ELEVEN

1759 Words
~ Sick of crying, tired to trying, yes I'm smiling but inside I'm dying ~ Anonim   Leander menunggu dengan gelisah di ruang tamu rumah Ranice, bersama para sepupunya yang menjadi pembawa baki. Ranice yang seharusnya ikut hadir di tengah mereka untuk melangsungkan prosesi Sangjit, sejak tadi masih mengurung diri di kamarnya. Gadis itu beralasan bahwa kepalanya sakit. Leander sudah mengutus Elle untuk memantau keadaan Ranice di dalam kamarnya. Tapi sudah hampir setengah jam dan Elle belum juga kembali. Akhirnya Leander memutuskan untuk menyusul ke atas. "Om, boleh saya menemui Ranice?" tanya Leander pada Anton. "Ya, tentu. Coba kamu lihat keadaannya, sejak dua hari kemarin Ranice memang kurang sehat." Apa yang dikatakan oleh Anton benar adanya. Menjelang pelaksanaan hari Sangjit, Ranice yang memang sudah tertekan jadi semakin tertekan. Pernikahannya dengan Leander semakin terasa nyata baginya, dan waktu kebebasannya semakin menipis. Ranice seolah-olah sedang berjalan menuju hari kematiannya sendiri. Dia kehilangan seluruh semangat hidupnya, bahkan Ranice tidak berminat untuk bicara dengan siapa pun. Dia terus mengurung dirinya di rumah. Mungking orang lain akan berpikir bahwa dia sedang menjalani masa pingitan dengan senang hati, padahal yang sebenarnya dia memang ingin menghindari semua orang. "Itu hal yang wajar. Mungkin Ranice agak tegang menghadapi hari pernikahannya. Banyak calon pengantin yang seperti itu," hibur Adelia. "Coba sana kamu lihat, Lee. Kalau memang tidak memungkinkan bagi Ranice untuk turun, tidak perlu dipaksa. Biarkan saja dia beristirahat, yang penting saat hari pernikahan kalian dia benar-benar sehat." Daniel ikut menimpali. Tanpa menunggu lebih lama, Leander berjalan menuju kamar Ranice yang terletak di lantai atas. Dia berhenti sejenak di depan pintu kamar Ranice, memandang ke dalam dari celah pintu yang terbuka. "Rae, keluar yuk!" Leander bisa mendengar suara Elle yang sedang berusaha membujuk Ranice untuk keluar dari kamarnya. "Nanti ya, El ...." Ranice menggeleng lemah, sambil tetap menatap hampa keluar jendela kamarnya. Ranice tidak berbohong ketika mengatakan kepalanya sakit. Kepalanya memang terasa berdenyut-denyut sejak pagi. "Jangan gitu dong, Rae. Nanti keluarga bisa pada curiga, lho. Lagian, memang kamu nggak mau lihat barang-barang yang dikirim buat kamu?" Elle berusaha berkelakar sambil mengedip-ngedipkan matanya. Padahal dia tahu Ranice sama sekali tidak tertarik dengan barang-barang yang disiapkan untuknya, bahkan gadis itu tidak peduli sekali pun isi baki hantarannya adalah barang rongsokan. "El, perasaan aku nggak enak banget." Suara Ranice terdengar bergetar. "Apa yang kamu kuatirin sih?" Tanpa perlu bertanya pun sebenarnya Elle tahu apa yang membuat Ranice gelisah. "Aku nggak tahu, El. Sekarang ini rasanya aku seperti sedang berdiri di atas lapisan es yang sangat tipis, yang bisa pecah sewaktu-waktu dan akan membuat aku jatuh lalu tenggelam di lautan air yang gelap dan dingin. Aku nggak tahu kehidupan seperti apa yang akan aku jalani setelah ini." Gadis itu hampir menangis ketika mengatakannya. "Rae, jangan begitu. Nggak ada hal buruk yang akan terjadi sama kamu. Semua akan baik-baik aja." Elle mendekati Ranice dan memeluknya, berusaha memberikan kekuatan pada gadis itu. Elle sendiri tidak tahu apa yang akan menunggu Ranice dan kakaknya di depan sana. Tapi jika boleh jujur, dia juga merasakan sesuatu yang janggal. Sepertinya semua ini tidak akan berjalan mulus sesuai skenario yang Leander ciptakan. "Aku mau percaya itu, El. Tapi satu sisi hatiku selalu mengatakan yang berbeda. Seperti ada hal buruk yang akan menghancurkan kehidupan aku, El." Tubuh gadis itu ikut gemetar ketika mengatakannya. Leander termenung mendengar kejujuran Ranice. Gadis itu tidak pernah mengatakan apa pun padanya. Seketika Leander merasa iba pada gadis yang dalam waktu dua minggu lagi akan resmi menjadi istrinya ini. Dia bukan tidak tahu kalau Ranice merasa tertekan, tapi apalagi yang bisa dilakukannya? Mereka sudah melangkah sejauh ini dan tidak mungkin mundur lagi. "Rae ...." Tiba-tiba Leander sudah berdiri di pintu kamar Ranice. Ranice terkejut dan menoleh ke arah pintu kamarnya. "Ayo turun!" ajaknya. "..." Leander berjalan mendekat ke arah Ranice. Pria itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum menenangkan. Ketika Ranice menyambut uluran tangan Leander, pria itu segera membimbingnya sebelum Ranice berubah pikiran. Leander mengusap tangan Ranice yang berada dalam genggamannya dengan ibu jarinya. Sesampainya di ujung tangga, Ranice sontak membelalakkan matanya melihat keadaan rumahnya. Ruang tamunya yang tidak terlalu luas itu sudah dipadati oleh kedua belah pihak dari keluarga mereka. Para sepupu Leander yang masih lajang ikut datang sebagai pembawa baki, dan para sepupu Ranice yang sudah menikah bertugas untuk menerima baki hantaran tersebut. Bukan hanya jumlah orangnya yang membuat Ranice tercengang, tapi melihat deretan box hantaran yang sudah disusun di atas meja. "Buat apa semua barang itu, Lee?" bisik Ranice ngeri. "Itu 'kan syarat untuk acara hari ini, Rae. Memang kamu nggak tahu?" Leander balas berbisik. "Bukan itu, maksudku kenapa semuanya harus branded seperti itu. Kamu 'kan bisa pilih yang biasa. Buang-buang uang aja!" protes Ranice. Ketakutannya hilang berganti kekesalan. Ini semua adalah pemborosan yang tidak perlu. Bahkan acara hari ini pun sebenarnya tidak perlu. Ranice heran untuk apa sebuah pernikahan sandiwara harus dipersiapkan sesempurna ini, seolah-olah ini adalah pernikahan nyata dari sepasang manusia yang berbahagia. "Itu semua Elle yang mengatur, aku sama sekali nggak tahu apa-apa. Aku malah nggak tahu bedanya barang branded dengan rongsokan," dengus Leander kesal. "Kalau gitu, dia berhasil mengerjai kamu. Isi dompet kamu pasti terkuras banyak, atau tahu-tahu tagihan kartu kredit kamu bengkak bulan depan." Ranice menggeleng kesal. "Dia bilang dapat diskon, karena itu kiriman dari teman-teman desainernya," balas Leander santai. Sejak awal Elle tahu dia akan menikah, adiknya itu memang terlalu bersemangat. *** Ranice menatap nanar jam dinding di kamarnya. Sudah jam tiga subuh namun Ranice belum dapat memejamkan matanya sama sekali. Hatinya terus menyuruhnya pergi melarikan diri dari semua kegilaan ini, namun akal sehatnya menahannya. Ranice masih memikirkan ayahnya yang akan hancur jika sampai dia melarikan diri di hari pernikahan. Belum lagi kekecewaan yang akan dirasakan oleh keluarga Leander. Lamunannya terus berlanjut dan membuatnya terlelap sesaat. Namun tidurnya yang singkat itu segera terusik dengan kegaduhan di luar pintu kamarnya. Ranice bangkit dengan kepala pening, karena sepanjang malam tidak bisa tidur, dan bodohnya dia jatuh tertidur saat sudah mendekati waktunya bangun. Pintunya diketuk, dan Ranice berjalan membukakan pintu kamarnya. Nampaklah tiga orang gadis berdiri di depan pintu kamarnya. Tita sang wedding orginazer, Mia sang make up artist, beserta asisten Mia yang membantunya menangani urusan hair do. "Pagi, Mbak Rae. Udah siap di make up?" tanya Tita riang. "Aku mandi dulu. Aku baru bangun, Tita." Ranice mempersilakan ketiganya masuk, sementara Ranice meninggalkan kamarnya untuk mandi. Satu jam berikutnya, Ranice sudah duduk di kamarnya, dikelilingi oleh Mia dan asistennya. Sedari tadi Mia mengeluh karena mata Ranice yang membengkak. "Rae ini gimana dong. Aduh, aku jadi pusing," ujar Mia sedikit panik. "Kenapa, Mbak?" tanya Ranice bingung. "Ini lho, mata kamu tuh bengkak. Aku 'kan udah kasih tahu, harus banyak istirahat. Harus tidur yang cukup. Supaya fresh di hari-H, tapi kamu malah sembab gini matanya." Mia menggeleng-gelengkan kepalanya gelisah. "Maaf ya, Mbak. Aku semalam memang nggak bisa tidur. Tadi sampai jam tiga juga belum tidur. Aku baru ketiduran sebentar, terus nggak lama kalian datang." Ranice memasang wajah bersalah. "Aduh, ampun kamu ini! Pantes aja begini matanya." Mia mendesah kesal. "Maaf deh, Mbak ...," Ranice merasa tidak enak hati juga karena membuat Mia cemas. "Ya udah, aku bakal coba semaksimal mungkin. Semoga make up di bagian bawah mata kamu ini nggak akan pecah-pecah karena ada kerutnya." Mia kembali sibuk dengan pekerjaannya merias Ranice, sementara gadis yang dirias itu malah sibuk berkelana dengan pikirannya sendiri. Sempat terlintas dalam benaknya jika saja Theo tidak mengkhianatinya, maka mungkin saat ini dia akan menikah dengan pria itu, dan tentunya hatinya tidak akan seberat ini jika akan menjalani pernikahan dengan seseorang yang memang mencintai dan dicintainya. "Udah selesai, Rae." Mia menepuk pundak Ranice yang tengah melamun. Sebenarnya Mia cukup aneh dengan tingkah calon pengantin yang satu ini. Sejak awal pertemuan mereka di sesi test make up, prewedding, sangjit, dan akhirnya sampai hari ini, sang calon pengantin sama sekali tidak terlihat berbahagia menyambut hari pernikahannya. Bahkan semakin mendekati hari pernikahan, sang calon pengantin malah tampak semakin kacau. Tapi itu bukan urusan Mia untuk mencampuri. "Makasih ya, Mbak," ujar Ranice tulus. Dia memang menyukai hasil pekerjaan Mia yang menurutnya sangat memuaskan. Riasannya tampak natural dan tidak berlebihan. "Kamu mau dibantu pakai gaun sekarang?" Mia menawarkan diri. "Nanti dulu deh, Mbak. Aku mau sendiri dulu, mau berdoa sebentar. Mbak Mia ke bawah dulu aja, belum sarapan 'kan?" "Ok! Aku tinggal dulu ya. Kalau udah selesai panggil aja. Ranice duduk sendiri di dalam kamarnya, memandang hampa gaun pengantin yang tergantung indah di hadapannya. Mia sudah meninggalkan kamarnya sejak dua puluh menit yang lalu, namun Ranice tetap duduk mematung tanpa berniat untuk mengenakan gaun pengantinnya sama sekali. Ranice memangku sebuah buku, kemudian mulai menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. *** "Apa? Kenapa bisa?" Elle berteriak tertahan. "Tadi dia minta aku turun, dia mau sendiri dulu. Tapi udah setengah jam belum selesai juga, Mbak." Suara Mia terdengar panik di seberang sana. "Kamu udah panggil dia?" "Udah, Mbak. Udah sepuluh menit aku ketuk-ketuk kamarnya, nggak dijawab sama sekali. Om Anton juga udah coba, tapi Ranice ini tetap nggak jawab." "Pintunya dikunci? Kamu nggak bisa masuk?" Elle menanyakan pertanyaan bodoh. "Ya iyalah, Mbak. Kalau nggak dikunci ya aku pasti udah masuk dari tadi lah!" Mia membalas sewot. "Aduh, gimana dong ini?" Elle berkata dengan gusar sambil menatap Leander yang sejak tadi memang berdiri di dekatnya, karena saat menerima telepon Elle sedang membantu Leander memakai dasinya. Leander yang mendengar pembicaraan Elle dengan Mia di telepon mulai dilanda kepanikan. Perasaannya tidak enak mendengar adis yang merias Ranice itu mengatakan bahwa sang calon pengantin telah mengurung diri di kamarnya sejak tiga puluh menit, dan sama sekali tidak menjawab panggilan siapa pun. Bahkan meski ayahnya yang memanggil, Ranice tetap bergeming. Pasti ada yang tidak beres. Ada apa dengan gadis ini? Apakah dia berniat membatalkan semuanya di saat-saat terakhir seperti ini? Ini gila! "Kiko, saya harus ke rumah Ranice sekarang." Leander memanggil wedding organizer yang bertugas mengurusi pengantin pria. "Tapi, Mas ..., sekarang baru jam setengah tujuh. Kalau mengikuti jadwal yang sudah disusun, Mas Axel harusnya jemput Mbak Ranice jam sembilan." "Tidak perlu mengikuti jadwal. Kamu mau tanggung jawab kalau pengantin saya kabur!" bentak Leander. "Aku ikut, Lee!" Elle berlari mengejar Leander saat melihat kakaknya itu sudah hampir mencapai mobil. "Kamu mau ikut? Mama gimana, nanti Mama curiga?" bisik Leander. "Tenang, udah aku urus. Aku bilang gaun Ranice ada bagian yang harus diperbaiki sedikit," ujar Elle sambil mengedipkan matanya. "Ayo, cepat!" Leander setengah mendorong Elle ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, Leander masih terus mencoba menghubungi Ranice, tapi sama sekali tidak ditanggapi oleh gadis itu. Setelah tiga puluh menit yang Mobil yang dinaikinya belum lagi terparkir sempurna, tapi Leander sudah melompat turun dan berlari ke dalam rumah Ranice. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD