Panas dan Menegangkan

1972 Words
Belaian lembut di kepala membuat Kay terusik dari tidurnya, embusan napas menyapu sekujur leher. Memberikan sensasi berbeda pada tubuhnya, seakan ada aliran listrik yang menyengat kulitnya. "Pagi sayang." Ah, suara serak khas orang bangun tidur menerpa gendang telinganya. Rasanya begitu menenangkan, hingga kecupan basah di pipi menyadarkan Kay dari alam mimpinya. Kay terbangun dengan mata yang dipaksa terbuka lebar, bersamaan suara ponselnya yang berbunyi nyaring memekakkan telinga. Kay menghela napas sejenak, sebelum meraih ponselnya di atas nakas. "Pak Arya?" Kay mengernyitkan dahinya. Untuk apa orang itu menelepon Kay di pagi hari seperti ini? Apa ada yang urgent? Tak ingin berspekulasi sendiri, Kay langsung mengangkatnya. Mendekatkan ponselnya ke telinga, baru saja ponsel itu menempel dengan cepat Kay menjauhkannya. Suara nyaring itu membuat gendang telinganya hampir meledak saking tak tahannya. "Pak Arya ngapain si pagi-pagi udah ngomel?" Kay mendengkus, pagi harinya rusak gara-gara omelan dari pak Arya. "Kayra! Kayra!!! Kamu dengar saya?" Kayra berdecak ketika suara pak Arya masih terdengar, meneriaki namanya. Ia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. "Iya, Pak. Ada apa ya Bapak pagi—————" "Kamu gak liat sekarang jam berapa? Kenapa kamu belom juga datang ke apartemen pak Arsen ...." Hening! Kay tak lagi bisa mendengarkan suara pak Arya yang masih terus berceloteh, kini pikirannya berpusat pada nama Arsen yang baru saja disebutkan. Dengan gerakan lambat, Kay memutar kepalanya ke samping. Ia melihat jam wekernya yang sudah menunjukkan  pukul 06.30. "Kyaaa, s**t!!!" Kay langsung melompat dari ranjang, berlari memasuki kamar mandi. Kay tak peduli dengan ponselnya yang masih menyala dan suara pak Arya yang masih mengomelinya, yang ada di pikirannya saat ini hanya bagaimana caranya dia sampai di rumah bosnya tepat waktu. Meski ini saja dia sudah sangat terlambat. Kecepatan Kay tengah diuji, ia mandi hanya memakan waktu lima menit. Entahlah, apakah Kay benar-benar mandi atau tidak. Dia tak sempat memoleskan make-up. Kay hanya memakai lipstik penunjang wajahnya agar tidak terlihat pucat. Kay berlarian keluar unit, ia masuk ke lift. Kay terus merapalkan doa, berharap bosnya akan memberikan Kay pengertian. Sungguh Kay tidak biasanya bangun kesiangan, ini semua gara-gara mimpi sialan yang membelenggunya. Kay yang sedang terburu-buru langsung keluar ketika lift terbuka, namun ia tak memperhatikan depannya sehingga Kay justru menabrak orang yang berdiri di depan lift. "Awwww!!" pekik Kay saat kopi panas itu menumpahi blouse putihnya. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Kay menggeram kesal, disaat ia dikejar-kejar waktu begini masih saja ada insiden yang menghambat lajunya. "Anda tidak apa-apa? Maafkan saya," ucap sang pemilik kopi, memberikan sapu tangannya berusaha membantu membersihkan tapi dengan cepat Kay merebutnya. "Ah, tidak apa-apa, saya bisa sendiri." Kay tak sempat mengangkat wajahnya, ia berjalan meninggalkan orang itu tanpa memperdulikannya. "Yah kotor lagi, gimana nih." Orang itu memandangi punggung Kay yang sudah keluar dari lobi, ia kembali berbalik namun matanya justru menangkap sesuatu yang tergeletak di bawah kakinya. Kartu nama. Ia berpikir pasti kartu nama ini milik wanita barusan, ia pun segera mengejarnya keluar lobi. Tapi sesampainya di depan, ia sama sekali tak melihat sosok wanita itu. Ia menatap kartu nama ditangannya. "Kayra Azzahra Putri, Bagaskara group," gumamnya saat membaca kartu nama itu. "See you, Kayra." ——————— Kay menggeram kesal, sudah tiga puluh menit berlalu dan bus yang ditumpanginya tak kunjung sampai. Padahal sedikit lagi ia akan sampai di apartemen bosnya. "Bang gak jalan-jalan?" tanya Kay, karena kopaja yang ditumpangi justru berhenti di tepi jalan. "Sabar Neng, bentar lagi jalan kalo udah dapet penumpang," jawab kernet bus. Kay melirik sekitarnya, hanya tinggal dirinya di dalam bus. Kay menghela napas, ia tidak bisa jika harus berlama-lama menunggu sampai bus penuh. Bosnya bisa ngamuk-ngamuk yang ada. "Yaudah, saya turun sini aja Bang." Kay segera turun, ia tak menghiraukan panggilan kernet bus. Kay terus berlari di sepanjang trotoar menuju gedung apartemen, keringat di dahi mulai bercucuran. Bahkan rasanya Kay seperti mandi keringat saja. Ia tersenyum lebar ketika melihat gedung apartemen berada di depan. Kay memacu laju larinya, ia segera masuk setelah melapor pada security. Kay masuk ke lift, ia menyenderkan kepalanya. Lelah, sangat melelahkan. Jika setiap hari begini, rasanya Kay tak sanggup. Kay berjalan gontai, mencari unit apartemen bosnya. Setelah menemukannya Kay malah berdiam diri di depan pintu. Ia tampak ragu, dalam hati Kay sudah panik. Bagaimana jika bosnya akan marah-marah karena ia terlambat? Membayangkannya saja membuat Kay bergidik ngeri. Terus ia harus bagaimana sekarang? Kay melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 07.20. Astaga, dia hampir telat satu jam. Kay menelan ludah, ia memberanikan diri memencet bel apartemen. Kay harap-harap cemas ketika pintu tak kunjung terbuka. Apa mungkin bosnya sudah berangkat? Ah, bisa gila Kay jika begini. Memikirkan segala kemungkinannya. Tiba-tiba pintu terbuka, membuat Kay melotot. Bagaimana tidak, jika matanya melihat bosnya bertelanjang d**a. Hanya ada handuk yang melilit di pinggang. Rambutnya yang basah, semakin membuat pria itu terlihat menawan. Sadar Kayra!! Kay terkesiap, ia tak berani menatap bosnya yang tengah memandangi nya dengan datar. "Pak ... Ar-sen." Kay gelagapan, ia begitu gugup. Dalam hati Kay terus merutuki diri. "Masuk." Kay mengangkat wajahnya, saat itu matanya bisa melihat punggung tegap yang tengah berjalan masuk. Sungguh pemandangan yang indah, matanya begitu dimanjakan. "Kenapa?" Kay tersentak ketika suara Arsen menginterupsinya. Kay langsung menggelengkan kepalanya, ia segera berjalan masuk mengikuti langkah pria itu. Kay berdiri di tengah ruangan, ia bingung ketika Arsen malah memilih masuk ke kamarnya. Kay mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Apartemen bosnya begitu mewah dan besar, furniture-nya juga terlihat mahal. "Kayra." "Iya, Pak," jawab Kay ketika mendengar panggilan dari bosnya. "Ada yang bisa saya bantu?" "Sini masuk," suruh Arsen. Kay tampak ragu, ia menatap pintu kamar Arsen yang tertutup. Harus banget dia masuk? Tapi untuk apa? Pikiran Kay sudah traveling ke mana-mana. "Kayra!" Kay mendengkus, teriakan Arsen membuatnya mau tidak mau masuk ke kamar. Kay menarik knop pintu, ia masuk perlahan. Berjalan mendekati Arsen yang berdiri di depan cermin. Arsen menyodorkan dasi kepada Kay, refleks Kay mendongak menatap Arsen bingung. "Dasi? Untuk apa Pak?" tanya Kay. Entah polos atau bego, Kayra benar-benar menanyakan hal yang tak seharusnya ditanyakan. Arsen mengembuskan napas kasar, jika saja ia tak mencintai wanita di depannya mungkin sudah ia maki-maki. "Kamu pakaikan ke saya. Bisa kan?" Arsen terus memandangi wajah Kayra, meski berkeringat dia tetap terlihat sangat cantik di mata Arsen. "Bisa Pak." Kay menganggukkan kepalanya, lalu mengambil alih dasi dari tangan Arsen. Gugup, itu yang Kay rasakan. Bukan karena ia tidak bisa, dulu Kay sering memakaikan dasi untuk Aksa. Sial, mengingat nama itu, membuat emosi Kay mencuat. Pasti saat ini Nadira yang sedang memakaikan dasi kepada Aksa. "Aaa ...!" pekik Arsen ketika Kay terlalu kencang memakaikan dasinya, bahkan sampai membuat Arsen tercekik. Kay yang tersadar dari lamunannya, langsung melotot. Ia menarik kembali tangannya, mengendorkan ikatan dasinya. "Maaf, Pak," cicit Kay, tampak merasa bersalah. "Makanya pagi-pagi jangan ngelamun," celetuk Arsen, ia merapikan tatanan rambutnya. "Iya, Pak. Maaf." Kay menunduk, ia meremas jemarinya. Sungguh menyebalkan. Kenapa hari ini dia penuh dengan kesialan. "Baju kamu kenapa?" tanya Arsen ketika melihat baju Kayra yang kotor terkena noda. Kayra menunduk, ia baru ingat jika bajunya kotor. "Oh, ini kena tumpahan kopi. Tadi saya gak sengaja nabrak orang." "Ceroboh!" Kay melongo. Ia tidak salah dengar bukan, barusan Arsen mengatainya ceroboh. Kenapa bosnya ini makin lama makin menyebalkan. Ini semua juga gara-gara dia, kalau saja Kay tidak harus ke sini maka insiden itu tidak akan terjadi. Dasar bos rese! "Lepas baju kamu." "Hah?" Kay melebarkan mata, bosnya ini selain rese juga m***m ternyata. Seenak jidat menyuruh Kay lepas baju. Ogah! "Tunggu apa lagi?" Arsen berbalik menghadap Kay. "Kamu malu? Padahal saya sudah pernah lihat dalamnya." Sialan! Maki Kay dalam hati, menyumpah serapah bosnya. Apa dia tidak malu bicara sevulgar itu. Ingin sekali Kay menenggelamkan pria laknat itu ke Antartika. Biar beku sekalian jadi es batu. "Baiklah, saya akan keluar. Kamu pake ini, jangan lupa benahi wajah kamu yang dekil itu." Arsen meletakkan paper bag di atas ranjang, lalu melangkah keluar. "Arrrg!!" erang Kay selepas pintu tertutup. "Dekil dia bilang? Liat saja nanti, gue yakin lo bakal terpesona liat gue," gerutu Kay, kesal sendiri. ——————— Kay memandangi pantulan diri di cermin. Ia terus menarik roknya ke bawah, tampak tak nyaman dengan rok mini yang super ketat, ditambah kemejanya yang juga tampak kekecilan. "Apa dia sengaja?" Kay melirik ke pintu. Kay semakin sebal dengan bosnya, masa dia harus mengenakan pakaian seperti ini. Kay begitu tak nyaman, ketika semua asetnya menonjol seperti ini. "Kayra! Sudah jam berapa ini?" Kay mendengkus, saat suara Arsen bergema di ruangan. Dengan malas Kay berjalan keluar kamar. Kay tampak kesusahan berjalan, roknya selalu naik ke atas jika ia melangkahkan kakinya lebar. "Kay————" Arsen tercekat ketika pintu kamarnya terbuka, ia terpesona saat sosok Kayra muncul dan berdiri di ambang pintu. "Cantik," gumam Arsen. "Iya Pak?" Suara Kayra menyadarkan Arsen dari lamunan singkatnya, ia berdehem menormalkan kembali raut wajahnya yang memerah. "Muka Bapak Merah, Pak Arsen sakit?" Kay berjalan mendekat, membuat jantung Arsen berdetak tak karuan. Arsen segera menahan tangan Kayra yang akan menyentuh keningnya. "Saya gak apa-apa." Arsen merutuki dirinya yang salah tingkah berada di dekat Kayra. s**t!! "Duduk," perintah Arsen. Kay menurut, ia duduk di depan Arsen. Pria itu meletakkan piring berisi nasi ke hadapannya. "Kamu mau pakai apa?" tanya Arsen. "Saya bisa ambil sendiri Pak," ucap Kay. Mendengar hal itu Arsen berdecak tak suka. Tanpa bertanya lagi, ia mengambilkan semua lauk dan meletakkannya ke piring Kayra. Kayra melongo, melihat lauk menumpuk di piringnya. Ia mengangkat wajahnya dan Arsen tampak tak peduli, ia kembali sibuk dengan piringnya sendiri. "Dasar pemaksa!" gerutu Kay. "Apa kamu bilang?" Arsen menatapnya dengan tajam, Kay meringis merutuki mulutnya sendiri. Kenapa juga ia harus kebablasan bicara. "Gak papa kok Pak." "Yasudah makan!" suruh Arsen. Kay menelan ludahnya, melihat lauk yang bertumpuk saja membuat Kay kenyang. Mana mungkin dia menghabiskan makanan yang banyak begini. Apa bosnya pikir dia ini piara cacing? Haissh! Menyebalkan! Kay memaksa mulutnya untuk mengunyah makanan, susah payah ia menelannya. Tapi nasi dan lauk di piringnya masih terlihat utuh seperti tak berkurang sama sekali. "Kenapa makanannya gak enak?" tanya Arsen yang sedari tadi memperhatikan. "Em, enak kok Pak." Tapi kebanyakan, perut gue gak muat! "Pelan-pelan aja makannya," ucap Arsen. Tangannya terulur mengusap sudut bibir Kay. Usapan jari Arsen membuat Kay membeku, matanya bersitatap dengan mata hitam milik Arsen. Entah halusinasi atau apa tapi ia bisa melihat Arsen tersenyum padanya. Sangat manis sekali. Daebak! ———————— Hari pertama Kayra bekerja sebagai sekretaris di perusahaan Bagaskara Group. Kedatangannya dengan Arsen menjadi sorotan para karyawan di kantornya. Diam-diam mereka mencuri pandang ke arahnya yang berjalan beriringan dengan Arsen. Bukan mau Kay tapi Arsen sendiri yang menyuruhnya agar jalan di samping bukan di belakang. Kay bisa merasakan tatapan iri dari beberapa pasang mata yang melirik sinis dirinya, mungkin setelah ini dia akan digunjingkan oleh teman-teman di kantornya. "Kayra." Kayra yang tak fokus sampai tak sadar dengan panggilan Arsen. Ia terus berjalan  hingga Arsen menahan lengannya baru Kay tersadar dan refleks menoleh. "Iya, Pak?" "Kamu melamun?" Arsen mendengkus, melihat wajah bingung Kayra. "Buatin saya kopi dulu." Kay mengangguk. Kay pun bergegas menuju pantri. Dia menyalakan dispenser air panas. Selagi menunggu, Kay tampak sibuk memandangi pantulan diri di cermin. Lagi-lagi ia melamun, sampai tak sadar ada seseorang yang masuk. "Airnya udah panas." Kay tersentak, ia langsung berbalik dan terkejut mendapati seorang pria berdiri di belakangnya. "Airnya udah panas," ulang pria itu ketika melihat wajah kebingungan Kay. "Ah, iya. Terimakasih." Kay segera berbalik, dalam hati merutuki diri sendiri. Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu melamun begini? "Kamu sekretaris Arsen yang baru?" Kay menoleh saat pria itu kembali bersuara. Ia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Kenalin gue Daniel," ucap pria itu mengulurkan tangannya kepada Kay. Mau tidak mau Kay menjabat uluran tangan pria asing itu, demi kesopannan. "Kayra." "Nama yang cantik," kata Daniel. Kay hanya tersenyum tipis. "Siap-siap aja kalo jadi sekretaris Arsen." "Memangnya kenapa?" tanya Kay, sedikit penasaran. "Soalnya dia galak." Daniel terkekeh. Kay kembali tersenyum tipis, meski hatinya membenarkan ucapan Daniel. Bosnya memang kadang galak. Apalagi tatapannya yang seperti mengintimidasi, membuatnya terlihat menyeramkan. "Gue jamin, Hari-hari lo bakal panas dan menegangkan," ucap Daniel, lalu pria itu keluar dari pantri. Kay tampak heran, apanya yang panas dan menegangkan? Kenapa ucapan Daniel terdengar begitu ambigu baginya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD