugupan yang menyelinap. Dengan langkah mantap, Neva berbelok, menyusuri koridor bandara yang mulai sepi. Tujuannya bukan rumah, bukan pula mall, melainkan kafe kecil di dekat hanggar barat—tempat yang hanya disebutkan dengan lirih oleh Vartan. Vartan sudah duduk di sudut kafe yang tenang, menunggunya dengan senyum hangat. Begitu Neva datang, ia berdiri, menyambut, lalu menepuk kursi di sampingnya. Tanpa banyak kata, tangan mereka bertemu dan saling menggenggam erat, seolah melepaskan seluruh kerinduan yang sempat tertahan. “Aku rindu kamu, Neva. Bagaimana bila nanti malam kita keluar, untuk jalan atau makan bersama?” Suara Vartan lirih namun penuh harap. “Ya, tentu,” balas Neva singkat dengan senyum yang lembut. Mereka pun mengobrol panjang, berbagi tawa kecil, menumpahkan rindu yang menyesakkan da-da. Gelas minuman di meja perlahan kosong, tapi hati mereka terasa penuh. Terdengar nada dering ponsel memecah suasana. Vartan melihat layar dan wajahnya berubah sejenak. “Ada telepon dari Ibu. Sebentar,” ucapnya, melepaskan genggaman tangan Neva, lalu menggeser kursinya sedikit menjauh, mencoba menjawab dengan suara datar dan terkendali.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
23.0K
bc

TERNODA

read
195.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
231.0K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
182.9K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
20.1K
bc

My Secret Little Wife

read
129.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook