~ I miss the old me, I miss the happy me. Everything has changed ~
Anonim
"Hai! Udah lama?" sapa Elle ceria ketika melihat Ranice sedang menunggu di ruang kerja pribadi di butiknya.
Ranice tersenyum sambil menggeleng dan segera berdiri. "Nggak masalah. Aku tahu kamu super sibuk."
"Sebenarnya nggak terlalu sibuk sih, tapi klien yang tadi cerewetnya kebangetan, Rae. Jadi aku tertahan lama buat dengerin semua request-nya. Biasalah ibu pejabat, secara pertama kali dia nikahin anak. Jadi semua serba harus fantastis." Elle segera menjatuhkan dirinya di sofa, tepat di sebelah Ranice.
"Sering dapat klien rewel model ibu yang tadi?" tanya Ranice ingin tahu.
Sejak Elle pulang ke Indonesia, beberapa kali Ranice berkunjung ke butik ini. Dan setiap kali dia datang, Elle selalu terlihat sedang sibuk menangani para kliennya. Elle adalah seorang fashion designer yang lebih mengkhususkan dirinya untuk merancang gaun pengantin. Jadi para kliennya tentu adalah orang yang memesan baju untuk pernikahan, baik untuk sang mempelai mau pun untuk pihak keluarga.
"Lumayan. Tapi biasanya orang Indo yang rewel gitu, Rae. Kalau orang luar sih jauh lebih simple, nggak banyak request aneh-aneh. Begitu lihat rancangan aku, mereka langsung setuju. Kalau di sini yah gitu deh ...," ujar Elle dengan raut wajah malas.
"Nggak capek?" Ranice tertawa melihat wajah Elle yang tampak lelah.
"Jelas capek! Makanya aku lebih pilih stay di luar, Rae. Keliling dunia sesuka aku. Ikut ajang fashion show di mana-mana. Selain dapat banyak ilmu, aku juga jauh lebih bebas berkreasi."
"Biasanya dalam setahun, berapa lama kamu ada di Indo?" Sejak Ranice bergabung dengan Chord Music belum pernah sekali pun dia melihat Elle berkunjung ke sana. Sepertinya Elle jarang berada di Indonesia.
"Nggak tentu sih, suka-suka aku." Elle terkekeh geli mengingat betapa kesalnya Leander karena dia jarang pulang.
"Terus klien kamu?" Ranice tidak mengerti bagaimana butik ini beroperasi padahal pemiliknya saja sibuk berkeliling dunia.
"Via e-mail, dong. Kalau udah deal, baru aku balik ke sini. Kalau belum pasti, handle dari tempat aku lagi stay aja. Atau kalau nggak terlalu penting, Mia yang urus semua."
"Papa Mama nggak pernah protes, El?"
"Jelas protes, Rae. Secara aku anak perempuan gitu. Papa pusing mikirin siapa yang mau meneruskan Chord Music. Lee nggak mau, aku nggak mau. Kadang kasihan sih sama Papa, tapi gimana dong? Benar-benar nggak sesuai passion aku. Tapi kalau Papa udah benar-benar nggak bisa lagi, pada akhirnya nanti Lee dan aku pasti bakal mengurus Chord Music juga." Pandangan Elle sedikit meredup ketika mengucapkannya.
"Kali ini berapa lama kamu bakal di sini?" Ranice berharap Elle akan menemaninya dalam waktu yang sangat lama.
"Yang pasti sampai kalian married nanti. Setelahnya aku belum tahu. Kenapa?" Elle mulai memejamkan matanya, dia sedikit mengantuk karena semalam tidur larut demi menyelesaikan beberapa gaun untuk fitting hari ini.
"Nggak apa-apa. Sedih aja kamu pergi lagi. Sepi. Padahal aku senang ada kamu di sini."
"Hei! Jangan sedih dong. Aku janji bakal sering pulang deh. Lagian teknologi udah canggih kakak iparku, kita bisa skype. Tiap hari kalau perlu supaya kamu nggak kesepian."
"Yakin nggak mau menetap di sini aja? Nggak sayang butik kamu?" Ranice coba membujuk dengan halus.
"Rae ..., dari awal juga butik ini memang sering aku tinggal. Malah Mia yang lebih pantas jadi owner-nya daripada aku. Udah ah, fitting yuk!" Elle memaksakan dirinya untuk bangkit. Sedikit melompat, kemudian menarik paksa tangan Ranice.
Elle mengajak Ranice berjalan menuju area finishing, tempat dia menyelesaikan detail-detail gaun yang dibuatnya setelah selesai dijahit.
"Ayo, kita coba!" Elle mendorong bahu Ranice menuju manekin yang sudah dipasangi gaun pengantin yang khusus dirancang oleh Elle untuknya.
"Harus dicoba lagi? Waktu itu 'kan udah, El. Aku pikir hari ini cuma mau fitting gaun yang buat prewed aja," protes Ranice. Dia malas mencoba gaun pengantin. Prosesnya lama dan melelahkan.
"Ya harus dong, Rae! Kalau nggak, kita nggak tahu apa udah pas di kamu atau belum. Ayo sana cepat ganti!" Elle terus mendorong Ranice ke arah fitting room.
Ranice berjalan terpaksa ke area fitting room. Di sana sudah menunggu dua orang asisten Elle yang akan membantunya mengenakan gaun pengantin. Jujur Ranice sangat risih harus berganti pakaian di depan orang lain.
Mereka segera memakaikan bustier setelah Ranice menanggalkan pakaiannya. Belum cukup bustier yang membuat dadanya sesak, dia masih harus mengenakan petticoat sebelum akhirnya gaun pengantin itu bisa melekat di tubuhnya.
Ribet banget deh ah!
Setelah gaun itu melekat di tubuhnya, kedua gadis itu membantunya berjalan ke luar.
"You look great! Gorgeus!" Elle begitu mengagumi kecantikan Ranice, kecantikan alami yang anggun.
"Kamu muji aku atau gaun rancangan kamu sendiri?" ledek Ranice.
"Dua-duanya." Elle berjalan mendekat. "Sini aku lihat, rasanya masih ada yang kurang."
Dia termenung sebentar, lalu bergumam heran, "perasaan ukurannya udah aku buat lebih kecil. Lingkar pinggang dan d**a udah aku kurangi abis fitting tiga minggu yang lalu. Kenapa sekarang masih juga kegedean?"
Elle memperhatikan Ranice dengan seksama, menatap tajam. Memutar-mutar tubuh Ranice, membuat gadis itu kesal.
"El! Kamu ngapain?" Ranice bertanya kebingungan.
"Wait! Kamu kurusan lagi ya?" Suaranya terdengar curiga sekaligus kesal.
"Nggak," bantah Ranice.
"Jangan bohong, Rae! Aku nggak mungkin salah," balasnya cepat.
"Hmm. Maksud aku, nggak tahu." Dia memang benar-benar tidak tahu. Akhir-akhir ini nafsu makannya menurun drastis. Pikirannya terlalu terbebani dengan rencana pernikahannya.
"Please, Rae .... Jangan diet lagi." Suara Elle terdengar memohon. Dia kesal jika harus terus merombak gaun Ranice. "Kamu udah kurus. Lagian kamu ngerjain aku. Masa tiap kali selesai fitting aku harus kecilin gaun kamu?"
"Sorry, El. Aku nggak ada niat ngerjain kamu." Dia benar-benar tidak enak dengan Elle.
"Pokoknya nggak boleh tambah kurus lagi! Kamu kayak korban kawin paksa. Muka pucat, lingkaran mata hitam, badan tinggal tulang!" desis Elle kejam.
***
"Lee!" Elle menerobos masuk ke kamar Leander setelah mereka selesai makan malam.
"Mau ngapain? Pasti mau numpang nonton di sini, 'kan?" tanya Leander tanpa mengangkat wajah dari laptopnya.
"Ihh terbaik banget sih kamu! Tau aja." Elle terus berjalan riang, menjatuhkan dirinya di tempat tidur Leander. Tepat di sebelah kakaknya itu.
"Iyalah. Memang apa lagi alasan kamu ke sini? Heran, kenapa dari dulu harus selalu numpang nonton di sini sih? Kenapa nggak di bawah aja sama Mama, atau di kamar kamu sendiri?" tanya Leander kesal. Konsentrasinya buyar seketika karena adiknya ini. Dari sejak gadis itu belum puber, sampai sudah sebesar ini, masih saja selalu menjajah kamarnya.
"Mana seru nonton sendiri, Lee. Mama 'kan selalu pacaran sama Papa kalau udah jam segini, nggak bisa diganggu." Elle memasang wajah sedih selalu berhasil membuat Leander luluh. Tangannya sudah dilingkarkan di lengan Leander, semakin membuat kakaknya itu sulit bergerak.
"Oke, oke, Tuan Putri. Silakan. Anggap saja kamar Anda sendiri, tidak perlu sungkan," ujar Leander dengan gaya dramatis. Dia berusaha melepaskan belitan tangan Elle di lengannya dan mendorong gadis itu sedikit menjauh.
Cup! Elle mengecup pipi Leander dan memeluknya erat.
"Sebentar lagi kakak kesayanganku ini bakal jadi suami orang. Aku nggak bisa manja-manja lagi sama kamu." Gadis itu kembali mendekat, bahkan sekarang sudah bergelayut manja di pundak Leander. Tangannya melingkari leher kakaknya, membuat Leander terpaksa menyerah dan meletakkan laptopnya di nakas sebelah tempat tidurnya.
"Lebay! Biasa juga kamu asyik sama gulungan benang di negeri orang." Leander mengacak rambut Elle dengan gemas, dan balas merangkul Elle.
Mereka memang sangat akrab sejak kecil. Elle selalu manja padanya, selalu menganggunya, tapi begitu memujanya. Sementara Leander akan selalu setia menjaga adik kecilnya itu, betapa pun adiknya kadang bisa bertingkah begitu menyebalkan.
"Enak aja! Aku itu perancang busana, Lee! Bukan tukang tenun!" protes Elle tidak terima. Leander selalu saja mengatakan Elle bermain dengan gulungan benang.
"Tapi 'kan kamu suka main sama jenggot pirang, buat aku sih penampakannya mirip benang kusut!" Leander tertawa puas menertawakan Elle yang wajahnya sudah merah padam.
"Lee! Tengil banget sih!" jerit Elle kesal. Tangannya otomatis mencubiti pinggang Leander.
"Aww! Sakit, El! Stop, stop!" Leander meringis kesakitan mendapat serangan dari Elle.
"Lee ...," panggil Elle tiba-tiba. Setelah aksi cubit-tangkis itu berakhir.
"Hmm."
"Masih cinta sama dia?" tanya Elle takut-takut.
"El ..., apa harus kita ungkit lagi masalah ini?" Jujur Leander terkejut mendengar pertanyaan adiknya ini.
"Lee ..., Rae itu gadis yang baik. Dia pantas mendapatkan lebih dari sekadar pernikahan sandiwara." Elle mencoba menyampaikan kegundahannya. Dia tidak tega melihat Ranice yang tampak begitu tertekan menghadapi pernikahan dengan kakaknya ini.
"El, udah berapa kali aku bilang, kami memang nggak punya perasaan apa-apa. Pernikahan ini hanya berdasarkan asas saling menguntungkan."
"Tapi gimana kalau ternyata perasaan kalian berubah? Bukan nggak mungkin kalau di tengah perjalanan lima tahun ke depan, tumbuh perasaan cinta di antara kalian," tembak Elle.
"Untuk saat ini, itu sama sekali nggak ada dalam pikiran aku, El" ujar Leander penuh yakin.
"Sampai kapan kamu mau terus menyimpan dia dalam hati kamu Lee?" tanya Elle sedih.
"Nggak tahu, El." Leander menggeleng lemah.
Mungkin selamanya aku akan tetap menyimpan nama itu dalam hatiku. Dia terlalu indah untuk dilupakan.
***
--- to be continue ---