Janji Yang Gugur di Tengah Hujan

1631 Words
“Seminggu Sebelum Hari Bahagia” Hari itu, Cindera masih sibuk menulis daftar undangan di meja kamarnya. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Di depan cermin, ia bahkan berlatih menyapa calon mertua dengan sopan, membayangkan bagaimana hari pertunangannya akan berjalan indah. Segalanya nyaris sempurna — sampai telepon dari ruang kerja ayahnya memecah suasana sore itu. “Cin, Ayah ingin bicara sebentar,” suara Brama Yudha Bimantara terdengar berat. Cindera menatap ayahnya yang duduk di ruang tamu dengan wajah pucat, kemeja yang biasanya rapi kini terlihat kusut. Ibunya duduk di samping, menunduk sambil menggenggam tangan sang suami erat-erat. “Ada apa, Yah? Kok wajah Ayah kelihatan tegang?” tanya Cindera pelan. Brama menarik napas panjang sebelum menjawab, “Perusahaan kita… resmi dinyatakan pailit. Bank telah menyita hampir seluruh aset. Rumah ini pun sebentar lagi akan dievaluasi.” Dunia Cindera seketika berputar. Suara detik jam terasa nyaring, dan tubuhnya lemas seolah tak mampu berdiri. “Pailit…? Tapi, bagaimana bisa? Bukankah proyek terakhir Ayah sudah hampir selesai?” “Investor menarik diri, Sayang. Dan beberapa rekan kerja Ayah juga pergi begitu saja,” jawab Brama lirih, matanya redup penuh penyesalan. Hari itu, keluarga Bimantara bukan lagi keluarga terpandang. Telepon dari pihak bank, rekan bisnis, bahkan teman-teman sosialita ibunya datang bertubi-tubi. Semua menanyakan hal yang sama: kebangkrutan. Namun, di tengah kekacauan itu, satu hal yang paling dikhawatirkan oleh ibunya hanyalah satu, pertunangan Cindera. “Kita harus tetap jalankan acara itu, Cin. Jangan sampai keluarga Banyu tahu keadaan kita,” ucap sang ibu dengan nada memaksa, mencoba tersenyum di balik ketakutannya. “Tapi, Bu… kalau mereka tahu nanti, bagaimana?” “Doakan saja Banyu tetap pada janjinya. Dia mencintaimu, bukan hartamu.” Cindera mengangguk pelan. Ia ingin percaya. Ia ingin yakin bahwa cinta mereka cukup kuat untuk melewati badai ini. Selama tiga tahun bersama, Banyu selalu terlihat tulus, selalu berkata bahwa ia mencintai Cindera apa adanya. Namun, dunia tidak seindah itu. Kabar kebangkrutan keluarga Bimantara menyebar cepat, bahkan sampai ke telinga keluarga Banyu. Beberapa hari kemudian, ibu Banyu datang diam-diam ke rumah dengan wajah kaku. Ia tak banyak bicara, hanya mengembalikan bingkisan yang pernah diberikan keluarga Cindera saat lamaran informal dulu. “Maaf, Bu Raras,” katanya dingin kepada ibu Cindera. “Kami tidak bisa melanjutkan rencana ini. Keluarga kami tidak ingin terlibat dalam urusan yang… berisiko.” Cindera yang mendengar percakapan itu dari tangga hanya bisa membekap mulutnya, menahan isak yang hampir pecah. Hatinya seperti diremas. Tapi ia masih berharap mungkin Banyu tak tahu, mungkin Banyu akan memperjuangkannya. "Semoga ...mas Banyu tidak tahu, dan tidak terpengaruh dengan orang tuanya, aku yakin dia akan memegang janji kami berdua,"lirih Cindera. "Haloo... mas Banyu." "Halo sayang, kamu...kenapa, kok kaya habis nangis?"Tanya Banyu melalui sambungan Video call. "Enggak kok mas, tadi habis makan pedas, jadi keluar air mata." "Aku enggak sabar, menanti saat pernikahan kita Cin, aku beruntung memiliki kamu,"ucap Banyu. "Mas, kamu janji?" "Janji apa ?" "Kamu janji enggak akan meninggalkan aku apapun yang terjadi?" "Iya, aku enggak akan pernah meninggalkan kamu sayangku, cintaku, wanita tercantk yang aku cintai." "Terimakasih mas, sudah mencintaiku, bye ..sampai bertemu di hari pertunangan kita." Sayangnya, satu minggu kemudian, di hari yang seharusnya menjadi hari pertunangan, Banyu Biru Nugraha tak pernah datang. **** Rintik hujan makin deras membasahi halaman rumah. Dari balik jendela, Cindera menatap jalanan yang sepi. Gaun pastel yang ia kenakan mulai terasa berat, bukan karena kainnya, tapi karena beban di d**a yang makin menyesakkan. Pintu rumah masih belum terbuka. Suara bisik-bisik mulai terdengar dari tamu keluarga. "Keluarga Banyu belum datang, ya?” “Katanya acaranya jam empat, sekarang sudah hampir magrib…” Senyum di wajah ibu Cindera perlahan memudar. Sementara sang ayah mencoba menghubungi Banyu, tapi panggilannya hanya berujung nada tunggu yang tak pernah dijawab. “Mungkin hujan menghambat mereka, Cin. Jangan khawatir dulu,” ucap ibu menenangkan. Cindera hanya mengangguk, meski di dalam hatinya mulai muncul rasa takut yang tak bisa dijelaskan. **** Sementara di kediaman Tuan Nugraha, perdebatan terjadi. Banyu yang dihadapkan pada pilihan, antara keluarganya dan juga pernikahannya dengan Cindera. "Kamu mau melanjutkan pernikahan itu, maka...selamanya, kami tidak akan menganggap kamu sebagai anak kami,"ujar Mirna ibu Banyu, dengan nada tegas. "Bu, aku mencintainya, aku sudah janji kami akan menikah apapun keadaannya." "Hahh, janji?Apa kamu bilang?Demi sebuah janji, kamu masih percaya dengan janji?" Sore itu, rumah keluarga Cindera tampak ramai dan semerbak wangi bunga melati memenuhi setiap sudut ruangan. Tirai putih berenda dipasang di dinding ruang tamu, meja dihiasi kue kecil dan toples berisi manisan. Semua orang sibuk, wajah-wajah sumringah menandakan hari bahagia yang sudah lama dinantikan. Di tengah hiruk-pikuk itu, Cindera berdiri di depan cermin kamarnya. Gaun pastel lembut membalut tubuhnya dengan anggun. Jemarinya bergetar saat merapikan selendang di pundak, bibirnya tersenyum, tapi matanya menyimpan gugup yang tak bisa disembunyikan. “Nanti kalau Banyu datang, jangan terlalu tegang ya, Sayang,” ucap sang ibu lembut sambil membenarkan anting putrinya. “Iya, Bu... aku cuma—takut semuanya terasa seperti mimpi,” balas Cindera dengan suara lirih, menahan debar di dadanya. Jam di dinding berdetak pelan. Sudah lewat dari waktu yang dijanjikan. Para tamu keluarga mulai saling berbisik, menatap ke arah pintu rumah yang masih tertutup rapat. Ayah Cindera berusaha tetap tenang, memegang ponselnya dan sesekali menatap layar yang masih hening tanpa kabar. “Mungkin macet, ya, Pak?” suara ibu Cindera terdengar canggung. “Iya, mungkin,” jawab sang ayah pelan, meski tatapannya mulai gelisah. Cindera berusaha menenangkan diri, memandangi vas bunga mawar merah di meja. Hatinya memanggil-manggil nama Banyu Biru Nugraha, kekasih yang telah bersumpah untuk melamarnya hari itu. Ia percaya Banyu akan datang, seperti janjinya seminggu lalu, “Aku akan datang membawa keluargaku, Cin. Siapkan senyumanmu yang paling indah.” Namun menit demi menit berlalu. Langit yang semula cerah perlahan berubah mendung, dan bunyi rintik hujan pertama jatuh di jendela. Telepon dari keluarga Banyu tak kunjung masuk. Semua yang menanti mulai merasa canggung, sementara Cindera hanya bisa duduk diam, menatap pintu dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak tahu, bahwa sore itu bukan awal dari kisah bahagia, melainkan awal dari luka yang akan membekas seumur hidupnya. Lalu, dering ponsel sang ayah memecah keheningan. Semua mata tertuju padanya. Ia menatap layar, kemudian menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan itu. Suara di seberang terdengar tegas, namun datar. Ayah Cindera hanya diam, wajahnya menegang, lalu pelan-pelan mematikan panggilan itu. “Pak… siapa?” tanya ibu Cindera cemas. “Keluarga Banyu…” jawabnya berat. “Mereka… membatalkan pertunangan hari ini.” Ruangan mendadak sunyi. Seakan udara berhenti bergerak. “Mmmembatalkan? Maksudnya apa, Pak?” suara Cindera bergetar, matanya menatap tak percaya. “Ayahnya bilang… mereka tak bisa melanjutkan hubungan ini. Kondisi keuangan keluarga kita yang sekarang membuat mereka khawatir… katanya, Banyu pun setuju.” Kalimat itu menancap tajam seperti pisau di d**a Cindera. Dunia yang tadinya penuh warna tiba-tiba terasa gelap. Ia tak mampu berkata apa-apa, hanya menatap kosong ke arah pintu yang tak lagi ia harapkan terbuka. “Banyu… nggak mungkin…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. “Dia berjanji akan datang… dia bilang mau melamarku, Bu…” Air mata jatuh perlahan, membasahi pipinya yang sudah dingin. Di luar sana, hujan turun semakin deras, seolah langit ikut menangisi nasibnya. Banyu… nggak mungkin…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. “Dia berjanji akan datang… dia bilang mau melamarku, Bu…” Air mata jatuh perlahan, membasahi pipinya yang sudah dingin. Di luar sana, hujan turun semakin deras, seolah langit ikut menangisi nasibnya. --- Malam itu, kamar Cindera diselimuti keheningan yang menyakitkan. Gaun tunangannya masih tergantung di balik pintu, dibiarkan menggantung bagai kenangan yang baru saja patah. Di atas meja, ponselnya bergetar pelan, notifikasi pesan dari tamu-tamu yang menanyakan alasan pembatalan acara, semua belum berani ia buka. Dengan tangan bergetar, Cindera akhirnya menatap layar ponselnya, mencari satu nama yang sejak siang tadi terus berputar di kepalanya — Banyu Biru Nugraha. Napasnya berat. Ia menelan ludah, menekan tombol panggil dengan jantung berdebar. Suara sambungan berdering… sekali, dua kali, tiga kali. Hampir saja ia menutup telepon ketika suara yang sangat familiar terdengar di ujung sana. “Cindera…” suara Banyu pelan, seolah ragu. Cindera terdiam beberapa detik, matanya langsung berkaca. “Banyu… kenapa kamu nggak datang?” suaranya lirih, nyaris bergetar. “Aku nunggu kamu dari pagi. Semua orang nunggu. Kamu janji akan datang, Banyu…” Suara di seberang hening sejenak. Hanya terdengar tarikan napas berat dari Banyu. “Cindera… aku minta maaf.” Cindera menggigit bibirnya, air mata menetes tanpa bisa ditahan. “Maaf? Itu aja yang kamu bisa bilang? Kamu tahu, keluargaku… mereka semua udah siap. Aku, aku udah pakai kebaya yang kamu pilih sendiri. Kamu tahu gimana rasanya ditinggal begitu aja, tanpa kabar?” Banyu diam lama sebelum akhirnya bersuara lagi, suaranya terdengar berat dan ragu. “Cindera, aku nggak bisa lanjut. Aku… aku nggak siap dengan keadaan sekarang.” “K-eadaan sekarang?” Cindera memejamkan mata, dadanya sesak. “Maksud kamu… karena Ayah bangkrut?” Hening. Tak ada jawaban. Tapi diamnya Banyu sudah cukup menjadi jawaban paling menyakitkan yang pernah Cindera dengar. Cindera menahan tangis, berusaha tetap bicara di tengah isak yang tersengal. “Jadi… cinta kamu cuma berlaku waktu aku masih punya segalanya, ya, Banyu?” “Bukan begitu, Cindera… aku...” “Cukup!” potong Cindera dengan suara pecah. “Aku ngerti sekarang. Aku cuma bagian dari hidupmu yang bisa kamu buang kalau keadaan berubah. Aku berharap kamu bahagia dengan keputusanmu.” Sambungan telepon itu berakhir dengan suara nada panjang yang menusuk sunyi malam. Cindera menjatuhkan ponselnya ke lantai, tubuhnya gemetar hebat. Air mata tumpah tanpa henti, membasahi pipinya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, berbisik lirih di antara tangis, "Kenapa, Banyu… kenapa harus begini…” Dan di seberang sana, Banyu duduk di dalam mobilnya di depan rumah, menatap cincin pertunangan yang belum sempat ia berikan. "Maaf Cindera, maaf aku enggak bisa berbuat apa-apa." Matanya redup, dan di sampingnya, Kinanti, sepupu Cindera, menunduk dengan senyum samar, menatapnya penuh kemenangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD