Seperti Air dan Api

1366 Words
Malam itu, udara terasa berat dan sunyi. Rumah keluarga Brama Yudha Pradana diterangi hanya oleh lampu minyak di ruang tamu yang berkelip pelan. Hujan telah reda, namun sisa gemericiknya masih terdengar di luar, menyisakan hawa lembap yang menusuk tulang. Cindera duduk di kursi rotan tua, memeluk lututnya, menatap kosong ke arah lantai. Tatapan ayahnya yang murung dan wajah ibunya yang pucat masih terbayang di kepala. Hutang, kehinaan, cemooh tetangga — semuanya menumpuk jadi satu di dadanya. Ia menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah lagi. “Apakah ini harga yang harus kubayar, Ya Allah… demi keluargaku?” Dari kamar sebelah, terdengar suara batuk ayahnya. Brama sudah lama tak sehat, tekanan pikiran membuat tubuhnya melemah. Cindera bergegas masuk, menatap ayahnya yang terbaring di ranjang dengan mata sayu. “yah, minum obatnya dulu ya…” ucap Cindera lembut, membantu ayahnya duduk. Brama memegang tangan putrinya erat. “Nak… jangan pernah kau lakukan hal gila itu. Lebih baik ayah kehilangan segalanya daripada melihat kau jadi milik pria seperti Darma.” Cindera berusaha tersenyum, tapi air matanya menetes juga. “Tapi, yah… kalau rumah ini disita, kalau mereka menyeret Ayah ke pengadilan, Ayah bisa sakit lebih parah… aku takut, yah…” Brama menatapnya iba. “Cindera, kebahagiaanmu bukan untuk dijual. Jangan korbankan hidupmu untuk menebus kesalahan ayah.” Namun malam itu, saat semua tertidur, Cindera duduk sendirian di teras. Bulan separuh menggantung di langit, dan pikirannya penuh dengan bayangan wajah licik Darma yang menawarkan “jalan keluar”. Ia menatap langit dan berbisik pelan, “Aku hanya ingin menyelamatkan keluarga ini… kalau dengan menjadi istrimu bisa membuat mereka tenang, mungkin aku harus…” Kalimat itu tak sanggup ia lanjutkan. Pagi harinya, Cindera menatap cermin sebelum berangkat kerja. Wajahnya tampak lelah, tapi di matanya ada tekad yang berbeda, tekad antara putus asa dan pengorbanan. Di depan rumah, Elvan yang kebetulan datang mengecek kondisi kakeknya terkejut melihat Cindera. “Kau mau ke mana sepagi ini?” tanyanya. “Ke rumah sakit,” jawab Cindera datar. Elvan memperhatikan wajah gadis itu, lalu berkata dengan nada tegas, “Kau terlihat tidak baik, Cindera. Kalau ini tentang semalam… aku bisa bantu. Jangan lakukan sesuatu yang akan kau sesali.” Cindera tersenyum tipis. “Tidak semua orang bisa menolong, Elvan. Ada hal yang hanya bisa kulakukan sendiri.” Elvan menatapnya dalam, mencoba membaca isi pikirannya, tapi Cindera sudah melangkah pergi, menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. Sore harinya, Cindera akhirnya mengirim pesan singkat ke Darma, dengan tangan bergetar: “Pak Darma, saya… ingin bicara. Tolong beri saya waktu dua hari. Saya akan memberi jawaban.” Pesan terkirim. Dan detik itu juga, hidupnya mulai berubah arah. Pagi itu, udara di kampung kecil tempat keluarga Brama tinggal terasa begitu pengap — bukan karena cuaca, melainkan karena bisikan-bisikan yang berembus di antara warga. Di warung depan gang, beberapa ibu tengah duduk mengupas bawang sambil berbincang pelan, namun nada suaranya jelas menusuk telinga siapa pun yang mendengar. > “Kasihan, ya… anak dokter, tapi ujung-ujungnya mau juga sama laki-laki tua.” “Iya, katanya demi lunasin hutang bapaknya. Padahal dulu sombong banget, tiap lewat mobilnya kinclong.” “Sudah ditinggal calon suami, sekarang malah mau jadi istri keempat. Habis sudah nasibnya.” Suara tawa kecil menyusul setelah kalimat terakhir, menyayat hati siapa pun yang mengenal Cindera. Dari balik jendela rumah sederhana itu, Ibu Cindera, Ratih, berdiri diam sambil memegang d**a. Wajahnya memucat, mata berkaca-kaca mendengar gunjingan itu. Ia menutup tirai cepat-cepat, takut suaminya mendengar. Sementara itu, Cindera baru saja tiba dari rumah sakit, mengenakan jas dokter putih yang sudah agak kusut. Langkahnya pelan, bahunya turun, dan wajahnya tampak lelah bukan hanya karena pekerjaan, tapi karena tekanan hidup yang kian menyesakkan. Begitu ia masuk, ibunya langsung memeluknya erat. “Sudah, Nak… jangan keluar dulu. Biarkan saja mereka bicara sesuka hati.” Cindera tersenyum getir, matanya basah. “Mereka bicara seolah tahu segalanya, Bu. Mereka tak tahu rasanya kehilangan segalanya dalam sekejap.” Ratih mengusap pipinya. “Kita tidak bisa membungkam mereka, tapi kita bisa memilih untuk tidak menyerah. Kau tidak harus mengorbankan hidupmu demi membungkam mulut orang.” Namun malamnya, ketika Cindera sendirian di kamar, suara-suara itu terus terngiang di kepalanya. "Istri keempat... demi harta... pembawa sial..." Tangannya gemetar memegang ponsel, pesan terakhir dari Darma masih tersimpan di sana: “Kau tahu aku bisa menyelamatkan keluargamu. Jangan terlalu lama berpikir, Cindera.” Cindera menatap layar lama, air matanya jatuh tanpa suara. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, berbisik dalam isak: “Ya Allah… apakah ini satu-satunya jalan?” Di luar, angin malam berhembus lembut membawa suara jangkrik — dan di kejauhan, sosok Elvan terlihat berdiri di sisi jalan, memperhatikan rumah itu dari mobilnya. Tatapan matanya tajam, penuh rasa ingin tahu dan khawatir. Ia bergumam pelan, “Apa yang sebenarnya sedang kau sembunyikan, Cindera?” --- Pagi itu, suasana rumah sakit mendadak tegang. Langit masih kelabu, sisa hujan malam tadi membuat udara terasa lembap. Di ruang rawat VIP nomor 208, tempat Kakek Malik dirawat, suasana yang biasanya tenang kini berubah menjadi kacau. Tempat tidur pasien tampak kosong. Selimut masih terlipat rapi, alat monitor jantung sudah dimatikan, dan hanya tersisa bau obat yang masih menggantung di udara. Elvan berdiri di depan pintu kamar dengan wajah tegang dan mata tajam menyapu ruangan. “Di mana Kakek saya?” tanyanya dengan suara dingin tapi mengandung amarah. Perawat jaga yang ketakutan menjawab terbata, “T-tadi pagi beliau minta izin ke taman rumah sakit, Tuan. Kami pikir—” “Pikir?!” potong Elvan tajam, nadanya meninggi. “Kalian pikir pasien lansia dengan riwayat jantung boleh berjalan sendirian tanpa pengawasan?” Perawat itu menunduk, hampir menangis. Saat itulah dr. Cindera datang dengan berkas di tangan, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sama. “Ada apa ini?” tanyanya cepat. Elvan berbalik menatapnya dengan tatapan marah. “Jangan pura-pura tidak tahu, Dokter! Kakek saya hilang dari kamarnya! Di mana tanggung jawabmu?” Cindera menatap Elvan dengan wajah serius namun tetap tenang. “Tuan Elvan, tolong tenang dulu. Saya baru menerima laporan. Kami akan segera mencari beliau, tapi tolong jangan menyalahkan staf tanpa tahu kejadiannya secara pasti.” Elvan mendengus, langkahnya maju mendekat. “Kau dokter penanggung jawab di sini, bukan? Semua ini di bawah tanggung jawabmu!” “Ya, benar,” jawab Cindera, suaranya sedikit bergetar namun tetap tegas. “Tapi menuduh tanpa bukti hanya akan memperburuk keadaan. Mari kita fokus mencari Kakek Anda dulu.” Ketegangan di antara mereka terasa begitu pekat. Beberapa perawat menunduk, tak berani bicara. “Baik,” kata Elvan akhirnya, nada suaranya merendah namun tetap dingin. “Kalau dalam satu jam Kakek saya tidak ditemukan, saya akan pastikan semua yang lalai dipecat. Termasuk kau, Dokter.” Cindera menatapnya dalam, menahan napas sesaat. Ada sesuatu dalam nada suara Elvan — bukan hanya amarah, tapi ketakutan kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. “Baik,” jawab Cindera pelan namun mantap. “Saya akan temukan beliau. Saya janji.” Ia langsung berlari keluar ruangan, memeriksa taman, lorong-lorong rumah sakit, hingga ruang fisioterapi. Detak jantungnya berpacu cepat — bukan hanya karena tanggung jawab profesional, tapi karena ada perasaan berat di d**a setiap kali Elvan menatapnya dengan tuduhan seperti itu. Beberapa menit kemudian, dari arah taman rumah sakit, terdengar suara lembut seorang lansia memanggil, “Nak Cindera…” Cindera menoleh cepat, Kakek Malik duduk di kursi taman, menatap langit sambil tersenyum tenang. “Aku hanya ingin lihat matahari pagi. Kau tahu, udara di luar lebih menenangkan daripada di kamar.” Air mata lega nyaris jatuh dari mata Cindera. Ia segera menghampiri, lalu memeriksa tekanan darah sang kakek dengan lembut. “Syukurlah, Bapak baik-baik saja… mari saya bantu kembali ke kamar.” Namun saat mereka kembali, Elvan sudah menunggu di depan taman. Wajahnya berubah lega, tapi masih terlihat marah. Cindera menunduk, berkata pelan, “Beliau hanya ingin udara segar. Tidak ada yang membahayakan.” Elvan menatap Cindera lama, lalu menarik napas berat. “Kau selalu berani melawanku ya, Dokter?” Cindera menatapnya balik, ada luka dan lelah di matanya. “Saya hanya berani untuk kebenaran, Tuan Elvan.” Kakek Malik tersenyum samar, menatap keduanya bergantian. “Kalian berdua seperti api dan air… tapi kadang, keduanya dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehidupan.” Kalimat itu membuat suasana mendadak hening. Elvan menunduk sedikit, sedangkan Cindera terdiam dengan hati yang bergetar tanpa tahu alasannya. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD